Jumat, 27 Mei 2016

Islam Ternate




“Islam” dan “Ternate”. Dua kata ini menjadi semacam kata kunci untuk mengawali tulisan saya tentang budaya demokrasi dalam tradisi politik Islam Ternate. 

Yang ingin coba dilihat melalui tulisan ini adalah bagaimana potret politik Islam di Ternate jika diletakkan dalam kerangka demokrasi, yang kini banyak dianggap sebagai salah satu sistem pemerintahan yang baik (good governance). 

Pada dasarnya, kata “Islam” dan “Ternate” tentu saja merujuk pada dua makna yang berbeda: yang pertama, merujuk pada sebuah tatanan dengan sekumpulan nilai yang diyakini oleh pemeluknya sebagai way of life. Sementara yang kedua, Ternate, berarti sebuah komunitas di wilayah tertentu, di mana kita berada di dalamnya. Karenanya, yang disebut sebagai masyarakat Ternate adalah mereka yang menjadi bagian dari komunitas di wilayah dimaksud.

Dalam perkembangannya, Islam dan Ternate menjadi dua kata yang sering harus berjalan beriringan; Islam menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Ternate, sebaliknya masyarakat Ternate  juga menjadi sangat identik dengan Islam, sehingga nilai-nilai yang diproduksi oleh Islam niscaya dengan sendirinya banyak melandasi perumusan nilai-nilai kehidupan dan perilaku masyarakat Ternate. Tak terkecuali dalam mengekspresikan gagasan-gagasan tentang politik, seperti konsep kekuasaan, penguasa atau sultan, hubungan penguasa dengan rakyat, serta hal-hal lain yang berada dalam ranah politik.

Tentang konsep kekuasaan misalnya, dalam tradisi politik Ternate, berkembang ajaran bahwa penguasa memerintah berdasarkan mandat dari Tuhan, dan bukan dari rakyat. Jika ditelusuri, ajaran ini, antara lain, pernah berkembang dalam tradisi politik di zaman dinasti Umayyah dan Abbasyiah, di mana penguasa dianggap sebagai “bayangan Tuhan di muka bumi” (zillullah fil Ard).

Dalam hal ini, bangsa Ternate  menjadikan Islam historis sebagai dasar perumusan etika bagi perilaku politik para penguasa di kerajaan. Gambaran tentang tesis tersebut misalnya tampak dalam sastra lisan Ternate semisal Rorasa (Bobaso se Rasai), di mana perumusan Islam sebagai basis etika politik terlihat dengan jelas dan mengemuka —.  

Rorasa jelas mendeskripsikan pengadopsian gelar-gelar politik serupa zaman dinasti Umayyah dan Abbasyiah, semisal "Sailillah Suba Jou Kolano Lamo-Lamo, Kahlifah magori-gori., “Engkau Khalifahturrasyid dan Tubaddilur Rasul kau pegang takdir perintah amar ma’aruf dan nahi mungkar, wayahkunul adilina bainal rijali wan nisaa’i. Sailillah sembah Yang Dipertuan Agung, khalifah yang utama.” dll.- oleh para penguasa.

Oleh karenanya, untuk melihat gambaran tentang tradisi politik Islam Ternate  ini, kita bisa melacaknya, antara lain, melalui berbagai pemikiran, tradisi politik dan kekuasaan yang pernah ada dalam khazanah Islam klasik, meskipun tampaknya periode yang dirujuk lebih pada masa dunia Muslim abad pertengahan —di mana unsur Persia banyak berpengaruh di dalamnya— yang oleh beberapa kalangan dianggap sebagai tidak mengakar baik dalam ajaran-ajaran al-Quran.

