Selasa, 03 Mei 2016

Tentang Saya, Kristen dan Persentuhan-Persentuhan itu

Sebagai orang yang terlahir sebagai Muslim karena garis keturunan, yang konon bersilang silsilah dengan Imam Syafi’i, yang menurut ceritera turun-temurun, turun ke Taliabu dari tanah Arab dan kemudian datang ke Orifola dan menyebarkan Islam, yang konon memiliki keturunan bernama Syech Syahabuddin Kamarullah, yang menyebarkan Islam di Pulau Mangoli dan makamnya kini dikenal dengan nama “Jere Sasingka” dan adiknya yang bernama Syech Ahad Kamarullah, penjaga pintu Kabah dan wafat di Mekah, dan kami kini yang bermarga “Pora”, (Umahuk adalah marga dari kakek tiri saya) saya secara pribadi memiliki persentuhan yang dalam dan intens dengan hal yang berbau Kristen.

Persentuhan pertama terjadi bahkan jauh sebelum saya sadar dan memiliki pikiran sebagai manusia. Mengapa demikian, sebab menurut ceritera almarhum ayah, juga ibu dan saudara-saudara, ketika ibu saya mengandung bahkan kelahiran saya dan sesudahnya, di rumah kebun kami yang berdekatan dengan base camp sebuah perusahaan kayu bulat (PT. Mangtip) itu, sering menginap sejumlah pemuda asal Flores yang menjadi karyawan disana. Dari sebab itulah kemudian Flores ditabalkan sebagai nama kecil saya.

Persentuhan berikutnya terjadi ketika saya masih sangat kanak-kanak dan belum bersekolah. Hal ini terjadi karena di desa kami, Capalulu (kini masuk dalam wilayah Kecamatan Mangoli Tengah, Kabupaten Kepulauan Sula) terdapat komunitas masyarakat “Kadai”. Mereka adalah komunitas asli Maluku, seperti juga Mange, Siboyu, Alifuru dll, dan beragama Katolik.

Dimasa kecil yang bahagia nan ceria ala anak kampung itu, saban Kapal Pastor, – kami biasa menyebutnya Kapal Putih – berlabuh di perairan desa, Almarhum ayah senantiasa mengajak saya ke Kaupuka (Dusun dimana orang Kadai menetap) untuk membeli berbagai macam obat-obatan yang dibawa oleh para pastor. Maklum di masa itu, tidak ada puskesmas di desa kami. Puskesmas terdekat ada di Desa Mangoli yang berjarak sembilan kilometer dan butuh waktu tiga jam berjalan kaki menyusuri tepian pantai untuk sampai kesana, karena tidak ada jalan apalagi kendaraan bermotor.

Selain membeli obat, almarhum ayah saya menyempatkan berceritera berbagai macam hal dengan para Pastor yang sebagian kadang berwajah bule itu. Mulai dari kondisi masyarakat, harga ikan, kebutuhan pokok, wabah penyakit, musim buah-buahan dan lain sebagainya. Maklum ayah saya adalah seorang guru sekolah dasar dan juga tokoh masyarakat (Kepala Soa) di desa kami.

Dimasa-masa umur saya sekira tiga sampai empat tahun. Datang seorang perempuan Belanda, (saya sudah tidak ingat namanya), melakukan penelitian tentang fauna. Perempuan putih besar itu sering mampir ke rumah dan beberapa kali saya dan kawan-kawan diajak menangkap kupu-kupu, yang pada masa itu sangat banyak di kampung kami. Pada musim-musim tertentu, kupu-kupu berbagai jenis dan ukuran beterbangan dan menari-nari di pepohonan hutan dan desa. Suatu pagi atau di sebuah senja, bisa saja seekor kupu-kupu raja tiba-tiba bertengger manis di dedaun pohon jeruk di halaman rumah, atau seekor kupu-kupu berwarna kemerahan beterbangan diantara semak dan bunga-bunga.

Persentuhan berikut dengan orang Kristen adalah ketika almarhum Ayah Saya, dipindah tugaskan sebagai kepala sekolah sekaligus satu-satunya guru di SD Inpres Wailoba. Sebuah desa kecil di belakang desa kami, bagian barat pulau Mangoli yang berjarak 26 KM. Perjalanan ke Desa Wailoba harus ditempuh sehari penuh berjalan kaki melewati hutan, lembah dan bukit. Ketika itu tahun 1982 dan pemerintah Orde Baru tengah menggalakkan pembangunan SD Inpres. Usia saya berkisar lima tahun.

Pertama kali ke Desa Wailoba, Saya ingat betul. Karena belum bisa berjalan jauh menembus belukar dan ranting yang kadang banyak durinya, Saya digendong bergantian oleh para lelaki dewasa. Ketika sore menjelang dan kami tiba di penghujung desa, masyarakat menyambut kami dengan berbagai atraksi budaya dan kesenian. Mulai dari tepung tawar, injak tanah (joko kaha), cakalele dan tarian-lain, kami juga disambut oleh sekelompok paduan suara yang menyanyikan lagu gereja.

Rupanya penduduk Kadai yang beragama Katolik juga antusias menyambut kami. Dan sampai saat ini lagu tersebut masih melekat di ingatan saya sejak pertama mendengarnya kala itu. Saya kutip bait-baitnya: mari kita bersukaria / karena hari ini bahagia / kita berkumpul jadi satu / puji Tuhan semesta itu / tepuk tangan wajah berseri / bukankah Tuhan berkata damai yang diberikan / mari kita semua bersua ria/.

Oh iya. Saya hampir lupa. Di usia yang masih sangat dini itu, Saya juga mengenal Enci Poki dan anaknya Afu, Enci Waya dan lain-lain. Mereka adalah orang Tionghoa perantauan yang menetap di ibu kota kecamatan di Sanana. Kepada merekalah Ayah sering menjual kopra, coklat dan cengkih, atau membeli segala macam kebutuhan rumah tangga, mulai dari gula, garam, beras, terigu, minyak tanah hingga bahan bangunan. Bahkan terkadang mengijonnya sambil menunggu panen berikut. Karena persentuhan-persentuhan ini pula, adik Saya yang bernama Arfuddin kami panggil “Afu” hingga kini.

Ketika menempuh pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP), satu-satunya sekolah menengah pertama terdekat di Desa Mangoli, persentuhan yang lebih intens terjadi dengan saudara-saudara Kristiani ini. Saya yang ketika betubuh kecil karena kecepatan lulus SD (hanya lima tahun). Bukan karena Ayah saya guru dan kepala sekolah loh, harus berjuang di subuh hari untuk mencapai sekolah dengan berjalan kami dan juga pulang kembali ke rumah dibawah terik matahari.
 
Jumlah kami yang bersekolah hampir bertiga puluhan orang, jika dihitung seluruh siswa dari kelas satu sampai kelas tiga. Diantara kawan seangkatan, terdapat dua orang anak Kadai bernama Sebes dan Thomas. Mereka berdua adalah generasi pertama Kadai yang menempuh pendidikan hingga Sekolah Menengah Atas.

Sebes dan Thomas lah yang sering memanjat kelapa muda untuk kami nikmati bersama selama tiga tahun bersekolah di SMP Negeri Mangoli. Kelapa mudah adalah makanan kami selama bersekolah karena kami tidak membawa bekal apa pun. Dan untuk diketahui, selama masa kami bersekolah, jarang pemilik kelapa yang ada disepanjang pantai jalur yang kami lalui bisa panen, sebab kelapanya sudah terlanjur habis kami makan setiap hari. Para pemilik kebun kelapa itu pun seolah sudah mahfum dan mengikhlaskan. Maafkan kami Papa Na, Kaka Badir, Om Lalu, Kaka Jamil, Papa Dun dan lain-lain yang tak saya hafal satu per satu.

Cerita persentuhan Saya dengan basudara Kristen terus berlanjut. Ketika menempuh pendidikan menengah atas di STM Negeri Ternate, Saya kebetulan aktif di Gerakan Pramuka. Dari sana Saya mengenal seorang Pembina bernama Joseph Watunglawar. Beliau adalah kepala Kantor Pemangkuan Satwa Ternate yang juga Pembina Pramuka di Saka Wana Bakti. Satuan Pramuka yang ada dibawah binaan Departemen Kehutanan.

Karena aktif di Saka Wana Bakti ini, Saya kemudian lebih banyak menetap di rumah dinas Kak Oce, bersama tiga kawan lain, yakni Haris M. Nur, Iskandar Abdullah dan Hasan. Kebetulan beliau hanya sendiri karena anak istri beliau menetap di Ambon. Bertahun Saya bersentuhan dengan Kak Oce yang akrab kami sapa “Aba”, baik sebagai anak didik di Pramuka, sebagai adik maupun orang tua hingga saya lulus sekolah menengah dan berkuliah di Ambon.

Oh ya, Dodomi (ari-ari) anak pertama saya Vinapora Lailiani Setyananda, bahkan ditanam oleh Aba Oce dan istrinya, di bawah jendela rumah dinas mereka di kebun Cengkih. Kala itu Aba Oce sudah pindah ke Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Ambon. Aba Oce kini menetap di Ternate, menjadi Muslim sudah naik Haji dan berganti nama menjadi Muhammad Jusuf.

Ketika berkuliah di Ambon inilah persentuhan saya dengan basudara Kristen menjadi semakin intens. Meskipun saya berkuliah di Universitas Islam bernama Universitas Darussalam Ambon, namun persentuhan dan perjumpaan dengan basudara Kristiani tidak pernah berhenti.

Orang Kristen pertama di Ambon yang saya kenal akrab adalah Rudolf Fofid. Jurnalis dan pekerja kebudayaan yang akrab disapa Opa Rudi ini, tidak saja menjadi kawan. Beliau adalah guru, orang tua, sahabat dan kakak Saya dalam banyak hal, bahkan hingga kini.

Rudi lah yang pertama kali membangun kepercayaan diri saya sebagai sorang sastrawan, ketika tiba-tiba tanpa sengaja pada satu pertemuan di akhir tahun 1994, Rudi yang entah bagaimana ceritanya mewawancarai saya yang ketika itu baru pulang mengikuti Pekan Seni Mahasiswa Nasional III di Bali. Dan sejak saat itu beliau selalu menagih karya-karya saya untuk dimuat pada Edisi Minggu Harian Suara Maluku.

Saya bahkan menjadi tidak terpisahkan dengannya karena sejak itu, sebagian besar hidup saya terkait dengannya. Rudi pula yang memperkenalkan saya kepada tokoh-tokoh Maluku semisal Thamrin Ely, Lutfi Sanaki, Pdt. Jhon Ruhulessin, Suster Brigita Renyaan, Pdt. Jacky Manuputi dan tokoh LSM seperti Nus Ukru, Rolly Ubro, Sandra Lakembe, dll. Rudi juga yang memperkenalkan saya kepada kawan-kawan jurnalis seperti Novi Pinontoan, Max Apono, Embong Salampessy, Kace Mayaut, Din Kelilauw, Febby Kaihatu, Saswati Matakena dan lainnya. Saya bahkan menjadikan kediaman kerabat Rudi sebagai rumah kedua.

Di rumah Frans Watratan, sepupunya Rudi yang terletak di kawasan Batu Gantung (sebelah Toko Modal) saya banyak menghabiskan hari-hari saya dan persentuhan saya dengan banyak tokoh muda Kristen. Ketika itu, Frans adalah Ketua Presidium PMKRI Cabang Ambon. Dari sana saya mengenal Max Patiapon, Jefri, Charles Roring, Lenny dll. Ketika itu, saya bahkan bisa keluar masuk Keuskupan Amboina untuk membeli anggur misa untuk mabuk dengan alasan ada Misa keluarga di rumah.

Rudi pula yang belakangan ini sibuk memperkenalkan saya kepada banyak anak muda kreatif di Ambon yang tengah bertumbuh dalam berkesenian, terutama sastra dan kerja-kerja kemanusiaan. Melalui Rudi, saya mengenal Morika Tetelepta, Mark Ufie, Willy Waas, Falantino Erick Lauptapua, Ecko Saputra Poceratu, Revalino Barry dan lainnya.

Saudara Kristiani lain yang tak pernah bisa saya lupakan adalah Sandra Lakembe. Sandra seperti kakak perempuan bagi saya yang memberi banyak arahan dan pelajaran juga bantuan, baik material maupun i-material sepanjang masa-masa sulit, ketika konflik dan kekerasan menimpa Maluku dan setelahnya. Saya memiliki panggilan pribadi (Kaka Nona) kepada beliau sebagai bentuk penghormatan dan rasa cinta saya kepada beliau.

Di dunia sastra nasional, saya mempunyai perjumpaan yang karib dengan dua kawan kristiani yang kebetulan berasal dari Batak. Mereka adalah Sihar Ramses Simatupang dan Saut Situmorang. Kedua beliau inilah yang mengajak dan mengkritisi tajam karya-karya saya ketika diawal tahun 2000-an lahir generasi sastra baru melalui situs cybersastra.net. dan tak dapat dipungkiri bahwa banyak sastrawan besar hari ini lahir dari rahim bernama cybersastra.net itu.

Tentu ini hanya sekelumit persentuhan yang mampu saya ingat dan dapat saya beberkan memalui tulisan ini, disamping banyak persentuhan lain, termasuk persentuhan asmara dan hal remeh temeh lain dengan nona-nona Kristen yang sepergaulan, sekenakalan, sepemabukan, seperkawanan, seaktifitas maupun bertetanggaan.

Hal yang ingin saya sampaikan dari ceritera persentuhan ini adalah bahwa sampai saat ini saya tidak menjadi Kristen. (Cerita lain soal persentuhan saya dengan kaum Kristiani dapat dibaca pada buku “Carita Orang Basudara” terbitan Paramadina – Jakarta).

Bahwa seumur persentuhan saya, tidak pernah ada seorang pun dari mereka baik secara sengaja, bercanda apalagi secara serius mengajak saya masuk Kristen. Selain bahwa kalau saya sedang main ke rumah salah satu dari mereka dan ada makanan haram, mereka akan mengatakan “Jang masuk dapur, jang makan disini ada katong pung makanan”.

Selain kelucuan dan keakraban di meja makan, sebab ketika mereka masih asyik membaca doa Bapa Kami sambil komat-kamit dan menutup mata dengan tangan bersidekap di dada, saya sudah melahap sebagian besar lauk-pauk karena hanya membaca doa makan ala Islam di dalam hati saya dengan cepat.

Bagi saya, persaudaraan dan persabahatan melebihi nilai agama apa pun yang masing-masing kita anut. Dan sebagai pemeluk Islam saya percaya pada Firman Allah dalam Al-Quran: “Lakum Dinukum Waliyadin” yang merupakan ayat ke-6 dari Surat Al-Kafiiruun yang terjemahannya adalah: “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”.

Seperti kata Almarhum KH. Zainuddin MZ, “Untuk hal yang tidak bisa kita pesan atau minta dari Tuhan, untuk apa kita ributkan”. Jadi selamat Hari Natal basudara Sarani dimana pun berada. Rayakan Natal dengan merdeka tanpa harus memikirkan mereka yang berisik, apalagi bila itu hanya datang dari LSM mediokare macam MUI dan organisasi lain sejenis yang mengatasnamakan agama kami.

Damai di Langit. Damai di Bumi

Ternate, 15 Desember 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar