Ketika Allah mengangkat Ibrahim sebagai pemimpin bagi umat manusia, Ibrahim
mengajukan pertanyaan, ''Dan aku mohon juga) dari keturunanku?'' Allah
berfirman, ''Janji-Ku ini tidak mengenai orang yang zalim.'' (QS Al-Baqarah
[2]: 124).
Meski Ibrahim AS adalah anak dari seorang Azar, pemahat patung dari
Babilonia yang sampai akhir hayatnya tetap dalam kemusyrikan, Allah memilihnya
sebagai pemimpin karena Ibrahim mampu membimbing umat menuju jalan yang benar.
Sebaliknya, ketika Ibrahim AS menghendaki anak-anak keturunannya juga
diangkat sebagai pemimpin, Allah menjawab secara tegas bahwa perjanjian-Nya
tidak berlaku bagi orang-orang yang zalim, meski mereka adalah keturunan orang
mulia seperti Nabi Ibrahim AS.
Firman Allah SWT di atas merupakan petunjuk yang nyata bagi umat Islam
dalam memaknai kekuasaan, bahwa Allah SWT mengamanatkan kekuasaan kepada seseorang
bukan karena faktor keturunan, melainkan didasarkan pada pertimbangan bahwa orang
tersebut memang memiliki kompetensi sebagai pemimpin.
Pesan penting lainnya adalah bahwa kekuasaan tidak pernah bersifat
langgeng. Allah bisa mengangkat seseorang menjadi pemimpin kapan saja, dan juga
bisa mengambil kembali amanah tersebut kapan saja Allah mau.
Sifat kenisbian kuasa duniawi ini juga ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW
dalam firman Allah lainnya yakni: ''Katakanlah,
'Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang
Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki.
Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang
Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau
Mahakuasa atas segala sesuatu'.'' (QS Ali Imran [3]:26).
Artinya, bahwa dengan anugerah kekuasaan itu, Allah SWT berkehendak
memuliakan kedudukan seseorang, supaya orang itu dapat memberi manfaat bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bagi kemaslahatan seluruh alam, dimana
orang tersebut berkuasa.
Sayangnya, para pemimpin kita di daerah ini telah melupakan dimensi
kekuasaan yang bersifat rohani, yaitu amanah dan kehendak Allah. Mereka lebih
terpukau dengan dimensi lahiriah kekuasaannya sehingga mudah terlena dan silau
oleh kemewahan.
Mereka lupa bahwa dengan kekuasaan-NYA yang mutlak, Allah SWT bisa dengan
sangat gampang dapat menjatuhkan martabat seseorang, sehingga ia terjatuh
melalui cara yang tidak terhormat. Mereka lupa bahwa amanah kekuasaan itu
adalah titipan yang wajib ditunaikan sebelum diambil kembali dan dimintai
pertanggungjawabannya oleh Allah SWT. Padahal Islam secara tegas mengatakan
bahwa setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di hari kiamat.
Sejarah peradaban Islam banyak memberi kita contoh tentang para pemimpin
teladan, yang sepatutnya dipedomani oleh para pemimpin kita di daerah ini.
Salah satunya adalah Umar bin Abdul Aziz.
Ketika dinobatkan sebagai Khalifah Bani Umayyah menggantikan Abdul Malik
bin Marwan, dalam usianya yang baru 37 tahun , Umar begitu gagap membayangkan
betapa beratnya menjadi pemimpin. Dia lantas berkata kepada ulama di dekatnya,
al-Zuhri “Aku benar benar takut kepada neraka”.
Usai penobatan Umar bin Abdul Aziz langsung memerintahkan agar seluruh harta pribadinya, baik berupa uang atau barang dimasukkan ke kas negara, termasuk pakaian-pakaian mewahnya. Dia memilih rumahnya dan menolak tinggal di istana. Pola hidupnya justru menjadi zahid, sejak berkuasa, ia tak lagi tidur siang, tidak mencicipi makanan enak, badannya menjadi lebih kurus dan ceking.
Selanjutnya, Khalifah Umar mengumpulkan keluarga intinya, dan memberikan pilihan kepada isterinya “kembalikan seluruh perhiasan dan harta pribadimu ke kas negara atau kita harus bercerai”. Isterinya Fatimah binti Abdul Malik pilih ikut bersamanya.
Suatu saat salah satu anaknya memprotes karena sejak ayahnyamenjadi
Khalifah, ia tidak pernah lagi menikmati makanan lezat yang biasa mereka
nikmati sebelumnya. Sambil menangis, Umar bin Abdul Aziz menyodorkan pilihan
kepada anak-anaknya “Aku berikan makanan enak dan lezat, tapi kalian
menjebloskanku ke neraka, atau kalian bersabar dengan makanan sederhana ini dan
kita sekeluarga akan masuk surga bersama”.
Ketika masuk istana, ia memerintahkan untuk menjual seluruh barang-barang mewah istana dan mengembalikan harganya ke kas negara. Dicabutnya satu persatu fasiltas kemewahan yang selama ini diberikan kepada keluarga istana. Keluaga istana pun sempat protes keras. Hingga suatu saat setelah semua upaya keluarga istana mengembalkan fasiltas tersebut, mereka mengutus bibi tercintanya untuk menghadap. Mungkin dengan begini Khalifah akan berubah pikiran.
Begitu sang bibi memasuki rumahnya, dia mengambil uang logam dan sekerat
daging, dibakarnya uang logam ini dengan meletakkan sekerat daging di atasnya,
lalu berkata “Apakah bibi rela menyaksikan aku dibakar seperti daging ini hanya
untuk memuaskan keserakahan kalian? Berhentilah merayuku, aku tak akan pernah
mundur di jalan reformasi ini”.
Umar bin Abdul Aziz memerintah pada penghujung abad pertama hijriyah, persis ketika Bani Umayyah berada dalam pola hidup yang korup, mewah dan boros. Namun berkat kepemimpinannya, Umar berhasil membawa Bani Umayyah mencapai puncak keemasan. Para ulama pun menyebut Umar bin Abdul Aziz sebagai pembaharu Islam abad pertama hijriyah, bahkan juga disebut khulafaurrasyidin kelima.
Konon di masa kepemimpinannya, para amil zakat berkeliling dari kampung ke
kampung di Afrika, tapi mereka tidak menemukan seorang pun yang mau menerima
zakat. Negara benar benar mengalami surplus, bahkan sampai-sampai utang pribadi
dan biaya pernikahan rakyat ditanggung oleh negara.
Hal penting yang patut kita catat dari kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul
Aziz adalah bahwa: langkah membersihkan diri dan keluarga istana telah
meyakinkan publik akan kuatnya politicalwill dalam bereformasi, khususnya
pemberantasan KKN.
Langkah selanjutnya adalah penghematan biaya penyelenggaraan negara. Sumber-sumber
pemborosan akibat gemuknya struktur dikurangi. Panjangnya layanan birokrasi pelayanan
publik diperpendek dengan
menyederhanakan sistem administrasi. Negara menjadi sangat efisien dan efektif.
Umar juga melakukan retribusi kekayaan negara secara adil. Caranya dengan memperbesar sumber-sumber pendapatan negara melalui zakat, pajak dan jizyah.
Ayo, siapa pemimpin di Maluku Utara ini yang berani mencoba ??!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar