Secara etimologis Syi’ah merupakan derivasi dari kata “musyĆ¢ya’ah”,
yang artinya: saling mendukung atau menolong. Syiah dalam pengertian ini
adalah; mereka yang satu sama lainnya berapa pada posisi saling mendukung, menolong
dan bertemu pada satu sikap dan pemikiran.
Secara terminologis, Syi’ah adalah kaum muslimin yang menganggap pengganti
Nabi Saw. merupakan hak istimewa keluarga Nabi (dalam hal ini Ali bin
Abi Thalib dan keturunannya), dan mereka yang dalam bidang pengetahuan dan
kebudayaan Islam mengikuti mazhab Ahlul Bait.
Adapun ajaran Syi’ah sejatinya tidak berbeda jauh dengan kelompok Sunni, yaitu
kelompok yang memiliki keimanan terhadap lima Rukun Islam dan enam Rukun Iman
yang sama. Perbedaan hanya terlihat pada beberapa interpretasi atas cabang
fikih (furuiyyah) dan tidak begitu banyak atas rukun-rukun.
Perbedaan yang amat fundamental antara Syi’ah dan Sunni sebetulnya terletak pada ketidaksamaan sudut
pandang atas persoalan otoritas kepemimpinan politik setelah Rasulullah wafat.
Jika kalangan Sunni berpandangan bahwa tugas
penerus risalah Islam setelah wafatnya Rasul adalah para sahabat secara umum,
maka kalangan Syi’ah berpandangan bahwa tugas ini tidak bisa diemban oleh
sembarang sahabat, melainkan oleh para ahlul
bait (keluarga Nabi Muhammad). Sebab mereka yakin
bahwa hanya ahlul bait lah yang memiliki “karakteristik khusus” yang
telah ditetapkan oleh nash
al-Quran juga hadist, seperti keunggulan ilmu dan kebersihan jiwa serta
hati mereka dari segala kekurangan dan dosa yang tidak dimiliki oleh para
sahabat nabi lainnya.
Jadi perbedaan fundamental antara kedua aliran ini, tidak terletak pada
persoalan rukun agama (ushul), akan tetapi terletak pada ketidaksamaan
cara pandang masing-masing dalam melihat proses pergantian kepemimpinan politik
dari nabi kepada orang yang setelahnya. Sehingga dalam perjalanan sejarah
selanjutnya melahirkan terminologi konsep kepemimpinan yang berbeda; kalangan
Sunni menyebutnya dengan konsep “khilafah”, sedangkan Syi’ah menamakannya
dengan konsep “Imamah”.
Terkait dengan itu, dalam beberapa waktu terakhir kita di Maluku Utara,
khususnya Ternate, kita dikagetkan dengan ribut-ribut soal keberadaan ajaran Syi’ah. Seolah-olah Syi’ah adalah sesuatu yang asing
bahkan sesuatu
yang haram. Padahal kalau mau jujur, meskipun mayoritas
penduduk Maluku Utara saat ini menganut Islam Sunni. Namun tak bisa dipungkiri,
terdapat pula sejumlah praktik keagamaan yang berakar dari tradisi
Syi'ah. Bahkan sejarah kelahiran empat kesultanan di daerah ini jelas-jelas dikaitkan
dengan Syi’ah.
Dalam sejarah Ternate yang ditulis Naidah
disebutkan, kawasan ini telah masuk Islam sejak abad ke-13. Pembawanya adalah
Ja'far Shodiq yang tiba di Ternate dari Jawa pada Senin, 6 Muharram 643
H/1250M. Ja'far Shadiq yang nasabnya dihubungkan dengan Imam Ali b.
Abi Thalib, kawin dengan putri Ternate bernama Nur Sifa.
Dari perkawinan dengan Nur Sifa, ia memperoleh empat
putra dan empat putri. Salah satu putranya, Mansur Malamo, ditetapkan sebagai
raja pertama Ternate, setelah berhasil mempersatukan empat kelompok masyarakat
Ternate yang suka berperang. Raja pertama ini memerintah
sejak 1257-1277. Tiga putra lainnya berkuasa di pulau Tidore, Bacan, dan
Jailolo.
Laporan Naidah ini terbilang menarik, lantaran ia mempresentasikan Ja'far Shadiq,
Muharram, dan 'Ali b. Ali Thalib, yang kesemuanya
merupakan bagian dari wacana Syi'ah sebagai latar kelahiran
Kesultanan Ternate. Meskipun ini harus di pandang secara kritis
berdasarkan kenyataan bahwa persaingan memperebutkan hegemoni di antara
empat kerajaan ketika itu melibatkan pula agama dan Ahlul Bait. Sehingga unsur
ini agaknya menjadi faktor legitimasi bagi kepemimpinan politik. Dalam hal ini
klaim sebagai pihak yang lebih dulu masuk Islam serta faktor Ahlul Bait menjadi sumber
legitimasi tersebut.
Di lain sisi, berdasarkan tradisi lisan,
diceritakan pada abad VIII empat orang Syaikh dari Irak tiba di Maluku Utara. Mereka
merupakan pemeluk Islam Syi'ah. Kedatangan mereka dikaitkan dengan pergolakan
politik di Irak, di mana golongan Syi'ah dikejar-kejar penguasa Bani
Umayyah maupun Bani Abbasiyah. Mereka terdiri dari Syaikh Mansur yang kemudian menyiarkan Islam di
Ternate dan Halmahera muka. Syaikh Yakub yang mengislamkan
Tidore dan Makian, serta Amin dan Umar yang berdakwah di Halmahera Tengah. Amin
dan Umar yang tak meninggalkan
jejak apapun, disebut-sebut kembali ke Irak.
Smith Alhadar dalam catatannya menyebutkan, bukti
bahwa Syi'ah pernah berpengaruh kuat di Ternate dapat dilihat dari beberapa
tradisi Islam yang bercorak Syi'ah. Pertama: tradisi Asyura berupa ta'ziah
dan bubur asyura. Ta'ziah adalah adegan dramatis massal
yang mencerminkan seluruh episode kematian Imam Husein
b. Ali b. Abi Thalib di Karbala, termasuk penyesalan dan kesiapan
berkorban. Di Ternate, ritus /ta'ziah/, disebut /badabus/. Ritus
ini dilakukan pada 1 Muharram atau pada haul seseorang
di hari ke-44.
Orang Ternate memang tak melakukan ta'ziah
selama sepuluh hari (1-10 Muharram), namun sepanjang
sepuluh hari itu, yang dipandang sebagai hari musibah, orang Ternate dilarang
melakukan berbagai hal yang mengandung risiko. Anak-anak misalnya, dilarang
naik pohon atau memainkan permainan "berbahaya".
Mereka lebih dianjurkan
berdiam di rumah. Seluruh keluarga lalu membuat bubur asyura yang
akan dibagikan kepada tetangga dan kerabat dekat.
Bubur asyura adalah bubur santan
berisi berbagai macam bahan seperti sayur, jagung, ikan, telur ayam,
kacang-kacangan, dan kentang. Pesan yang terkandung sebenarnya cukup jelas,
bubur itu sendiri yang berwarna putih melambangkan kesucian dan kemurnian hari Asyura,
sementara berbagai bumbu tersebut melambangkan rentetan peristiwa yang terjadi
pada hari itu.
Kedua: ritus Lailatul Qadar. Tiga hari sebelum lebaran Idul Fitri, tiap malam warga membakar obor (ela-ela) di depan rumah masing-masing. Pemerintah Kota
ternate bahkan menjadikan peristiwa ela-ela ini sebagai fertival budaya. Tradisi ini jelas berasal dari
Persia kuno. Dalam kitab-kitab Persia kuno mengenai Naw Ruz (tahun
baru), diceritakan bahwa perayaan api unggun merupakan adat masyarakat,
khususnya pada malam tahun baru. Api unggun yang secara tradisional
dinyalakan orang Iran pada hari Rabu di akhir tahun berasal dari
kebiasaan purba. Orang Persia menghormati api karena diyakini
dapat menjernihkan udara.
Pada zaman Islam, Muslim
Iran menyalakan lilin sebagai simbol penghormatan pada
api dan meletakkan Al-Qur'anul Karim di antara Haft-Sin
(tujuh jenis sajian dengan huruf 'S' di meja) untuk menunjukkan
penghormatan pada kitab suci tersebut.
Ketiga, orang Ternate akrab dengan khasanah kebudayaan Syi'ah. Ini bisa dilihat
dengan populernya nama-nama yang berkaitan dengan keluarga Nabi dan Imam
Ali, seperti Ibrahim, Qasim, Kalsum,
Fatimah, Zainab, Ruqayah, Khadijah, Muhammad, Ali, Hasan, Husein, Burhan,
Jalal, Amin, Umar dan seterusnya.
Meskipun sejak pertengahan abad ke-15
kesultanan-kesultanan di Maluku Utara mulai menganut faham Aswaja, pengaruh Syi’ah tidak
langsung pudar dan hilang begitu saja. Tradisi Syi'ah masih
dipraktikkan sebagian masyarakat sampai sekarang. Itu artinya bahwa
Syi’ah bukanlah sesuatu yang asing bagi kita di Maluku Utara.
Akhirnya, adalah merupakan keharusan bagi kita untuk lebih memahami
permasalahan relasi Sunni-Syi’ah dalam persfektif masa depan. Klaim-klaim
kesesatan yang tidak lebih hanya sekedar menghabiskan energi umat sudah tidak
logis lagi kita gunakan. Perang urat syarat dengan dalih apapun sudah
seharusnya diakhiri. Apalagi bagi kita di Maluku Utara. Karena begaimana pun
Syi’ah bergitu dekat dengan kita. Buktinya, kita masih badabus, masih bikin
bubur merah di hari Raya Asyura, masih bakar ela-ela dan masih pakai nama-nama Syiah.
Namun semua itu, tentu tidak akan terwujud, jika sikap fanatik sempit masih
menjadi bagian dari pola pikir kita. Sikap fanatik ini ditandai dengan
keengganan kita untuk melihat kebenaran yang selalu tampak dalam beragam wajah.
Serta ketidaksiapan kita untuk merumuskan fakta-fakta perbedaan tadi sebagai
wacana yang membawa “rahmat”.
Secara pribadi, saya melihat bahwa sebagai umat Islam, kita kelihatannya lebih
sibuk meributkan jenis kendaraan dan jalan yang akan kita tempuh dan bukannya
memikirkan alamat tujuan
ke mana kelak kita berpulang.
Jangan-jangan kita ini semacam Ayu Ting-Ting juga yang kesenangannya mencari alamat
palsu.(*)




