Jumat, 20 Mei 2016

Lima Puisi di Akhir Minggu





Mengenang Utrech di Akhir 2001

suatu senja di akhir musim semi
mengenang saat pertama di Utrech
dari pelarian berpuluh tahun lalu
nenekku berkata: “nyong ee, seng apa-apa.
katong akang bae-bae saja.”

kakekku terduduk di sudut stasiun dalam kepanikan
setelah pembajakan kereta api yang naas
rindu pada tanah kelahiran dan cita-cita
pada sebuah negara yang gagal mewujud
kami lari ke Belanda agar generasi Maluku tak binasa”,
ujarnya pelan seakan memutus harap

udara musim semi menghembuskan
aroma popeda dan kuah ikan ke wajahku
yang mulai berguguran sepi

di Utrech senja itu, aku melihat
bunga-bunga tulip yang bermekaran
menjelma kembang kubur dari mimpi lama
yang tak mungkin tergali dari jasad para tetua
dari cita-cita yang terlunta
aku rindu pulang. rindu sekali padamu nona

di Utrech senja itu, daun-daun bertumbuhan
bunga-bunga bermekaran seakan mengabarkan harap
tentang perjumpaan dan kemerdekaan yang menguap
seiring angin yang terus bergerak
  
                                    Ternate, 19 Maret 2014



bolontio, ingatkah engkau pada perempuan berputing empat
yang memintamu kawin lari ketika kompeni begitu gencar meminta nyawa?
sumpah imam-imam bima itu pernah menghantuiku hingga hampir bunuh diri
lalu kau berkata: jangan takut dosa murhum, ini takdir kita sebagai pelaut
itu pelayaran terakhir sebelum pulang bersembah sujud
ketika nuku meminta begitu. kita patuh pada sang empu

bolontio, ingatkah kau pada igo bula? istri mudamu yang kita culik dari laut
ketika kapal dagang cina kita bikin karam sepulang membajak dari mindanau
selalu kau bilang dia cinta terakhirmu meski igo bola tak pernah setia
aku ingat betul malam di pantai jiko arabane ketika bulan sedang purnama
dan bahder musang, kapitan laut dari ternate itu memeluknya mesra
dan anak panah siap melesat dari busurku membunuh mereka, namun kau
hanya bilang padaku biarkan igo bula bercinta. aku tak pandai melukainya

bolontio, ingatkah kau pada nur shafa, perempuan langit yang kau pinang
dengan dua belas kapak, ketika kita masih berjaya di laut merdeka
ketika anakmu samudera perkasa baru bisa memanggil papa, ini beta
ketika itu laut adalah kita dan meriam kompeni tiada kuasa merebut canga
aku ingat betul ia selalu menyalakan dupa dan meniup doa-doa di pagi buta
sebelum matahari memberi tanda untuk berlayar dengan angin pertama
lalu perlahan kapal uap meneer belanda mengusir kita. ini pertanda

lalu setelah itu kau bilang mari kita pulang laut sudah tak lagi rumah kita
dan sejak itu kita memilih lupa. menggulung layar dan membuka huma
laut sudah jadi masa lalu tidak hanya bagi kita tetapi juga penerus bangsa
barangkali untuk selamanya. semoga kita tak sampai durhaka

                        Ternate, 09 Agustus 2014


Herinneringen in Amsterdam
dalam kelam bayang-bayang dini hari musim semi
kau berikan maut dan waktu bagai nina bobo sebuah ayunan
pada sebuah kursi taman yang warnanya selalu pucat

dan larut malam di Amsterdam
serupa ruang kematian di atas langit
yang menjelma samudera kesunyian
dari sisa gerimis di sekat pipimu

“aku tak ingin melepasmu pergi”

erangmu bagai akrobat seniman jalanan
yang menirukan adegan petualangan peter pan
dari sebuah buku yang dulu kau kirimkan padaku
dengan sampul biru bergambar hatimu

kau tahu Yohana, sejak pertemuan itu
aku tak pernah bisa pergi, sebab airmatamu memanggilku
bagai lentik hujan di atas buiksloterkanaal
yang memanjakan sepasang angsa
dalam kerinduan yang tamat

dan malam ini Yohana, kutunggu di tempat biasa
hingga kau tiba dalam segala dan tiada yang tersisa
selain aku, kamu dan cinta
           
Ternate,  22 November 2013


Tentang Lelaki Dari Tanjung Bira

berangkatlah karaeng, tak perlu kau risaukan siri’ na pacce’ itu
sebab tak ada yang perlu kau bayar dari pertautan kita.
       yang menyisakan duka lara
aku sudah terlampau biasa berkarib airmata
malam ini adalah penghabisan kali kita bertemu
dan kuharap kau tak kunjung kembali

suatu hari nanti kau akan pasti jua mengerti
mengapa aku memintamu pergi merantau

berangkatlah karaeng bersama doa penghabisan
yang masih mampu aku lafazkan malam ini sebelum airmata
sebelum laut terlanjur ombak dan kapal-kapal menjadi binasa.
kau tahu sungguminasa, balalumpoa. lelaki dari tanjung bira
semua yang tersisa demikianlah aku sampai nanti kita menua

berlayarlah karaeng sebab tak ada yang perlu kau bayar
jeram-jeram di dada, riak-riak airmata
ini sudah perkara biasa tak perlu kau nelangsa
sudah takdirnya apa mau dikata
mati pun tak lagi membalik cerita
bulukumba, tida usah mi kau angkat sumpah

                        Makassar, 31 Maret 2015



Perempuan Lautku yang Mampu Berlayar ke Timur

telah kuceritakan padanya
bahwa kaulah perempuan lautku
yang mampu berlayar ke timur.
asin di tubuhmu bergaram padaku

di laut-laut biru di palung-palung bisu
kau menyimpan gemuruh rindu
bersekutu seluruh rupa hantu menderu padaku
di musim pancaroba pada agustus yang gagu
           aku tak meragu.

telah kuceritakan kepadanya
 bahwa engkaulah perempuan lautku
yang faham jalur mana akan kau arung
beting-beting karang dan arah selat menuntunmu
  mendekat padaku.

kau sungguh tahu di ceruk mana
perahu rindu mesti berlabuh. sebab di situ
aku menunggumu hingga akhir waktu
perempuan lautku yang mampu berlayar ke timur

                        Manggar, Belitung Timur, 23 Agustus 2015



Tidak ada komentar:

Posting Komentar