Dalam konteks ini, sultan atau penguasa memang merupakan figur dan lembaga yang terpenting. Sultan dianggap sebagai orang yang mulia dan mempunyai berbagai kelebihan. Posisi sultan adalah setingkat dengan Nabi, dan sebagai pengganti Allah di muka bumi. Konsep ini tentu saja mengandung arti bahwa penguasa mempunyai dua kekuasaan: keduniaan, dan keagamaan. Oleh karenanya, kekuasaan sultan atau penguasa menjadi muqaddas atau suci, dan wajib hukumnya bagi rakyat untuk taat kepada penguasa dengan melaksanakan apapun titahnya.

Sifat mutlak kekuasaan sultan atau penguasa dalam tradisi ini kemudian lebih diperkuat lagi dengan konsep “setia” dan “durhaka”, yang juga meniscayakan kemutlakan kekuasaan sultan, sehingga rakyat dituntut untuk setia tanpa batas. Mereka yang ingkar (durhaka) kepada sultan akan menerima hukuman. Pada posisi hukum demikian seringkali mengakibatkan munculnya tindakan-tindakan sultan/penguasa yang sewenang-wenang, tidak bertumpu pada azas rule of law, tidak terbuka terhadap keragaman, dan seterusnya.

Tentu saja, kendati banyak dipengaruhi unsur Islam, fenomena bentuk pemerintahan Kesultanan Ternate  seperti ini juga tidak bisa serta merta dianggap sebagai citra dari sebuah pemerintahan ala-Islam, yang komunitasnya terikat dengan hukum-hukum syariat. 

Kenapa? karena — selain Islam yang dirujuk pun tidak bersifat menyeluruh— secara historis, dunia politik Ternate juga memiliki akar-akar yang kuat dengan tradisi masa pra-Islam, di mana sistem pemerintahan yang berpusat pada raja atau penguasa telah muncul, paling tidak dalam bentuk embrionya. 

Oleh karenanya, tidak heran kemudian jika struktur seremonial negara Islam Ternate, gelar-gelar, dan ritual-ritual yang memperlihatkan pencapaian duniawi dan spiritual dari elit dan masyarakat Ternate, seringkali juga memiliki “silsilah” dan keterkaitan dengan tradisi masa pra Islam.

Dengan penjelasan ini, satu hal dapat dipastikan, betapa tidak mudah untuk mencari benang merah antara nilai-nilai dalam sistem demokrasi —yang meniscayakan beberapa parameter tertentu— dengan tradisi politik Islam Ternate tersebut, meskipun benang merah itu tampaknya bukan tidak ada sama sekali.

Masih dalam hal hubungan antara sultan dengan rakyat misalnya, kendati posisi sultan sangat dominan, namun tradisi politik Ternate juga mengenal pola hubungan sultan dengan rakyat yang kita kenal sebagai konsep “Jou se Ngofangare”. 

Kendati memang sangat simbolik, Sejarah Ternate dalam beberapa bagian menekankan adanya kewajiban sultan dan rakyat untuk tidak saling merusak posisi masing-masing. Dalam kaitan inilah, wacana politik Ternate selanjutnya memperkenalkan konsep musyawarah, yang juga diadopsi dari tradisi politik Islam, sebagai aturan dalam sistem perilaku politik sultan dan penguasa Ternate.

Alhasil, melacak akar-akar demokrasi dalam tradisi politik Islam Ternate, tak ubahnya bagai mencari “gumala”  di dasar laut: ada, tetapi tidak gampang mencarinya! Yang harus menjadi catatan penting kita adalah, betapa pengalaman telah menunjukkan bahwa perumusan sistem pemerintahan, apapun bentuknya, ternyata dihasilkan melalui persentuhan antara budaya yang pernah ada dengan “sesuatu” yang datang kemudian.

Jadi, kendati kita pernah memiliki pengalaman yang agak-agak gelap dalam hal berdemokrasi, toh sekarang kita sedang banyak bersentuhan, dan dengan sendirinya bisa “belajar”, dengan nilai-nilai demokrasi itu? Masalahnya, tong mau ka tarada!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar