Selasa, 03 Mei 2016

Cristina, Kartini deng Nona-Nona Ambon Masa Kini

Apa yang terlintas di ale pung benak ketika mendengar kata ‘Ambon’? Pisang, deretan penyanyi bersuara emas macam Broery Pesolima, Utha Likumahua,Glen Fredly, Andre Hehanussa, petinju fenomenal Elly Pical , preman Jakarta, RMS, jembatan merah-putih atau penyair macam Morika Tetelepta deng beta? Hallah… jang lebay nyong….. 
 
Betul itu Bu deng Usi, Caca deng Abang, bisa saja samua yang terlintas deng semua yang disebut memang identik deng Ambon. Tapi ada satu hal lagi yang paling identik dengan Ambon, yaitu Cristina Martha Tiahahu (catat, Cristina, bukan Cristina Aguilera yang Show Me How You Burlesque).
 
Selain ‘Pattimura’, Cristina juga sangat melegenda dan acap dianggap menjadi simbol Ambon (Maluku): Seorang perempuan muda. Nona mata garida, rambu pata mayang yang rela mati memperjuangkan negeri Maluku hingga mayatnya di buang belanda di kedalaman Laut Banda, dan kini patungnya berdiri kokong di punggung bukit Karang Panjang, menghadap Kota Ambon dengan tombak di tangan, seperti mengawasi setiap orang yang datang, menetap maupun pergi.
 
Kalo ale baru pernah datang ke Ambon, terus jalan-jalan, apalagi mau ambil view sunset, nah Tugu Cristina ini spot paling bagus untuk ale datangi. Christina Martha Tiahahu adalah seorang gadis dari Desa Abubu di Pulau Nusalaut. Lahir sekitar tahun 1800 dan pada waktu mengangkat senjata melawan penjajah Belanda berumur 17 tahun. Coba bandingkan deng nona-nona sakarang. 
 
Christina adalah seorang puteri remaja yang langsung terjun dalam medan pertempuran melawan tentara kolonial Belanda dalam perang Pattimura tahun 1817. Di kalangan para pejuang dan masyarakat sampai di kalangan musuh, ia dikenal sebagai gadis pemberani dan konsekwen terhadap cita-cita perjuangannya. Inilah bedanya Cristina deng nona-nona Ambon sakarang yang suka PHP, suka Baper, cakadidi, sanang pasang status alay deng lebay di media sosial.
 
Supaya katong samua tahu, bahwa sejak awal perjuangan, Cristina selalu ikut mbil bagian dan pantang mundur. Deng rambut panjang terurai ke belakang, berikat kepala sehelai kain berang (merah) Cristina setia mendampingi ayahnya dalam setiap pertempuran baik di Pulau Nusalaut maupun di Pulau Saparua.
 
Siang deng malam Cristina selalu hadir dan ikut dalam pembuatan kubu-kubu pertahanan. Ia bukan saja mengangkat senjata, tetapi juga memberi semangat kepada kaum wanita di negeri-negeri agar ikut membantu kaum pria di setiap medan pertempuran sehingga Belanda kewalahan menghadapi kaum wanita yang ikut berjuang.
 
Di dalam pertempuran yang sengit di Desa Ouw – Ullath jasirah Tenggara Pulau Saparua yang nampak betapa hebat srikandi ini menggempur musuh bersama para pejuang rakyat. Namun akhirnya karena tidak seimbang dalam persenjataan, tipu daya musuh dan pengkhianatan, para tokoh pejuang dapat ditangkap dan menjalani hukuman. Ada yang harus mati digantung dan ada yang dibuang ke Pulau Jawa. Kapitan Paulus Tiahahu divonis hukum mati tembak. Christina berjuang untuk melepaskan ayahnya dari hukuman mati, namun ia tidak berdaya dan meneruskan bergerilyanya di hutan, tetapi akhirnya tertangkap dan diasingkan ke Pulau Jawa 
 
Di Kapal Perang Eversten, Christina Martha Tiahahu menemui ajalnya dan dengan penghormatan militer jasadnya diluncurkan di Laut Banda menjelang tanggal 2 Januari 1818.
 
Sampe disini, beta jadi inga parampuang jawa, mata bulan yang cuma modal tulis surat for dia pung tamang di Holland itu, terus setiap tanggal 21 April katong peringati dia pung hari lahir (coba klo dong kase undur barang ampa hari lai, bisa kaco basar itu... haharlak… ). Beta mau bilang bahwa kalo cuma tulis surat sih nona-nona Ambon mar bisa, deng lebe licah. Apalagi kalo surat cinta. Batul ka seng Ayowembun Petra?
 
Memang aneh kedengarannya, sebab ada parampuang-parampuang yang berjuang jiwa-raga, tapi seng dapa tempat di hati negara for angka dong jadi pahlawan, macam ratu Nukila dari Ternate deng lain-lain. Tapi sudahlah negara ini memang akang pung tabeat bagitu. Jadi seng salah kalo Om Ety Sahuburua bilang katong ditinggalkan dan dimiskinkan. 
 
Balik lagi ke soal Cristina, Kartini deng nona-nona Ambon masa kini, beta mau bilang bahwa di jaman dulu katong punya Cristina. Di awal 2000-an ketika perdamaian tengah dibangun dengan sungguh-sungguh ada Ibu Raja Passo. Terus jelang Tahun 2017 nanti ada Usi Elsye Latuheru Syauta. (Jang ale dong lupa, ada pilkada Kota Ambon tuh). Lalu akang pung hubungan apa? Pasti ale dong mau tanya bagitu to?
 
Intinya beta mau bilang bahwa nona-nona Ambon sakarang itu dong seng kalah hebat dar laki-laki, dong juga seng kalah hebat deng nona Jepara yang dia pung nama Kartini itu, yang beta sendiri bingung sebenarnya dia pung nama Kartini atau Harum (hahahaha….kalo di lagukan harum namanya to). Jadi seng ada salah to kalo katong coba kase kesempatan for Usi Elsye pimpin katong lima tahun akan datang. Inga… beta seng paksa Caca deng Usi, Bu deng Abang dong eee. Beta Cuma buang-buang suara sa. Boleh to?
 
Beta kita suda jua kaapa ee. Beta permisi mau mangente karja dolo. Selamat membaca kalo ada yang mau baca. Beta tutup deng lagu “God Be With You Till We Meet Again” ciptaan J.E. Rankin dan G.W. Tomer, yang biasa dolo dong pake sebagai nyanyian umat di gereja-gereja Protestan Indonesia Timur ini. Amato….
 
Tuang djaga par kamu orang  
Nanti katong baku dapat 
Koassa Kristo Tuang Annak  
Namanja lindung segalanja
 
Bertemou lagi samoa  
Koassa Tuang pada samoa  
Tarima kassi deri beta  
Koassa Tuang pada samoa.
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar