Mengenang Utrech di Akhir 2001
suatu senja di akhir musim semi
mengenang saat pertama di Utrech
dari pelarian berpuluh tahun lalu
nenekku berkata: “nyong ee, seng apa-apa.
katong akang bae-bae saja.”
kakekku terduduk di sudut stasiun dalam kepanikan
setelah pembajakan kereta api yang naas
rindu pada tanah kelahiran dan cita-cita
pada sebuah negara yang gagal mewujud
“kami lari ke Belanda agar generasi Maluku tak binasa”,
ujarnya pelan seakan memutus harap
udara musim semi menghembuskan
aroma popeda dan kuah ikan ke wajahku
yang mulai berguguran sepi
di Utrech senja itu, aku melihat
bunga-bunga tulip yang bermekaran
menjelma kembang kubur dari mimpi lama
yang tak mungkin tergali dari jasad para tetua
dari cita-cita yang terlunta
aku rindu pulang. rindu sekali padamu nona
di Utrech senja itu, daun-daun bertumbuhan
bunga-bunga bermekaran seakan mengabarkan harap
tentang perjumpaan dan kemerdekaan yang menguap
seiring angin yang terus bergerak
Ternate, 19 Maret 2014
bolontio, ingatkah engkau pada perempuan berputing empat
yang memintamu kawin lari ketika kompeni begitu gencar
meminta nyawa?
sumpah imam-imam bima itu pernah menghantuiku hingga
hampir bunuh diri
lalu kau berkata: jangan takut dosa murhum, ini takdir
kita sebagai pelaut
itu pelayaran terakhir sebelum pulang bersembah sujud
ketika nuku meminta begitu. kita patuh pada sang empu
bolontio, ingatkah kau pada igo bula? istri mudamu yang
kita culik dari laut
ketika kapal dagang cina kita bikin karam sepulang
membajak dari mindanau
selalu kau bilang dia cinta terakhirmu meski igo bola tak
pernah setia
aku ingat betul malam di pantai jiko arabane ketika bulan
sedang purnama
dan bahder musang, kapitan laut dari ternate itu
memeluknya mesra
dan anak panah siap melesat dari busurku membunuh mereka,
namun kau
hanya bilang padaku biarkan igo bula bercinta. aku tak
pandai melukainya
bolontio, ingatkah kau pada nur shafa, perempuan langit
yang kau pinang
dengan dua belas kapak, ketika kita masih berjaya di laut
merdeka
ketika anakmu samudera perkasa baru bisa memanggil papa,
ini beta
ketika itu laut adalah kita dan meriam kompeni tiada
kuasa merebut canga
aku ingat betul ia selalu menyalakan dupa dan meniup
doa-doa di pagi buta
sebelum matahari memberi tanda untuk berlayar dengan
angin pertama
lalu perlahan kapal uap meneer belanda mengusir kita. ini
pertanda
lalu setelah itu kau bilang mari kita pulang laut sudah
tak lagi rumah kita
dan sejak itu kita memilih lupa. menggulung layar dan
membuka huma
laut sudah jadi masa lalu tidak hanya bagi kita tetapi
juga penerus bangsa
barangkali untuk selamanya. semoga kita tak sampai
durhaka
Ternate, 09 Agustus 2014
Herinneringen in Amsterdam
dalam kelam bayang-bayang dini hari musim semi
kau berikan maut dan waktu bagai nina bobo sebuah ayunan
pada sebuah kursi taman yang warnanya selalu pucat
dan larut malam di Amsterdam
serupa ruang kematian di atas langit
yang menjelma samudera kesunyian
dari sisa gerimis di sekat pipimu
“aku tak ingin melepasmu pergi”
erangmu bagai akrobat seniman jalanan
yang menirukan adegan petualangan peter pan
dari sebuah buku yang dulu kau kirimkan padaku
dengan sampul biru bergambar hatimu
kau tahu Yohana, sejak pertemuan itu
aku tak pernah bisa pergi, sebab airmatamu memanggilku
bagai lentik hujan di atas buiksloterkanaal
yang memanjakan sepasang angsa
dalam kerinduan yang tamat
dan malam ini Yohana, kutunggu di tempat biasa
hingga kau tiba dalam segala dan tiada yang tersisa
selain aku, kamu dan cinta
Ternate, 22
November 2013
Tentang Lelaki Dari Tanjung Bira
berangkatlah karaeng, tak perlu kau risaukan siri’ na pacce’
itu
sebab tak ada yang perlu kau bayar dari pertautan kita.
yang menyisakan duka lara
aku sudah terlampau biasa berkarib airmata
malam ini adalah penghabisan kali kita bertemu
dan kuharap kau tak kunjung kembali
suatu hari nanti kau akan pasti jua mengerti
mengapa aku memintamu pergi merantau
berangkatlah karaeng bersama doa penghabisan
yang masih mampu aku lafazkan malam ini sebelum airmata
sebelum laut terlanjur ombak dan kapal-kapal menjadi
binasa.
kau tahu sungguminasa, balalumpoa. lelaki dari tanjung
bira
semua yang tersisa demikianlah aku sampai nanti kita
menua
berlayarlah karaeng sebab tak ada yang perlu kau bayar
jeram-jeram di dada, riak-riak airmata
ini sudah perkara biasa tak perlu kau nelangsa
sudah takdirnya apa mau dikata
mati pun tak lagi membalik cerita
bulukumba, tida usah mi kau angkat sumpah
Makassar, 31 Maret 2015
Perempuan Lautku yang Mampu Berlayar ke Timur
telah kuceritakan
padanya
bahwa kaulah
perempuan lautku
yang mampu berlayar
ke timur.
asin di tubuhmu
bergaram padaku
di laut-laut biru
di palung-palung bisu
kau menyimpan
gemuruh rindu
bersekutu seluruh
rupa hantu menderu padaku
di musim pancaroba
pada agustus yang gagu
aku tak meragu.
telah kuceritakan
kepadanya
bahwa engkaulah perempuan lautku
yang faham jalur
mana akan kau arung
beting-beting
karang dan arah selat menuntunmu
mendekat padaku.
kau sungguh tahu di
ceruk mana
perahu rindu mesti
berlabuh. sebab di situ
aku menunggumu
hingga akhir waktu
perempuan lautku
yang mampu berlayar ke timur
Manggar, Belitung Timur, 23 Agustus
2015

Tidak ada komentar:
Posting Komentar