![]() | ||
| Pemandangan Kota Ambon. (Foto.satumaluku.com) |
BERAT bagi
beta untuk seng menyertakan Ambon sebagai sebuah peristiwa pendewasaan.
Beta jatuh cinta pada kota kecil di kaki Gunung Nona ini, karena pada
beberapa derajat, Ambon jauh lebih mendewasakan, lebih mencerdaskan dan
membuat beta jadi manusia melebihi apa yang beta pung bapa deng sekolah
boleh ajarkan.
Ambon
barangkali beta pung mama yang lain. Berkali-kali beta dibuat jatuh
cinta, dibuat marah, dibuat kecewa dan patah hati, berkali-kali juga
beta dibuat seng berdaya dan bersimpuh diam ketika dunia sudah kepalang
talamburang dan ancur lele.
Di Ambon
beta menemukan terlalu banyak alasan untuk menjadi sebenar-benarnya
manusia. Tentang bagaimana kota ini mengajarkan beta pada persaudaraan
dan persahabatan pada titik paling tinggi, juga tentang bagaimana di
kota ini beta menemukan orang-orang yang berjasa menjadikan beta seperti
sekarang ini.
Manusia-manusia
seperti Thamrin Ely, Rudi Fofid, Nus Ukru, Om Eli (Bapa Raja Haruku),
Suster Brigita Renyaan, Sandra Lakembe, Ongki Anakoda, Embong
Salampessy, Febby Kaihatu dan masih banyak lagi yang menjadi guru
sekaligus sahabat yang mengajari beta bagaimana menjalani hidup. Lebih
dari itu, Ambon adalah tempat di mana setiap kenangan bermula dan
berakhir syahdu.
Tentu saja
talalu banyak hal sentimentil yang dapat katong gali dari Ambon. Seperti
kehilangan pacar karena disalib teman, kehilangan teman karena
ditikung, atau bahkan kehilangan akal sehat karena konflik dan kekerasan
yang pernah terjadi bertahun lalu.
Tapi yang
membuat Ambon jadi istimewa, selain panggung sastra, hip hop dan kapata,
adalah luka lama. Seperti slogan yang sering katong dengar: Ambon
Manise.
Ada banyak
alasan mengapa mereka yang pernah dan atau tinggal di Ambon susah
berpaling dan melupakan kota ini. Ambon terlalu banyak mempunyai huk-huk
melankolis yang menjadi hunian kisah cinta yang gagal. Ini saintifik,
ilmiah.
Kalau seng
percaya, coba tanyakan teman, rekan, atau basudara yang pernah punya
hubungan percintaan di Ambon. Mereka pasti akan bilang bahwa tiap sudut
kota meninggalkan rindu dendam yang jauh lebih mematikan daripada
tertusuk duri babi.
Pernahkah
kalian merasakan memandang senja yang beranjak rubuh di Pantai
Latuhalat? Memandang matahari turun seraya menikmati sejuk sore di Tugu
Cristina Martha Tiahahu?. Berbincang deng nona mata garida yang kalian
cintai selama menahun, makan rujak sepiring berdua di Pantai Natsepa
atau berenang di pantai Hunimua yang berpasir putih. Ah, mungkin itu
cuma beta saja kaapa?.
Tapi ale
dong musti yakin, Ambon talalu kacumpit untuk hanya dimaknai sebagai
sebuah kota. Ambon adalah peristiwa, di mana masing-masing manusia yang
datang ke kota ini mengalami sensasi onosel, ondos deng laipose.
Ambon adalah
kesadaran, ia menjadi penting bagi banyak orang karena membuat
tiap-tiap yang datang merasa memiliki. Ambon juga pengorbanan, di mana
di kota ini, ale dipaksa menerima fakta perih yang demikian pahit,
bahwa sahabat terbaik bisa jadi pengkhianat terkeji karena menikung
pacarmu atau pernah membakar rumah dan kampungmu.
Di kota ini
pula ale belajar bahwa uang bukan segalanya. Uang mungkin bisa
memberimu banyak hal. Tapi di kota ini, persaudaraan dan keberadaan
teman yang asyik, seng hal banya dan punya energi iseng yang
melimpah-ruah adalah alasan untuk tetap hidup. Di Ambon kalian akan
menemukan keriangan-keriangan dungu, tolol, namun dirindukan. Tentang
obrolan di tepi pantai, di gunung, warung kopi hingga perihal cerita
lucu dan lelucon yang diulang-ulang namun tak pernah kehilangan
kelucuannya.
Di Ambon
kalian akan merasakan bahwa menjadi bodoh dan tak tahu apa-apa bukanlah
pilihan. Di kota ini terlalu banyak sumber pengetahuan yang membuat
orang paling goblok, setidaknya, bisa memahami bagiamana menjalani hidup
dan menjadi manusia.
Terlampau
banyak kantung-kantung kebudayaan dan komunitas anak muda kreatif yang
membuat kita cerdas. Terlalu sedikit alasan untuk tidak mendatangi
anak-anak Molluca Hip-Hop Comunity, Komunitas Tampayang, Kanal, Bagara
Amahusu, TrotoArt, Bengkel Sastra Maluku dan lainnya untuk menjadi
pintar karenanya.
Di kota ini
makanan murah enak dan nikmat bukan keajaiban. Itu sebuah keniscayaan.
Anda akan menemukan nasi kalapa di Batu Merah, nasi kuning bagadang di
Raden Panji dengan harga dibawah Rp. 10.000. Belum lagi tebaran penjual
sangkola dan ikan goreng di sepanjang jalan Poka dan Rumah Tiga yang
menyelamatkan mahasiswa-mahasiswa malas dari kelaparan, juga cakalang
fufu yang Tuang Ala sadap lawang. Mereka ada dan tetap alami.
Di Ambon
kita merasakan pahitnya pengkhianatan, juga manisnya jatuh cinta. Di
kota ini kita merasakan keramahan penduduk yang bersetia pada adat, tapi
juga kemarahan dari orang yang mengaku paling beragama. Ambon terlalu
manis untuk dilupakan.
Ambon memang luka lama yang talalu manis dan mustahil untuk dilupakan oleh siapa saja yang pernah jatuh cinta padanya.(*)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar