Ada yang menarik dari fenomena rivalitas politik jelang pemilihan kepala
daerah (Pilkada) Kota Ambon, Tahun 2017 mendatang, yakni terus melajunya pasangan calon walikota dan wakil walikota dari jalur independen Elsye Latuheru Syauta - M. Aziz Tunny.
Di tengah dominasi partai politik, pasangan jalur
independen ini membuktikan keseriusan untuk terus melangkah menuju ke
jalan Sultan Khairun. Fakta
politiknya, pasangan Elsye Latuheru Syauta - M. Aziz Tunny berhasil menghimpun dukungan 11.550 Kartu Tanda Penduduk (KTP) warga guna memenuhi
persyaratan pencalonan perseorangan.
Memang dalam ketentuannya, pasangan calon perseorangan disyaratkan bisa
mengumpulkan dukungan enam koma lima persen dari total 387.475
jiwa penduduk Kota Ambon
(2014). Ini artinya, pintu awal bagi calon independen
sudah terbuka, tinggal mendesain langkah lanjutan agar peluang tetap terjaga.
Mengumpulkan dukungan publik berbentuk KTP tentu berat dalam kondisi
skeptisisme publik atas kualitas demokrasi elektoral di negeri ini.
Terlebih, di Kota Ambon ini masyarakatnya plural, baik dari sudut strata
ekonomi, pendidikan, agama, etnis, maupun aliran-aliran ideologi pun politik. Sejarah Pilkada Kota
Ambon setelah era reformasi
menunjukkan kandidat sangat terbiasa difasilitasi parpol yang menjadi mesin
utama pemenangan setelah mereka melakukan serangkaian proses lobi dan negosiasi
dengan elite partai.
Tentu, hal yang dilakukan calon independen berbeda sekali karena harus
berjibaku meyakinkan dukungan awal dari publik. Sebenarnya, dalam konteks
dinamika politik kekinian, calon independen itu memiliki ciri pembeda dengan
kandidat parpol. Sebab saat ini warga Kota Ambon-sepertinya halnya bangsa Indonesia-secara umum sedang
dilanda disonansi kognitif dalam memilih pejabat publik yang diusung parpol.
Disonansi kognitif biasanya muncul akibat perbedaan pikiran dan realitas
yang ditemukan para pemilih. Partai Politik hingga sekarang tidak memberi impresi memadai sebagai
institusi yang mau dan mampu mengagregasi kepentingan politik rakyat. Bahkan,
ada kecenderungan menguatnya gejala ketidakpercayaan publik atas peran dan
fungsi parpol. Apatisme publik ini semakin menjadi saat parpol ramai-ramai
melibatkan diri dalam kekuasaan yang korup dan tidak memberi ruang sedikit pun
bagi perjuangan politik prorakyat.
Partai apa pun nyaris sama, yakni lebih mengutamakan kepentingan
kelompoknya, sekaligus mengamankan berbagai akses mereka atas aset negara yang
setiap saat bisa mereka korup. Oligarki mekanisme sirkulasi elite cenderung memperteguh oligarki
parpol. Dalam maha karyanya, “Republic”, Plato pertama kali mengenalkan oligarki sebagai
kekuasaan politik yang secara efektif dikuasai sekelompok elite.
Tak hanya dalam birokrasi negara dan pemerintahan, kepemimpinan oligarkis
juga sangat mungkin berkembang dan mapan di dalam birokrasi parpol. Para
politisi partai pasca-Soeharto terperangkap ke dalam kecenderungan oligarki
baru melalui partaipartai yang struktur kepemimpinannya merupakan duplikasi
dari struktur tradisi sosiokultural lokal yang cenderung patrimonial dan
feodalistis. Kejenuhan dalam merespons caloncalon gubernur parpol itulah, calon
independen mendapat tanggapan positif dari berbagai kalangan.
Kemudian, pilkada dianggap terlalu berbiaya tinggi. Tak hanya biaya
finansial, juga biaya sosial. Setiap pilkada, gelontoran dana nyaris tak
terhindarkan. Atmosfer pilkada berbiaya tinggi dianggap sebagai sebab demokrasi
berlangsung tak sehat. Salah satu simpul yang membuat Pilkada menjadi mahal, adalah karena tradisi upeti ke parpol atau gabungan parpol.
"Mahar" pencalonan kandidat parpol atau gabungan parpol ini tentu
akan diposisikan sebagai "investasi" politik kandidat, sehingga jika
menang, agenda utamanya adalah mengembalikan modal plus bunga atau keuntungan.
Semakin parah, jika "investasi" yang ditanam hasil guyuran pengusaha
akan menagih konpensasi saat kandidat berkuasa. Dengan demikian, residu logika
ekonomi akan jauh lebih dominan dibanding logika pelayanan.
Elsya-Agil yang maju melalui jalur independen tentu memiliki peluang untuk mendeklarasikan
diri sebagai kandidat yang tak terlilit tradisi upeti. Ini akan membuat mereka
lebih percaya diri berjanji bekerja optimal melayani warga Kota
Ambon. Pemilih Kota
Ambon heterogen dan cair. Secara
umum, pemilih di Kota Ambon memiliki marjin memadai untuk jumlah pemilih rasional (rational voter). Tersedia cukup banyak
peluang massa mengambang (floating mass)
dan swing voter.
Tipologi-tipologi pemilih ini menjadi peluang calon independen karena
ikatan pemilih dengan parpol sangat cair. Sentimen negatif dari publik atas
kinerja parpol secara umum di level nasional maupun daerah tentu akan
dimanfaatkan calon independen Elsye-Agil dengan menawarkan platform, program-program dan kinerja
yang berbeda, sekaligus membawa perubahan.
Memang ada tantangan nyata yang akan ditemui calon independen
Elsye-Agil. Misalnya, sokongan dana untuk membiaya tahapan pilkada.
Calon independen berporos pada partisipasi publik termasuk pendanaan. Ini masih
menjadi tradisi cukup asing dalam peta politik karena sistem dan logika
berpikir pemilih telah lama dirusak parpol, dalam bentuk money politik.
Dampaknya, pilkada tak ubahnya pasar pertaruhan atau pasar lelang yang
diatur hukum penawaran dan permintaan, juga desain strategi dan saluran
implementasi dalam proses komunikasi persuasif.
Jika kandidat yang diusung parpol atau gabungan parpol sampai saat ini belum menunjukkan penampakannya, calon
independen Elsye-Agil justru telah lama berjibaku
membentuk sistem pemenangan baru hingga ke simpul-simpul pemilih.
Dengan demikian, jika membaca peluang-peluang tadi, rasanya kandidat jalur
independen Elsye-Agil memiliki peluang menjanjikan pada Pemilukada
Kota Ambon, Tahun 2017 mendatang.
Beta Ambon-Beta Bisa…

Tidak ada komentar:
Posting Komentar