A. Laut Dalam Falsafah Ternate
Upaya memahami sudut pandang
filosofis terutama laut sebagai wilayah kosmis dalam filsafat Ternate akan
dapat ditempuh melalui upaya menelusuri makna yang terkandung dalam simbol Goheba Dopolo Romdidi yang merupakan
lambang kesultanan Ternate. Selanjutnya, upaya ini akan dapat memberikan titik
terang bagi kita dalam merumuskan jawaban atas pertanyaan dari mana sumber
kebudayaan Maloko Kie Raha itu berasal.
Simbol ini berbentuk burung mitologik,
yaitu seekor burung elang laut berkepala dua dan berhati satu, dinamakan
"GOHEBA". Lambang Kie Raha ini merupakan objektivasi dari filsafat Jou
Se Ngofa Ngare. Yang bisa diterjemahkan sebagai AKU dan ENGKAU. Karena adanya
Ua Hang Moju, yang juga dinamakan “Alam La” atau “Alam Ketiadaan” maka dapat
kita katakan bahwa “aku dan Engkau” berada dalam satu tempat.
Maka menurut hukum logika, dapat
artikan pertanyaan "Toma ua hang moju" sbb: Yakni bahwa" Toma ua
hang moju" mengarah kepada waktu yang spatial dan ruang yang temporal
dalam arti bahwa waktu yang spatial dan ruang yang temporal berada diluar
kosmos (universe) karena adanya :ua hang moju. Jika kita hubungkan dengan
firman Tuhan dalam Al-Quran Surat Al Insan Ayat 1-2, yang berbunyi: "Bukankah telah datang atas manusia satu
waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat
disebut".
Akal kita dapat menerima bahwa toma ua hang moju disini adalah
"satu waktu dari masa". Maka secara kosmogonis pertanyaan kita
menjadi "Pada suatu tempat yang berada diluar ruang dan waktu objektif,
apa yang terlebih dahulu eksis". Sehingga pertanyaan ini pada dirinya
menerangkan bahwa ada sesuatu diluar ruang dan waktu objektif. Pertanyaan ini
memerlukan jawaban yang berusaha menetapkan titik tolak pemikiran tentang asal
usul penciptaan alam ini.
Berbunyi: "TOMA UA HANG MOJU
TOMA LIMAU GAPI MA TUBU – KOGA IDADI SOSIRA- Jawabannya adalah JOU SE
NGOFANGARE".
Artinya: "Pada satu waktu dari
masa, pada suatu tempat yang tertinggi “(LAUH-AL MAHFUDZ), apa yang mendahului
ada “Aku dan Engkau".
"GUDU MOJU SI TO SUBA RI JOU SI
TO NONAKO" artinya “Aku menyembahnya karena aku sudah mengenalnya”.
Pepatah Arab mengatakan : “Man ‘arafa
Nafsuhu faqad ‘arafa Rabbahu”. Barang siapa mengenal dirinya maka dia mengenal
Tuhan-Nya.
Ini berkaitan erat dengan firman
yang mengajarkan bahwa Tuhan menciptakan jin dan manusia hanya untuk
menyembahNya. Dalam Al Qur’an Allah SWT Berfirman : wamaa khalaqtul Jinna wal
Insa Illa Liya’buduun. Dan tidaklah kami menciptakan Jin dan Manusia, melainkan
untuk beribadah kepadaku. Kemudian Islam masuk ke Ternate (baca KIE RAHA), dan
mengajarkan asas Islam ialah dua kalimat Syahadat dalam bahasa Arab:
"Asyahadu alla ilaha ilallah wa aasyahadu anna Muhammdar Rasulullah".
Ternyata sesuai dengan asas Jou Se Ngofangare.
Dengan demikian, maka dapat ditarik
benang merah bahwa upaya merenungkan hasil jangkauan akal manusia akan hakikat
keberadaannya di muka bumi ini yang mencakup hubungannya dengan Allah selaku
Khalik yang menciptakan, hubungannya dengan manusia yang lain serta hubungannya
dengan alam dalam menemukan tata cara atau pedoman melaksanakan interaksi
dengan dunia luar dirinya bermuara pada falsafah “Jou Se Ngofa Ngare” sebagai
suatu system nilai yang perlu diwujudkan dalam kehidupannya.
Sumber kebudayaan Moloku Kie Raha
berasal dari falsafah hidup Jou Se Ngofa Ngare yang merupakan implementasi dari
akar budaya asli orang Ternate itu sendiri, yaitu; “Adat ma toto agama, Agama ma toto toma Jou Rasulullah, Jou Rasulullah
manyeku Diki Amoi nga hidayah se kodrati”. (Adat bersumber dari agama,
agama bersumber dari ajaran Rasullulah, dia atas Rasulullah hanya hidayah dan
kehendakNYA atas segalanya
Oleh sebab masyarakat menyakini
bahwa semua sumber kehidupan berasal dan berawal dari laut (Lauh-Al mahfudz)
sebagaimana konsep TOMA UA HANG MOJU TOMA LIMAU GAPI MA TUBU, KOGA IDADI SUSIRA
- JOU SE NGOFANGARE", maka kemudian dapat kita lihat implementasinya dalam kehidupan bernegara maupun masyarakat:
1. Lambang Negara burung elang berkepala dua (Goheba)
laki-laki dan perempuan dimana burung elang laki-laki adalah elang darat dan
burung elang perempuan adalah elang laut.
2.
RORASA yang disampaikan sebagai prakata Penobatan
Sultan….. tentang Maloko Kie Raha, Temate dan Tidore, Bacan dan Jailolo beserta
wilayah kekuasaanmu di utara terjauh: Sulu dan Mindanao, utara terdekat:
Morotai dan Morotia, di selatan terjauh: Bima dan Manggarai, dan selatan
terdekat: Sula dan Taliabu.
3. Dalam struktur pemerintahan jabatan tertinggi Militer dipegang
oleh “KAPITA LAO” Kesultanan-Kesultanan di Maluku juga hanya memiliki satu angkatan
perang yakni angkatan laut.
4. Pakaian dapat dilihat dari topi/kopiah adat yang
berbentuk mirip perahu dengan layar.
5.
Perkawinan dimana ikan disimbolkan sebagai lambing
kesuburan perempuan. Dlsb
B. Laut, Indonesia dan Kita
Tanah Maluku yang membentang
sepanjang tepian Pacific, dikenal sebagai daerah yang memiliki kekayaan sumber
daya alam melimpah, baik sektor pertambangan terutama perikanan dan kelautan, maupun sektor lain seperti
minyak bumi dan kehutanan. Asumsi hukum alam, “negeri kaya rakyatnya
sejahtera” ternyata hingga puluhan tahun kemudian tidak terbukti.
Kekayaan Tanah Maluku yang
dibesar-besarkan ternyata hanya sebatas kebanggaan semu. Nyatanya sumber daya
alam yang melimpah tersebut setelah dieksploitasi hanya sedikit yang kembali ke
daerah. Senyataannya persentase kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan
infrastruktur adalah fakta yang membentang dari ujung halmahera sampai tenggara
jauh hingga hari-hari ini.
Kebijakan pemerintahan yang
sentralistik menyebabkan posisi tawar pemerintah daerah untuk mengelola sumber
daya alamnya sangat rendah. Ironis memang, dibalik kebesaran sejarah, budaya
dan kelimpahan sumber daya Alam, Tanah Maluku tetaplah catatan panjang tentang
keterbelakangan.
Padahal sejak dulu atau sekitar abad
ke-15, Tanah Maluku dikenal sebagai daerah penghasil rempah rempah yang sangat
kaya. Hal itu di yakini sebagai salah satu faktor mengapa orang-orang Eropa
datang nencari kepulauan rempah-rempah ini dan kemudian menjajah bangsa
Indonesia. Selain kaya akan sumber daya alam, tanah Maluku juga kaya akan
keberagaman budaya dan adat istiadat yang beraneka ragam.
Dari catatan sejarah , sebelum
Indonesia merdeka, Maluku adalah Negara-negara yang berdaulat dibawah kekuasaan kesultanan- kesultanan. Ada sekitar
empat (4) Kesultanan (kerajaan) yang berkuasa dan berpengaruh sampai saat ini
di Maluku ialah Kesultanan Ternate, kesultanan Tidore, Kesultanan Jailolo dan
kesultanan Bacan serta terdiri juga dari berbagai suku/etnis yaitu suku
Ternate, Tidore,Tobelo, Galela, Sahu, Makian, Sanana, Seram, Kei, Tanimbar,
Ambon- Lease, Buru, Banda dan masih banyak lagi. Maluku sarat akan keberagaman
dan tatanan sosial local. Maka tidak mengherankan jika Van Vollenhoven, seorang
pakar hukum adat dari Belanda mencatat bahwa Maluku ialah salah satu wilayah
kesatuan kesatuan masyarakat adat di Indonesia (dulu Hindia Belanda).
Pada saat kemerdekaan,
Maluku bergabung dengan Negara Kesatuan Indonesia sebagai Provinsi kedelapan. Namun sampai kini, kepulauan
yang kaya akan rempah-rempah ini masih tertinggal jauh dibanding daerah-daerah
lain di Indonesia. Hal ini disebabkan karena kebijakan pemerintah pusat
terkait distribusi anggaran pembangunan ke daerah sejauh ini masih menggunakan
pendekatan kontinental. Pendekatan ini menghitung jumlah penduduk dan luas
daratan sebuah wilayah. Padahal, Maluku-Maluku Utara merupakan wilyah kepulauan
yang sebagian besar wilayahnya adalah laut.
Maluku-Maluku Utara yang terdiri
dari ribuan pulau seharusnya dimaknai sebagai penghubung bukan sebagai pemisah.
Kondisi geografis Maluku-Maluku Utara yang terdiri
dari pulau-pulau, sulit dibangun jika kebijakan pembangunan masih menggunakan
pendekatan kontinental. Dengan kebijakan itu, jumlah anggaran yang didapat
Maluku-Maluku Utara sangat kecil bahkan tidak sebanding dengan satu
kabupaten/kota di Jawa.
Secara geografis, Maluku terletak
jauh dari Jawa, jarak antara Jakarta Ternate atau Jakarta Ambon menembus jarak
ribuan kilo meter. Lebih jauh lagi, perbedaan sosial-budaya Maluku sebagai
pinggiran dengan Jawa sebagai pusat juga menghasilkan komunikasi politik yang
penuh salah-paham. Jakarta dan Ternate juga Jakarta dan Ambon tidak hanya jauh
secara geografis tetapi juga secara psiko-politis. Belum lagi kalau kita bicara
soal kesenjangan pembangunan, pemerataan kesejahteraan, dan pemenuhan hak-hak rakyat terabaikan. 69 tahun
sudah usia Indonesia dan selama itu pula rakyat Maluku menderita dengan sistem
yang berlaku di negeri ini.
Akhirnya saya ingin menutup
pembicaraan saya dengan kutipan:"Kita pernah mengalami yang namanya
kutukan minyak, dan kutukan hutan. Apa itu? Waktu itu sumber minyak kita bisa
menjadi sumber keuangan yang sangat besar sekali, tapi ternyata kita tidak bisa
memanfaatkan," Jokowi saat pembukaan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas)
di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (4/11/2014).
Sebab itu jangan sampai terjadi “Kutukan Laut” karena visi maritim dan rencana tol laut anda, terutama di
kampung kami Maluku-Maluku Utara, Tuan Presiden.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar