Senin, 01 Agustus 2016

Memaknai Kekuasaan



Ketika Allah mengangkat Ibrahim sebagai pemimpin bagi umat manusia, Ibrahim mengajukan pertanyaan, ''Dan aku mohon juga) dari keturunanku?'' Allah berfirman, ''Janji-Ku ini tidak mengenai orang yang zalim.'' (QS Al-Baqarah [2]: 124).

Meski Ibrahim AS adalah anak dari seorang Azar, pemahat patung dari Babilonia yang sampai akhir hayatnya tetap dalam kemusyrikan, Allah memilihnya sebagai pemimpin karena Ibrahim mampu membimbing umat menuju jalan yang benar.

Sebaliknya, ketika Ibrahim AS menghendaki anak-anak keturunannya juga diangkat sebagai pemimpin, Allah menjawab secara tegas bahwa perjanjian-Nya tidak berlaku bagi orang-orang yang zalim, meski mereka adalah keturunan orang mulia seperti Nabi Ibrahim AS.

Firman Allah SWT di atas merupakan petunjuk yang nyata bagi umat Islam dalam memaknai kekuasaan, bahwa Allah SWT mengamanatkan kekuasaan kepada seseorang bukan karena faktor keturunan, melainkan didasarkan pada pertimbangan bahwa orang tersebut memang memiliki kompetensi sebagai pemimpin.

Pesan penting lainnya adalah bahwa kekuasaan tidak pernah bersifat langgeng. Allah bisa mengangkat seseorang menjadi pemimpin kapan saja, dan juga bisa mengambil kembali amanah tersebut kapan saja Allah mau.

Sifat kenisbian kuasa duniawi ini juga ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW dalam firman Allah lainnya yakni:  ''Katakanlah, 'Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu'.'' (QS Ali Imran [3]:26).

Artinya, bahwa dengan anugerah kekuasaan itu, Allah SWT berkehendak memuliakan kedudukan seseorang, supaya orang itu dapat memberi manfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bagi kemaslahatan seluruh alam, dimana orang tersebut berkuasa.

Sayangnya, para pemimpin kita di daerah ini telah melupakan dimensi kekuasaan yang bersifat rohani, yaitu amanah dan kehendak Allah. Mereka lebih terpukau dengan dimensi lahiriah kekuasaannya sehingga mudah terlena dan silau oleh kemewahan.

Mereka lupa bahwa dengan kekuasaan-NYA yang mutlak, Allah SWT bisa dengan sangat gampang dapat menjatuhkan martabat seseorang, sehingga ia terjatuh melalui cara yang tidak terhormat. Mereka lupa bahwa amanah kekuasaan itu adalah titipan yang wajib ditunaikan sebelum diambil kembali dan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT. Padahal Islam secara tegas mengatakan bahwa setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di hari kiamat. 

Sejarah peradaban Islam banyak memberi kita contoh tentang para pemimpin teladan, yang sepatutnya dipedomani oleh para pemimpin kita di daerah ini. Salah satunya adalah Umar bin Abdul Aziz.

Ketika dinobatkan sebagai Khalifah Bani Umayyah menggantikan Abdul Malik bin Marwan, dalam usianya yang baru 37 tahun , Umar begitu gagap membayangkan betapa beratnya menjadi pemimpin. Dia lantas berkata kepada ulama di dekatnya, al-Zuhri “Aku benar benar takut kepada neraka”.

Usai penobatan Umar bin Abdul Aziz langsung memerintahkan agar seluruh harta pribadinya, baik berupa uang atau barang dimasukkan ke kas negara, termasuk pakaian-pakaian mewahnya. Dia memilih rumahnya dan menolak tinggal di istana. Pola hidupnya justru menjadi zahid, sejak berkuasa, ia tak lagi tidur siang, tidak mencicipi makanan enak, badannya menjadi lebih kurus dan ceking.

Selanjutnya, Khalifah Umar mengumpulkan keluarga intinya, dan memberikan pilihan kepada isterinya “kembalikan seluruh perhiasan dan harta pribadimu ke kas negara atau kita harus bercerai”. Isterinya Fatimah binti Abdul Malik pilih ikut bersamanya.

Suatu saat salah satu anaknya memprotes karena sejak ayahnyamenjadi Khalifah, ia tidak pernah lagi menikmati makanan lezat yang biasa mereka nikmati sebelumnya. Sambil menangis, Umar bin Abdul Aziz menyodorkan pilihan kepada anak-anaknya “Aku berikan makanan enak dan lezat, tapi kalian menjebloskanku ke neraka, atau kalian bersabar dengan makanan sederhana ini dan kita sekeluarga akan masuk surga bersama”.

Ketika masuk istana, ia memerintahkan untuk menjual seluruh barang-barang mewah istana dan mengembalikan harganya ke kas negara. Dicabutnya satu persatu fasiltas kemewahan yang selama ini diberikan kepada keluarga istana. Keluaga istana pun sempat protes keras. Hingga suatu saat setelah semua upaya keluarga istana mengembalkan fasiltas tersebut, mereka mengutus bibi tercintanya untuk menghadap. Mungkin dengan begini Khalifah akan berubah pikiran.

Begitu sang bibi memasuki rumahnya, dia mengambil uang logam dan sekerat daging, dibakarnya uang logam ini dengan meletakkan sekerat daging di atasnya, lalu berkata “Apakah bibi rela menyaksikan aku dibakar seperti daging ini hanya untuk memuaskan keserakahan kalian? Berhentilah merayuku, aku tak akan pernah mundur di jalan reformasi ini”.

Umar bin Abdul Aziz memerintah pada penghujung abad pertama hijriyah, persis ketika Bani Umayyah berada dalam pola hidup yang korup, mewah dan boros. Namun berkat kepemimpinannya, Umar berhasil membawa Bani Umayyah mencapai puncak keemasan. Para ulama pun menyebut Umar bin Abdul Aziz sebagai pembaharu Islam abad pertama hijriyah, bahkan juga disebut khulafaurrasyidin kelima.

Konon di masa kepemimpinannya, para amil zakat berkeliling dari kampung ke kampung di Afrika, tapi mereka tidak menemukan seorang pun yang mau menerima zakat. Negara benar benar mengalami surplus, bahkan sampai-sampai utang pribadi dan biaya pernikahan rakyat ditanggung oleh negara.

Hal penting yang patut kita catat dari kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah bahwa: langkah membersihkan diri dan keluarga istana telah meyakinkan publik akan kuatnya politicalwill dalam bereformasi, khususnya pemberantasan KKN.

Langkah selanjutnya adalah penghematan biaya penyelenggaraan negara. Sumber-sumber pemborosan akibat gemuknya struktur dikurangi. Panjangnya layanan birokrasi pelayanan  publik diperpendek dengan menyederhanakan sistem administrasi. Negara menjadi sangat efisien dan efektif.

Umar juga melakukan retribusi kekayaan negara secara adil. Caranya dengan memperbesar sumber-sumber pendapatan negara melalui zakat, pajak dan jizyah.

Ayo, siapa pemimpin di Maluku Utara ini yang berani mencoba ??! 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar