Persentuhan
pertama terjadi bahkan jauh sebelum saya sadar dan memiliki pikiran
sebagai manusia. Mengapa demikian, sebab menurut ceritera almarhum ayah,
juga ibu dan saudara-saudara, ketika ibu saya mengandung bahkan
kelahiran saya dan sesudahnya, di rumah kebun kami yang berdekatan
dengan base camp sebuah perusahaan kayu bulat (PT. Mangtip) itu, sering
menginap sejumlah pemuda asal Flores yang menjadi karyawan disana. Dari
sebab itulah kemudian Flores ditabalkan sebagai nama kecil saya.
Persentuhan
berikutnya terjadi ketika saya masih sangat kanak-kanak dan belum
bersekolah. Hal ini terjadi karena di desa kami, Capalulu (kini masuk
dalam wilayah Kecamatan Mangoli Tengah, Kabupaten Kepulauan Sula)
terdapat komunitas masyarakat “Kadai”. Mereka adalah komunitas asli
Maluku, seperti juga Mange, Siboyu, Alifuru dll, dan beragama Katolik.
Dimasa kecil
yang bahagia nan ceria ala anak kampung itu, saban Kapal Pastor, – kami
biasa menyebutnya Kapal Putih – berlabuh di perairan desa, Almarhum
ayah senantiasa mengajak saya ke Kaupuka (Dusun dimana orang Kadai
menetap) untuk membeli berbagai macam obat-obatan yang dibawa oleh para
pastor. Maklum di masa itu, tidak ada puskesmas di desa kami. Puskesmas
terdekat ada di Desa Mangoli yang berjarak sembilan kilometer dan butuh
waktu tiga jam berjalan kaki menyusuri tepian pantai untuk sampai kesana,
karena tidak ada jalan apalagi kendaraan bermotor.
Selain
membeli obat, almarhum ayah saya menyempatkan berceritera berbagai macam
hal dengan para Pastor yang sebagian kadang berwajah bule itu. Mulai
dari kondisi masyarakat, harga ikan, kebutuhan pokok, wabah penyakit,
musim buah-buahan dan lain sebagainya. Maklum ayah saya adalah seorang
guru sekolah dasar dan juga tokoh masyarakat (Kepala Soa) di desa kami.
Dimasa-masa
umur saya sekira tiga sampai empat tahun. Datang seorang perempuan
Belanda, (saya sudah tidak ingat namanya), melakukan penelitian tentang
fauna. Perempuan putih besar itu sering mampir ke rumah dan beberapa
kali saya dan kawan-kawan diajak menangkap kupu-kupu, yang pada masa itu
sangat banyak di kampung kami. Pada musim-musim tertentu, kupu-kupu
berbagai jenis dan ukuran beterbangan dan menari-nari di pepohonan hutan
dan desa. Suatu pagi atau di sebuah senja, bisa saja seekor kupu-kupu
raja tiba-tiba bertengger manis di dedaun pohon jeruk di halaman rumah,
atau seekor kupu-kupu berwarna kemerahan beterbangan diantara semak dan
bunga-bunga.
Persentuhan
berikut dengan orang Kristen adalah ketika almarhum Ayah Saya, dipindah
tugaskan sebagai kepala sekolah sekaligus satu-satunya guru di SD Inpres
Wailoba. Sebuah desa kecil di belakang desa kami, bagian barat pulau
Mangoli yang berjarak 26 KM. Perjalanan ke Desa Wailoba harus ditempuh
sehari penuh berjalan kaki melewati hutan, lembah dan bukit. Ketika itu
tahun 1982 dan pemerintah Orde Baru tengah menggalakkan pembangunan SD
Inpres. Usia saya berkisar lima tahun.
Pertama kali
ke Desa Wailoba, Saya ingat betul. Karena belum bisa berjalan jauh
menembus belukar dan ranting yang kadang banyak durinya, Saya digendong
bergantian oleh para lelaki dewasa. Ketika sore menjelang dan kami tiba
di penghujung desa, masyarakat menyambut kami dengan berbagai atraksi
budaya dan kesenian. Mulai dari tepung tawar, injak tanah (joko kaha),
cakalele dan tarian-lain, kami juga disambut oleh sekelompok paduan
suara yang menyanyikan lagu gereja.
Rupanya
penduduk Kadai yang beragama Katolik juga antusias menyambut kami. Dan
sampai saat ini lagu tersebut masih melekat di ingatan saya sejak
pertama mendengarnya kala itu. Saya kutip bait-baitnya: mari kita
bersukaria / karena hari ini bahagia / kita berkumpul jadi satu / puji
Tuhan semesta itu / tepuk tangan wajah berseri / bukankah Tuhan berkata
damai yang diberikan / mari kita semua bersua ria/.
Oh iya. Saya
hampir lupa. Di usia yang masih sangat dini itu, Saya juga mengenal
Enci Poki dan anaknya Afu, Enci Waya dan lain-lain. Mereka adalah orang
Tionghoa perantauan yang menetap di ibu kota kecamatan di Sanana. Kepada
merekalah Ayah sering menjual kopra, coklat dan cengkih, atau membeli
segala macam kebutuhan rumah tangga, mulai dari gula, garam, beras,
terigu, minyak tanah hingga bahan bangunan. Bahkan terkadang mengijonnya
sambil menunggu panen berikut. Karena persentuhan-persentuhan ini pula,
adik Saya yang bernama Arfuddin kami panggil “Afu” hingga kini.
Ketika
menempuh pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP), satu-satunya sekolah
menengah pertama terdekat di Desa Mangoli, persentuhan yang lebih
intens terjadi dengan saudara-saudara Kristiani ini. Saya yang ketika
betubuh kecil karena kecepatan lulus SD (hanya lima tahun). Bukan karena
Ayah saya guru dan kepala sekolah loh, harus berjuang di subuh hari
untuk mencapai sekolah dengan berjalan kami dan juga pulang kembali ke
rumah dibawah terik matahari.
Jumlah kami
yang bersekolah hampir bertiga puluhan orang, jika dihitung seluruh
siswa dari kelas satu sampai kelas tiga. Diantara kawan seangkatan,
terdapat dua orang anak Kadai bernama Sebes dan Thomas. Mereka berdua
adalah generasi pertama Kadai yang menempuh pendidikan hingga Sekolah
Menengah Atas.
Sebes dan
Thomas lah yang sering memanjat kelapa muda untuk kami nikmati bersama
selama tiga tahun bersekolah di SMP Negeri Mangoli. Kelapa mudah adalah
makanan kami selama bersekolah karena kami tidak membawa bekal apa pun.
Dan untuk diketahui, selama masa kami bersekolah, jarang pemilik kelapa
yang ada disepanjang pantai jalur yang kami lalui bisa panen, sebab
kelapanya sudah terlanjur habis kami makan setiap hari. Para pemilik
kebun kelapa itu pun seolah sudah mahfum dan mengikhlaskan. Maafkan kami
Papa Na, Kaka Badir, Om Lalu, Kaka Jamil, Papa Dun dan lain-lain yang
tak saya hafal satu per satu.
Cerita
persentuhan Saya dengan basudara Kristen terus berlanjut. Ketika
menempuh pendidikan menengah atas di STM Negeri Ternate, Saya kebetulan
aktif di Gerakan Pramuka. Dari sana Saya mengenal seorang Pembina
bernama Joseph Watunglawar. Beliau adalah kepala Kantor Pemangkuan Satwa
Ternate yang juga Pembina Pramuka di Saka Wana Bakti. Satuan Pramuka
yang ada dibawah binaan Departemen Kehutanan.
Karena aktif
di Saka Wana Bakti ini, Saya kemudian lebih banyak menetap di rumah
dinas Kak Oce, bersama tiga kawan lain, yakni Haris M. Nur, Iskandar
Abdullah dan Hasan. Kebetulan beliau hanya sendiri karena anak istri
beliau menetap di Ambon. Bertahun Saya bersentuhan dengan Kak Oce yang
akrab kami sapa “Aba”, baik sebagai anak didik di Pramuka, sebagai adik
maupun orang tua hingga saya lulus sekolah menengah dan berkuliah di
Ambon.
Oh ya,
Dodomi (ari-ari) anak pertama saya Vinapora Lailiani Setyananda, bahkan
ditanam oleh Aba Oce dan istrinya, di bawah jendela rumah dinas mereka
di kebun Cengkih. Kala itu Aba Oce sudah pindah ke Balai Konservasi
Sumberdaya Alam (BKSDA) Ambon. Aba Oce kini menetap di Ternate, menjadi
Muslim sudah naik Haji dan berganti nama menjadi Muhammad Jusuf.
Ketika
berkuliah di Ambon inilah persentuhan saya dengan basudara Kristen
menjadi semakin intens. Meskipun saya berkuliah di Universitas Islam
bernama Universitas Darussalam Ambon, namun persentuhan dan perjumpaan
dengan basudara Kristiani tidak pernah berhenti.
Orang
Kristen pertama di Ambon yang saya kenal akrab adalah Rudolf Fofid.
Jurnalis dan pekerja kebudayaan yang akrab disapa Opa Rudi ini, tidak
saja menjadi kawan. Beliau adalah guru, orang tua, sahabat dan kakak
Saya dalam banyak hal, bahkan hingga kini.
Rudi lah
yang pertama kali membangun kepercayaan diri saya sebagai sorang
sastrawan, ketika tiba-tiba tanpa sengaja pada satu pertemuan di akhir
tahun 1994, Rudi yang entah bagaimana ceritanya mewawancarai saya yang
ketika itu baru pulang mengikuti Pekan Seni Mahasiswa Nasional III di
Bali. Dan sejak saat itu beliau selalu menagih karya-karya saya untuk
dimuat pada Edisi Minggu Harian Suara Maluku.
Saya bahkan
menjadi tidak terpisahkan dengannya karena sejak itu, sebagian besar
hidup saya terkait dengannya. Rudi pula yang memperkenalkan saya kepada
tokoh-tokoh Maluku semisal Thamrin Ely, Lutfi Sanaki, Pdt. Jhon
Ruhulessin, Suster Brigita Renyaan, Pdt. Jacky Manuputi dan tokoh LSM
seperti Nus Ukru, Rolly Ubro, Sandra Lakembe, dll. Rudi juga yang
memperkenalkan saya kepada kawan-kawan jurnalis seperti Novi Pinontoan,
Max Apono, Embong Salampessy, Kace Mayaut, Din Kelilauw, Febby Kaihatu,
Saswati Matakena dan lainnya. Saya bahkan menjadikan kediaman kerabat
Rudi sebagai rumah kedua.
Di rumah
Frans Watratan, sepupunya Rudi yang terletak di kawasan Batu Gantung
(sebelah Toko Modal) saya banyak menghabiskan hari-hari saya dan
persentuhan saya dengan banyak tokoh muda Kristen. Ketika itu, Frans
adalah Ketua Presidium PMKRI Cabang Ambon. Dari sana saya mengenal Max
Patiapon, Jefri, Charles Roring, Lenny dll. Ketika itu, saya bahkan bisa
keluar masuk Keuskupan Amboina untuk membeli anggur misa untuk mabuk
dengan alasan ada Misa keluarga di rumah.
Rudi pula
yang belakangan ini sibuk memperkenalkan saya kepada banyak anak muda
kreatif di Ambon yang tengah bertumbuh dalam berkesenian, terutama
sastra dan kerja-kerja kemanusiaan. Melalui Rudi, saya mengenal Morika
Tetelepta, Mark Ufie, Willy Waas, Falantino Erick Lauptapua, Ecko
Saputra Poceratu, Revalino Barry dan lainnya.
Saudara
Kristiani lain yang tak pernah bisa saya lupakan adalah Sandra Lakembe.
Sandra seperti kakak perempuan bagi saya yang memberi banyak arahan dan
pelajaran juga bantuan, baik material maupun i-material sepanjang
masa-masa sulit, ketika konflik dan kekerasan menimpa Maluku dan
setelahnya. Saya memiliki panggilan pribadi (Kaka Nona) kepada beliau
sebagai bentuk penghormatan dan rasa cinta saya kepada beliau.
Di dunia
sastra nasional, saya mempunyai perjumpaan yang karib dengan dua kawan
kristiani yang kebetulan berasal dari Batak. Mereka adalah Sihar Ramses
Simatupang dan Saut Situmorang. Kedua beliau inilah yang mengajak dan
mengkritisi tajam karya-karya saya ketika diawal tahun 2000-an lahir
generasi sastra baru melalui situs cybersastra.net. dan tak dapat
dipungkiri bahwa banyak sastrawan besar hari ini lahir dari rahim
bernama cybersastra.net itu.
Tentu ini
hanya sekelumit persentuhan yang mampu saya ingat dan dapat saya
beberkan memalui tulisan ini, disamping banyak persentuhan lain,
termasuk persentuhan asmara dan hal remeh temeh lain dengan nona-nona
Kristen yang sepergaulan, sekenakalan, sepemabukan, seperkawanan,
seaktifitas maupun bertetanggaan.
Hal yang
ingin saya sampaikan dari ceritera persentuhan ini adalah bahwa sampai
saat ini saya tidak menjadi Kristen. (Cerita lain soal persentuhan saya
dengan kaum Kristiani dapat dibaca pada buku “Carita Orang Basudara”
terbitan Paramadina – Jakarta).
Bahwa seumur
persentuhan saya, tidak pernah ada seorang pun dari mereka baik secara
sengaja, bercanda apalagi secara serius mengajak saya masuk Kristen.
Selain bahwa kalau saya sedang main ke rumah salah satu dari mereka dan
ada makanan haram, mereka akan mengatakan “Jang masuk dapur, jang makan
disini ada katong pung makanan”.
Selain
kelucuan dan keakraban di meja makan, sebab ketika mereka masih asyik
membaca doa Bapa Kami sambil komat-kamit dan menutup mata dengan tangan
bersidekap di dada, saya sudah melahap sebagian besar lauk-pauk karena
hanya membaca doa makan ala Islam di dalam hati saya dengan cepat.
Bagi saya,
persaudaraan dan persabahatan melebihi nilai agama apa pun yang
masing-masing kita anut. Dan sebagai pemeluk Islam saya percaya pada
Firman Allah dalam Al-Quran: “Lakum Dinukum Waliyadin” yang merupakan
ayat ke-6 dari Surat Al-Kafiiruun yang terjemahannya adalah: “Untukmu
agamamu, dan untukkulah, agamaku”.
Seperti kata
Almarhum KH. Zainuddin MZ, “Untuk hal yang tidak bisa kita pesan atau
minta dari Tuhan, untuk apa kita ributkan”. Jadi selamat Hari Natal
basudara Sarani dimana pun berada. Rayakan Natal dengan merdeka tanpa
harus memikirkan mereka yang berisik, apalagi bila itu hanya datang dari
LSM mediokare macam MUI dan organisasi lain sejenis yang
mengatasnamakan agama kami.
Damai di Langit. Damai di Bumi
Ternate, 15 Desember 2015

Tidak ada komentar:
Posting Komentar