Minggu, 15 Mei 2016

Beta Pung Beberapa Puisi

 

Lelaki dengan Rindu yang Menderu 

suatu kali kau bernyanyi tentang lagu selamat jalan
lalu aku bertanya, apakah rindu itu seperti perahu
bersipacu membunuh waktu atau tertambat sekujur waktu?
lalu kau menangis di bahuku sambil berbisik:
“aku hanya ingin menjadi kuda laut di hidup dan matimu”

kita memang dua aras pada penghujung tiaptiap musim
seperti barat dan timur yang mencipta angin muson
bagi para nelayan dan bajak laut mengendarai angin
menembus jarak menebus harap.berharap dekap
lalu di dipan kau rebahkan gelagat paling hasrat
“aku padamu tiada lagi berpaling alamat” desahmu melambat

suatu kali kau pernah bertanya padaku tentang makna pelayaran
lalu kunyanyikan sebuah lagu tentang lelaki dan rindu pada perempuan
tentang bulan yang merapuh di ujung malam dan lelaki di ujung tualang
adakah kesempatan buat kita untuk saling menitip salam dan selamat datang?
pada ketika itu. kita tahu anak ikan di keramba rahimmu menunggu waktu
meminta nama dari lelaki yang menanam benih sembilan bulan berlalu

selalu ada jalan untuk pulang demi cinta yang alang kepalang.sayangku
seperti rindu pada puisi terakhir yang kukirim sebulan lalu
teruslah begitu dengan cinta yang sama kita tahu sebab aku lelakimu
pantang berpulang kalau tidak ke dalam pelukan. rinduku menderu

           Ternate,  13 April 2014



Di Rahimmu Sebuah Taman Laut Meriwayatkan Rindu
 
selalu saja kau menenun pagi dengan airmata
begitu kapalkapal bersipacu melepas diri
dari ikatan dermaga. padahal sejak mula kau tahu
para pelaut tak mudah pulang memutus tualang
meski pelayaran tak pernah sampai.tak pernah selesai
walau tiba di pantaimu dalam dekap nan sembilu

di laut Halmahera yang hitam ini kubaca lagi waktu
tentang percakapan luka diujung utara kota tua
tentang rindu yang terus menyalakan kenangan
dan cinta yang tak bisa dipadamkan waktu
lalu hujan tibatiba membawaku pada ketakutan di sebuah dini hari
ketika ciumanmu sedingin kematian. lalu langit
rebah ke dalam matamu nan dahaga bagaikan gerhana

di bujur jejak bajak laut yang aku susur
suara panggilan itu datang lagi menjelang pagi
bagai zikir pancaroba dari aforisme sebuah perlayaran
yang menghempasku jauh ke tengah badai. bersama hujan
sedang aku hanyalah penyair yang kehilangan kata
dari pelayaran merapikan kenangan demi tetes hujan
yang luruh di keningmu sepagi dahulu

tirakat ombak dan amuk badai dari kitab penjamuan
bagai sajak dan lukisan cahaya matamu
yang terperangkap dalam sembilan pigura laut
hingga sembilan purnama nanti akan lahir ikan paus
di rahimmu sebuah taman laut meriwayatkan rindu
sebab engkau adalah kesabaran tak terbantah
yang selalu memintaku tinggal sejenak lebih lama
yang selalu melepasku berlayar dengan dada bergetar

            Ternate, 26 Maret 2014



 Semalam di Amboina

ada darah yang mengucur di telapak kakiku
ada cemas yang mengepung dua bola matamu
ada purnama yang larut di asin air laut
malam itu di manuala. di unggun-unggun api
dan kecipak ombak. dan pantai indah tanah amboina
terasa kian menderu kasihmu padaku

ah kamu. seribu rumpun bunga tak seharum cintamu

ada dua botol wine pecah tak sengaja dan kasihmu bersahaja
ada anak-anak muda menyanyikan lagu amboina
malam itu di manuala. di unggun-unggun cinta
kita mengukir kenangan di sela kecipak ombak
dan aku semakin terbuai di pangkuanmu merebut harap


sebab engkau adalah laut tempat malam menidurkan gairah lelaki

ada ikan di bara api dan dedaun gemulai menari
ada sopi membakar di hati dan lagu-lagu kasih abadi
malam itu di manuala. di unggun-unggun hati
angin timur dan ruap laut menjaga kisah kita di tanah amboina

di rimbun keningmu telah kutemukan teduh
dari segala yang membuatku merapuh


          Ambon-Ternate. Juni-Agustus 201



Tentang lelaki yang Lupa Lautan

bolontio, ingatkah engkau pada perempuan berputing empat
yang memintamu kawin lari ketika kompeni begitu gencar meminta nyawa?
sumpah imam-imam bima itu pernah menghantuiku hingga hampir bunuh diri
lalu kau berkata: jangan takut dosa murhum, ini takdir kita sebagai pelaut
itu pelayaran terakhir sebelum pulang bersembah sujud
ketika nuku meminta begitu. kita patuh pada sang empu

bolontio, ingatkah kau pada igo bula? istri mudamu yang kita culik dari laut
ketika kapal dagang cina kita bikin karam sepulang membajak dari mindanau
selalu kau bilang dia cinta terakhirmu meski igo bola tak pernah setia
aku ingat betul malam di pantai jiko arabane ketika bulan sedang purnama
dan bahder musang, kapitan laut dari ternate itu memeluknya mesra
dan anak panah siap melesat dari busurku membunuh mereka,namun kau
hanya bilang padaku biarkan igo bula bercinta. aku tak pandai melukainya

bolontio, ingatkah kau pada nur shafa, perempuan langit yang kau pinang
dengan dua belas kapak, ketika kita masih berjaya di laut merdeka
ketika anakmu samudera perkasa baru bisa memanggil papa, ini beta
ketika itu laut adalah kita dan meriam kompeni tiada kuasa merebut canga
aku ingat betul ia selalu menyalakan dupa dan meniup doa-doa di pagi buta
sebelum matahari memberi tanda untuk berlayar dengan angin pertama
lalu perlahan kapal uap meneer belanda mengusir kita. ini pertanda

lalu setelah itu kau bilang mari kita pulang laut sudah tak lagi rumah kita
dan sejak itu kita memilih lupa. menggulung layar dan membuka huma
laut sudah jadi masa lalu tidak hanya bagi kita tetapi juga penerus bangsa
barangkali untuk selamanya. semoga kita tak sampai durhaka

              Ternate, 09 Agustus 2014



Herinneringen in Fort Rotterdam

ingatkah kau pada benteng tua itu oktovia?
benteng yang menjadi penanda tanah makassar
tempat kita datang bergegas saling menggemas?

di rotteddam, iya fort rotterdam

ia disusun dari berjuta batu dengan kepercayaan
yang saling mengikat satu dengan yang satu
mereka setia pada peristiwa, pada tanda dan kata-kata
yang menatanya pada segala cuaca. pada suasana
pada luka juga setia yang menama jalan cerita, demikian pula airmata

ingatkah kau oktovia, pada sopir taksi yang sengaja
menyesatkan kita menuju singgasana
padahal kita hafal betul lekuk jalan menuju kesana
dan kita hanya tersenyum saja melihatnya salah tingkah?
begitulah hidup dan angan-angan menipu kita para pecinta
agar jauh dari cita-cita tersebab cuaca yang mahalela

aku kangen betul tatap mata dan hangat pelukanmu
yang umpama matahari senja di batas dermaga
kita memang dimabuk asmara beribu rupa

ingatkah kau oktovia, pada sajak di malam itu?
yang bercerita tentang laut-tentang raut. wajahmu menghidu
rindu dan mencumbumu adalah dahaga paling haru
kita menjelma batu-batu juga cerita ilagaligo

ewako tenri, aku padamu ededeh…
begitu cintaku padamu oktovia
dalam banyak jejak. dalam banyak sajak
dan tiada sehasta jarak mendupa dari tanjung bunga
angin mamiri. mari ki’dii, bunga bersemi musim melimpahi

di rotterdam, iya di fort Rotterdam

kita berjanji sekali lagi mengikat jemari
saling bertaut sampai laut sampai maut
aku lelaki datang dari laut berpantang surut
mencintaimu sampai datang maut. sumpah para pelaut

             Makassar-Ternate, 26 Okt-10 Nov 2014




 Danke banyak for tamang-tamang di Sastra Maluku
https://sastramaluku.wordpress.com/category/puisi-puisi-dino-umahuk/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar