Senin, 30 Mei 2016

Kita dan Syi’ah



Secara etimologis Syi’ah merupakan derivasi dari kata “musyĆ¢ya’ah”, yang artinya: saling mendukung atau menolong. Syiah dalam pengertian ini adalah; mereka yang satu sama lainnya berapa pada posisi saling mendukung, menolong dan bertemu pada satu sikap dan pemikiran.



Secara terminologis, Syi’ah adalah kaum muslimin yang menganggap pengganti Nabi Saw. merupakan hak  istimewa keluarga Nabi (dalam hal ini Ali bin Abi Thalib dan keturunannya), dan mereka yang dalam bidang pengetahuan dan kebudayaan Islam mengikuti mazhab Ahlul Bait.



Adapun ajaran Syi’ah sejatinya tidak berbeda jauh dengan kelompok Sunni, yaitu kelompok yang memiliki keimanan terhadap lima Rukun Islam dan enam Rukun Iman yang sama. Perbedaan hanya terlihat pada beberapa interpretasi atas cabang fikih (furuiyyah) dan tidak begitu banyak atas rukun-rukun.



Perbedaan yang amat fundamental antara Syi’ah dan Sunni sebetulnya terletak pada ketidaksamaan sudut pandang atas persoalan otoritas kepemimpinan politik setelah Rasulullah wafat. 

Jika kalangan Sunni berpandangan bahwa tugas penerus risalah Islam setelah wafatnya Rasul adalah para sahabat secara umum, maka kalangan Syi’ah berpandangan bahwa tugas ini tidak bisa diemban oleh sembarang sahabat, melainkan oleh para ahlul bait (keluarga Nabi Muhammad). Sebab mereka yakin bahwa hanya ahlul bait lah yang memiliki “karakteristik khusus” yang telah ditetapkan oleh nash  al-Quran juga hadist, seperti keunggulan ilmu dan kebersihan jiwa serta hati mereka dari segala kekurangan dan dosa yang tidak dimiliki oleh para sahabat nabi lainnya.



Jadi perbedaan fundamental antara kedua aliran ini, tidak terletak pada persoalan rukun agama (ushul), akan tetapi terletak pada ketidaksamaan cara pandang masing-masing dalam melihat proses pergantian kepemimpinan politik dari nabi kepada orang yang setelahnya. Sehingga dalam perjalanan sejarah selanjutnya melahirkan terminologi konsep kepemimpinan yang berbeda; kalangan Sunni menyebutnya dengan konsep “khilafah”, sedangkan Syi’ah menamakannya dengan konsep “Imamah”.



Terkait dengan itu, dalam beberapa waktu terakhir kita di Maluku Utara, khususnya Ternate, kita dikagetkan dengan ribut-ribut soal keberadaan ajaran Syi’ah. Seolah-olah Syi’ah adalah sesuatu yang asing bahkan sesuatu yang haram. Padahal kalau mau jujur, meskipun mayoritas penduduk Maluku Utara saat ini menganut Islam Sunni. Namun tak bisa dipungkiri, terdapat pula sejumlah praktik keagamaan  yang berakar dari tradisi Syi'ah. Bahkan sejarah kelahiran empat kesultanan di daerah ini jelas-jelas dikaitkan dengan Syi’ah.


Dalam sejarah Ternate yang ditulis Naidah disebutkan, kawasan ini telah masuk Islam sejak abad ke-13. Pembawanya adalah Ja'far Shodiq yang tiba di Ternate dari Jawa pada Senin, 6 Muharram 643 H/1250M. Ja'far Shadiq yang nasabnya dihubungkan  dengan Imam Ali b. Abi Thalib, kawin dengan putri Ternate bernama Nur Sifa. 

Dari perkawinan dengan Nur Sifa, ia memperoleh empat putra dan empat putri. Salah satu putranya, Mansur Malamo, ditetapkan sebagai raja pertama Ternate, setelah berhasil mempersatukan empat kelompok masyarakat Ternate yang suka berperang. Raja   pertama  ini  memerintah sejak 1257-1277. Tiga putra lainnya berkuasa di pulau Tidore, Bacan, dan Jailolo. 


Laporan Naidah ini terbilang  menarik, lantaran ia mempresentasikan Ja'far Shadiq, Muharram, dan 'Ali b. Ali Thalib, yang kesemuanya merupakan bagian dari wacana Syi'ah sebagai latar kelahiran Kesultanan Ternate. Meskipun ini harus di pandang secara kritis berdasarkan kenyataan bahwa persaingan memperebutkan hegemoni di antara empat kerajaan ketika itu melibatkan pula agama dan Ahlul Bait. Sehingga unsur ini agaknya menjadi faktor legitimasi bagi kepemimpinan politik. Dalam hal ini klaim sebagai pihak yang lebih dulu masuk Islam serta faktor Ahlul Bait menjadi sumber legitimasi tersebut. 


Di lain sisi, berdasarkan tradisi lisan, diceritakan pada abad VIII empat orang Syaikh dari Irak tiba di Maluku Utara. Mereka merupakan pemeluk Islam Syi'ah. Kedatangan mereka dikaitkan dengan pergolakan politik di Irak, di mana golongan Syi'ah dikejar-kejar penguasa Bani  Umayyah maupun Bani Abbasiyah. Mereka terdiri dari Syaikh Mansur yang kemudian menyiarkan Islam di Ternate dan Halmahera  muka. Syaikh Yakub yang mengislamkan Tidore dan Makian, serta Amin dan Umar yang berdakwah di Halmahera Tengah. Amin dan Umar  yang tak meninggalkan jejak apapun, disebut-sebut kembali ke Irak.


Smith Alhadar dalam catatannya menyebutkan, bukti bahwa Syi'ah pernah berpengaruh kuat di Ternate dapat dilihat dari beberapa tradisi Islam yang bercorak Syi'ah. Pertama: tradisi Asyura berupa ta'ziah dan bubur  asyura. Ta'ziah adalah adegan dramatis massal yang mencerminkan  seluruh   episode  kematian  Imam Husein b. Ali b. Abi Thalib di Karbala, termasuk penyesalan  dan   kesiapan berkorban. Di Ternate, ritus /ta'ziah/, disebut /badabus/. Ritus ini dilakukan pada  1 Muharram atau pada  haul   seseorang  di  hari  ke-44. 


Orang Ternate memang tak melakukan ta'ziah   selama  sepuluh  hari  (1-10  Muharram), namun sepanjang sepuluh hari itu, yang dipandang sebagai hari musibah, orang Ternate dilarang melakukan berbagai hal yang mengandung risiko. Anak-anak misalnya, dilarang naik pohon atau memainkan permainan "berbahaya". Mereka lebih dianjurkan berdiam di rumah. Seluruh keluarga lalu membuat bubur asyura yang  akan  dibagikan  kepada tetangga dan kerabat dekat. 


Bubur asyura adalah bubur santan berisi berbagai macam bahan seperti sayur, jagung, ikan, telur ayam, kacang-kacangan, dan kentang. Pesan yang terkandung sebenarnya cukup jelas, bubur itu sendiri yang berwarna putih melambangkan kesucian dan kemurnian hari Asyura, sementara berbagai bumbu tersebut melambangkan rentetan peristiwa yang terjadi pada hari itu.


Kedua: ritus Lailatul Qadar. Tiga hari sebelum lebaran Idul Fitri, tiap malam warga membakar obor (ela-ela) di depan rumah masing-masing. Pemerintah Kota ternate bahkan menjadikan peristiwa ela-ela ini sebagai fertival budaya. Tradisi ini jelas berasal dari  Persia kuno. Dalam  kitab-kitab Persia kuno mengenai Naw Ruz (tahun baru), diceritakan bahwa perayaan api unggun merupakan adat masyarakat, khususnya pada malam tahun baru. Api unggun yang secara tradisional   dinyalakan  orang Iran pada hari Rabu di akhir tahun berasal dari kebiasaan purba. Orang Persia menghormati api karena diyakini dapat menjernihkan  udara.  


Pada  zaman  Islam,  Muslim  Iran  menyalakan lilin sebagai simbol penghormatan pada api dan meletakkan Al-Qur'anul Karim di antara  Haft-Sin (tujuh jenis sajian dengan huruf  'S' di meja) untuk menunjukkan penghormatan pada kitab suci tersebut. 


Ketiga, orang Ternate akrab dengan khasanah kebudayaan Syi'ah. Ini bisa dilihat dengan populernya  nama-nama yang berkaitan dengan keluarga Nabi dan Imam Ali, seperti Ibrahim,  Qasim,  Kalsum, Fatimah, Zainab, Ruqayah, Khadijah, Muhammad, Ali, Hasan, Husein, Burhan, Jalal, Amin, Umar dan seterusnya.  


Meskipun sejak pertengahan abad ke-15 kesultanan-kesultanan di Maluku Utara mulai menganut  faham  Aswaja, pengaruh Syi’ah tidak langsung pudar dan hilang begitu saja. Tradisi  Syi'ah  masih dipraktikkan sebagian masyarakat sampai sekarang. Itu artinya bahwa Syi’ah bukanlah sesuatu yang asing bagi kita di Maluku Utara.


Akhirnya, adalah merupakan keharusan bagi kita untuk lebih memahami permasalahan relasi Sunni-Syi’ah dalam persfektif masa depan. Klaim-klaim kesesatan yang tidak lebih hanya sekedar menghabiskan energi umat sudah tidak logis lagi kita gunakan. Perang urat syarat dengan dalih apapun sudah seharusnya diakhiri. Apalagi bagi kita di Maluku Utara. Karena begaimana pun Syi’ah bergitu dekat dengan kita. Buktinya, kita masih badabus, masih bikin bubur merah di hari Raya Asyura, masih bakar ela-ela dan masih pakai nama-nama Syiah.



Namun semua itu, tentu tidak akan terwujud, jika sikap fanatik sempit masih menjadi bagian dari pola pikir kita. Sikap fanatik ini ditandai dengan keengganan kita untuk melihat kebenaran yang selalu tampak dalam beragam wajah. Serta ketidaksiapan kita untuk merumuskan fakta-fakta perbedaan tadi sebagai wacana yang membawa “rahmat”.



Secara pribadi, saya melihat bahwa sebagai umat Islam, kita kelihatannya lebih sibuk meributkan jenis kendaraan dan jalan yang akan kita tempuh dan bukannya memikirkan alamat tujuan ke mana kelak kita berpulang.



Jangan-jangan kita ini semacam Ayu Ting-Ting juga yang kesenangannya mencari alamat palsu.(*)





Sabtu, 28 Mei 2016

Persaudaraan



Ngone doka dai loko/Ahu yo ma fara-fara/ Si rubu-rubu yo ma moi-moi/Doka saya rako moi.  

Sengaja saya kutip sebuah Dalil Moro, yakni bentuk puisi sastera lama dalam sastra Ternate yang merupakan warisan nenek moyang yang telah merasuk dan dihayati, hingga patut ditaati.

Isi dan pengertian syair Dalil Moro diatas adalah tentang hakikat kehidupan manusia, bahwa setiap individu masyarakat dituntut dapat menempatkan dirinya dalam masyarakat serta mampu menciptakan suasana keragaman yang dapat menjalin ikatan antara sesama manusia dalam hubungan kekeluargaan sampai ke dalam kelompok yang besar, masyarakat.

Dalil Moro tersebut jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia akan berbunyi:  Kita bagaikan kembang di padang rumput/Tumbuh dan hidup terpencar-pencar/Terhimpun dalam satu genggaman/Bagaikan hiasan seikat kembang.

Maka pada hemat saya dalil Moro tersebut selaras dengan firman Allah SWT sebagaimana QS. Ali ‘Imran, 3:103: “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi ujung neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk”.

Di dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk menganggap dan mencintai satu sama lain sebagai saudara sendiri, bersikap memaafkan dan memberi perlindungan, serta benar-benar menghindari perpecahan, ketidakutuhan, dan percerai-beraian.

Ajaran Islam mengharuskan kaum muslim untuk tidak pernah melupakan bahwa mereka semua adalah bersaudara. Apa pun sukunya, bahasa atau golongan yang seseorang miliki, sesungguhnya setiap muslim adalah saudara. Hal mana selaras dengan wasiat para leluhur kita sebagaimana saya kutip dalam Dalil Moro di atas. Oleh karena itu semua perbedaan harus kita hargai dan kita sikapi sebagai sumber kekayaan dan bukan sebagai sumber pertikaian dan perpecahan.

Ajaran Islam memberi petunjuk kepada kita bahwa persaudaraan dan kesetiakawanan merupakan salah satu ajaran islam yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena pada dasarnya manusia itu adalah mahluk sosial sekaligus mahluk individu.

Mengapa demikian? Karena kehidupan ini tak selamanya sejalan dengan apa yang diinginkan oleh manusia. Suatu ketika manusia menderita sakit, mengalami sesuatu yang menakutkan, dan pada saat yang lain mendapatkan kegembiraan dan kesenangan. Kejadian yang demikian menunjukkan bahwa manusia memerlukan pelindung, memerlukan tempat memohon dan memerlukan tempat berterima kasih, manusia sangat tergantung kepada manusia lainnya. Oleh karena itu hubungan antar manusia perlu diatur, agar tidak terjadi benturan-benturan yang tidak diinginkan. 

Islam telah memberi tuntutan dalam hal-hal yang berkaitan dengan kesetiakawanan sosial. Islam mencanangkan kehidupan yang harus lebih mengutamakan kepentingan bersama dari pada kepentingan diri sendiri sebagaimana yang telah di contohkn oleh Rasulullah SAW. Beliau telah mampu menciptakan hubungan harmonis antar kaum Muhajirin dan kaum Anshor. Bahkan beliau sukses membangun konsep dan tatanan sosial yang kokoh diantara berbagai suku, bangsa dan agama di Kota Madinah melalui sebuah pakta yang kita kenal sebagai Piagam Madinah.

Sebenarnya, prinsip di atas sudah kita ketahui dan pahami. Sayang beribu sayang, entah mengapa praktik kehidupan sehari-hari berbeda dari seharusnya. Dalam hemat saya, hal ini mungkin terjadi karena kita merasa sudah cukup dengan kondisi yang penting canggih berteori, berpidato, berdalih, berdebat dan berargumen dengan tujuan pokok agar orang lain tahu kita pandai dan hebat. 

Mungkin kita merasa bahwa suku ini lebih terpadang dari suku itu. Golongan ini adalah pahlawan dan golongan lainnya adalah pecundang. Etnis ini lebih berhak daripada etnis itu baik secara politik maupun pemerintahan dan lain sebagainya, sehingga timbullah bentutan-benturan sosial dalam tatanan masyarakat.

Padahal, jika setiap orang mau menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas dengan kesadaran nurani, maka mereka akan memahami bahwa hal yang lebih diutamakan adalah menahan diri dari perselisihan tak berkesudahan dan menegakkan sebuah persatuan yang didasarkan pada nilai-nilai Al-Qur'an.

Sebagai manusia Maluku Utara dan terutama sebagai muslim, kita harus mengesampingkan berbagai perselisihan karena sesungguhnya kita adalah "bersaudara. Muslim yang tulus wajib berterima kasih kepada Allah SWT atas nikmat persaudaraan ini serta mematuhi perintah-Nya “untuk tidak bercerai-berai”, sehingga dapat memberikan teladan yang mencerminkan sosok Islam yang sebenarnya beserta cita-citanya. Karena persatuan orang-orang yang beriman adalah karunia dan rahmat dari Allah Yang Mahakuasa.

Disamping itu,  sebagai seorang muslim kita perlu menjaga kepentingan dan kehormatan saudara sesama muslim dan mempertahankannya pada waktu ketiadaannya. Ini termasuklah kepentingan-kepentingan seperti harta, urusan kerja dan sebagainya sebagaimana sabda Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam dari Abu Hurairah Radiallahuanhu yang bermaksud: "Orang mukmin adalah cermin orang mukmin yang lain, dan orang mukmin adalah saudara orang mukmin yang lain dia akan mempertahankan kepentingan dan mengawalnya dari belakang."

Nenek moyang kita pun secara cerdas telah mewariskan indahnya persaudaraan itu di dalam untaian kalimat sastra berbentuk Dalil Moro yang kembali saya kutip sebagai penutup tulisan pendek ini. (Ino fo ma oki mayang/Ma oki mayang no toma titi ino/Giki uwa ngone bato, Fo maku gasa ira afa).  

Jadi mari kita berpadu hati/Berpadu hati seperti mayang sejak dahulu/ Jikalau orang lain tidak, tentulah kita/Janganlah hidup saling bermusuhan.(*)


Jumat, 27 Mei 2016

Islam Ternate




“Islam” dan “Ternate”. Dua kata ini menjadi semacam kata kunci untuk mengawali tulisan saya tentang budaya demokrasi dalam tradisi politik Islam Ternate. 

Yang ingin coba dilihat melalui tulisan ini adalah bagaimana potret politik Islam di Ternate jika diletakkan dalam kerangka demokrasi, yang kini banyak dianggap sebagai salah satu sistem pemerintahan yang baik (good governance). 

Pada dasarnya, kata “Islam” dan “Ternate” tentu saja merujuk pada dua makna yang berbeda: yang pertama, merujuk pada sebuah tatanan dengan sekumpulan nilai yang diyakini oleh pemeluknya sebagai way of life. Sementara yang kedua, Ternate, berarti sebuah komunitas di wilayah tertentu, di mana kita berada di dalamnya. Karenanya, yang disebut sebagai masyarakat Ternate adalah mereka yang menjadi bagian dari komunitas di wilayah dimaksud.

Dalam perkembangannya, Islam dan Ternate menjadi dua kata yang sering harus berjalan beriringan; Islam menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Ternate, sebaliknya masyarakat Ternate  juga menjadi sangat identik dengan Islam, sehingga nilai-nilai yang diproduksi oleh Islam niscaya dengan sendirinya banyak melandasi perumusan nilai-nilai kehidupan dan perilaku masyarakat Ternate. Tak terkecuali dalam mengekspresikan gagasan-gagasan tentang politik, seperti konsep kekuasaan, penguasa atau sultan, hubungan penguasa dengan rakyat, serta hal-hal lain yang berada dalam ranah politik.

Tentang konsep kekuasaan misalnya, dalam tradisi politik Ternate, berkembang ajaran bahwa penguasa memerintah berdasarkan mandat dari Tuhan, dan bukan dari rakyat. Jika ditelusuri, ajaran ini, antara lain, pernah berkembang dalam tradisi politik di zaman dinasti Umayyah dan Abbasyiah, di mana penguasa dianggap sebagai “bayangan Tuhan di muka bumi” (zillullah fil Ard).

Dalam hal ini, bangsa Ternate  menjadikan Islam historis sebagai dasar perumusan etika bagi perilaku politik para penguasa di kerajaan. Gambaran tentang tesis tersebut misalnya tampak dalam sastra lisan Ternate semisal Rorasa (Bobaso se Rasai), di mana perumusan Islam sebagai basis etika politik terlihat dengan jelas dan mengemuka —.  

Rorasa jelas mendeskripsikan pengadopsian gelar-gelar politik serupa zaman dinasti Umayyah dan Abbasyiah, semisal "Sailillah Suba Jou Kolano Lamo-Lamo, Kahlifah magori-gori., “Engkau Khalifahturrasyid dan Tubaddilur Rasul kau pegang takdir perintah amar ma’aruf dan nahi mungkar, wayahkunul adilina bainal rijali wan nisaa’i. Sailillah sembah Yang Dipertuan Agung, khalifah yang utama.” dll.- oleh para penguasa.

Oleh karenanya, untuk melihat gambaran tentang tradisi politik Islam Ternate  ini, kita bisa melacaknya, antara lain, melalui berbagai pemikiran, tradisi politik dan kekuasaan yang pernah ada dalam khazanah Islam klasik, meskipun tampaknya periode yang dirujuk lebih pada masa dunia Muslim abad pertengahan —di mana unsur Persia banyak berpengaruh di dalamnya— yang oleh beberapa kalangan dianggap sebagai tidak mengakar baik dalam ajaran-ajaran al-Quran.

Dalam konteks ini, sultan atau penguasa memang merupakan figur dan lembaga yang terpenting. Sultan dianggap sebagai orang yang mulia dan mempunyai berbagai kelebihan. Posisi sultan adalah setingkat dengan Nabi, dan sebagai pengganti Allah di muka bumi. Konsep ini tentu saja mengandung arti bahwa penguasa mempunyai dua kekuasaan: keduniaan, dan keagamaan. Oleh karenanya, kekuasaan sultan atau penguasa menjadi muqaddas atau suci, dan wajib hukumnya bagi rakyat untuk taat kepada penguasa dengan melaksanakan apapun titahnya.

Sifat mutlak kekuasaan sultan atau penguasa dalam tradisi ini kemudian lebih diperkuat lagi dengan konsep “setia” dan “durhaka”, yang juga meniscayakan kemutlakan kekuasaan sultan, sehingga rakyat dituntut untuk setia tanpa batas. Mereka yang ingkar (durhaka) kepada sultan akan menerima hukuman. Pada posisi hukum demikian seringkali mengakibatkan munculnya tindakan-tindakan sultan/penguasa yang sewenang-wenang, tidak bertumpu pada azas rule of law, tidak terbuka terhadap keragaman, dan seterusnya.

Tentu saja, kendati banyak dipengaruhi unsur Islam, fenomena bentuk pemerintahan Kesultanan Ternate  seperti ini juga tidak bisa serta merta dianggap sebagai citra dari sebuah pemerintahan ala-Islam, yang komunitasnya terikat dengan hukum-hukum syariat. 

Kenapa? karena — selain Islam yang dirujuk pun tidak bersifat menyeluruh— secara historis, dunia politik Ternate juga memiliki akar-akar yang kuat dengan tradisi masa pra-Islam, di mana sistem pemerintahan yang berpusat pada raja atau penguasa telah muncul, paling tidak dalam bentuk embrionya. 

Oleh karenanya, tidak heran kemudian jika struktur seremonial negara Islam Ternate, gelar-gelar, dan ritual-ritual yang memperlihatkan pencapaian duniawi dan spiritual dari elit dan masyarakat Ternate, seringkali juga memiliki “silsilah” dan keterkaitan dengan tradisi masa pra Islam.

Dengan penjelasan ini, satu hal dapat dipastikan, betapa tidak mudah untuk mencari benang merah antara nilai-nilai dalam sistem demokrasi —yang meniscayakan beberapa parameter tertentu— dengan tradisi politik Islam Ternate tersebut, meskipun benang merah itu tampaknya bukan tidak ada sama sekali.

Masih dalam hal hubungan antara sultan dengan rakyat misalnya, kendati posisi sultan sangat dominan, namun tradisi politik Ternate juga mengenal pola hubungan sultan dengan rakyat yang kita kenal sebagai konsep “Jou se Ngofangare”. 

Kendati memang sangat simbolik, Sejarah Ternate dalam beberapa bagian menekankan adanya kewajiban sultan dan rakyat untuk tidak saling merusak posisi masing-masing. Dalam kaitan inilah, wacana politik Ternate selanjutnya memperkenalkan konsep musyawarah, yang juga diadopsi dari tradisi politik Islam, sebagai aturan dalam sistem perilaku politik sultan dan penguasa Ternate.

Alhasil, melacak akar-akar demokrasi dalam tradisi politik Islam Ternate, tak ubahnya bagai mencari “gumala”  di dasar laut: ada, tetapi tidak gampang mencarinya! Yang harus menjadi catatan penting kita adalah, betapa pengalaman telah menunjukkan bahwa perumusan sistem pemerintahan, apapun bentuknya, ternyata dihasilkan melalui persentuhan antara budaya yang pernah ada dengan “sesuatu” yang datang kemudian.

Jadi, kendati kita pernah memiliki pengalaman yang agak-agak gelap dalam hal berdemokrasi, toh sekarang kita sedang banyak bersentuhan, dan dengan sendirinya bisa “belajar”, dengan nilai-nilai demokrasi itu? Masalahnya, tong mau ka tarada!