Minggu, 07 Agustus 2016

Sepuluh Sajak Merdeka



 
 

1. Narasi Tanah Asal

Airmata itu telah ku kristalkan jadi rindu
Tak tergertak ajal tak takut binasa
Laksana Khairun menuju Castela
Berani  Soya atau Moya

Luka-luka negeri di mana cinta terusir jadi kembara
Telah ku keringkan di singgasana para Kolano
Dini hari tadi usai beduk Subuh
Tapi Sultan berumah di Jakarta tak lagi di Ake Santosa

Tanah itu jua  sio kona
Moloku Kie Raha foto-foto doka soya rako moi
Tanah airmata yang di jaga Datuk-datuk
Tapi di kantor Residen dorang curi uang dari ngofangare

O... Tanah itu jua Miliku
Chau Yu Kua pelaut Tionghoa di Abad 13 Masehi bilang
Maharaja Sriwijaya Seri Indrawarman
kirim puteri dari Janggi dengan burung Kakatua jadi bingkisan
O….Miliku  O… Malu Aku
Jadi Moloku
Jadi Maluku

Jaga pintu muka di Loloda
Awas dorang curi emas dari Kao-Malifut di sana hal ma hera
Jaga pintu belakang di Bacan
Awas dorang kuras ikan dari laut di situ para Sultan berebut Sula

Janji Kaicil Paparangan mesti di tunaikan
Meski ajal mengintai di kepala tangga
Ke tepian semula Perahu Kapitan harus menuju
 
                                              Jakarta, 17 Februari 2005



2. Sumpah Pattimura Muda

Demi asin lautan yang menghitamkan kulit ari
Kesetiaan adalah bahasa lumba-lumba yang mestinya di mengerti sebagai cinta
Nasib anak negeri yang hanya bertengger sebagai janji
Telah menjelma bisa pari sejak hati terlukai 

Kami bukan ikan-ikan mati yang bisa dilempar sebagai tumbal negara ini
Demi kesetiaan berpuluh tahun yang hanya menorehkan luka
Anak-anak hitam, bau bia, bau laut kini memanen kata merdeka
Sekali berucap lawamena selebihnya parang dan salawaku akan berkibar

Bahasa perlawanan sejak Nuku hingga Pattimura adalah bahasa kesetiaan
Kepada negeri airmata dan darah tertumpah sesungguhnya karena cinta
Tetapi Jakarta telah menarik balik pabrik gula di Laimo
Jakarta telah mengambil stasiun oceanologi dan menaruhnya di Bali
Jakarta telah membiarkan kami sejak 19 Januari 1999 tanpa hati

Lalu kesetiaan macam apalagi yang harus kami beri
Untuk hanya sekadar jadi petinju dan penyanyi di jantung negeri
Bukankah Soekarno bilang tanpa kami Indonesia tak jadi apa-apa
Seribu ton kopra yang kami bawa ke istana dimana kini harganya?

Maka demi asin lautan yang mengeritingkan rambut kami
Sumpah Pattimura muda telah kami ikrarkan di seluruh pelosok negeri
Biar peluru menembus kulit kami tetap menerjang
Meminta keadilan sebagai harga atas nasib anak negeri

                            Banda Aceh, 3 Maret 2008



3. Hikayat Tanah Ibu

Tapi disini tanah air kami, tempat kelahiran putra pemberani
Sekali kau tikam cidera para Kolano menuntut bela
Lalu Khairun, lalu Babullah, lalu Banau
Mengangkat parang maju ke muka
Siapa tak putih muka ketika Nuku menuntut bela

Tapi disini laut kami tempat rurehe menari-nari
Sekali kau olesi cuka, para canga menabur murka
Lalu cora-cora, o... jangan coba-coba
Sudah banyak kami bikin binasa
Seperti Benteng Castela yang tinggal rangka

Tapi disini hutan dan gunung kami
Tempat memanen harapan dan mimpi
Tempat bersarang sang cala ibi, jin salai eee doti-doti
Jangan coba curi isi bumi, amarah Togutil tak tertandingi
Lalu Menge, lalu Siboyu, lalu Kadai ke dalam hutan Moro-moro
hotu yeee... mari katong angkat senjata melawan angkara

Di Sanana torang bilang air mandidi, capat mandidi
Orang Tobelo datang baku potong, parang, tombak, pana-pana
Cikar kanan tarik layar para canga menggasak Belanda
Jangan coba tada nanti laut jadi merah
Darah tumpah para kapita mengintai nyawa

Tapi disini tumpah darah kami
Tempat ibu melahirkan sunyi menyusui bumi

            Batavia Air :  Jakarta-Ternate, 15 Oktober 2009


 
4. Pemberontakan Dari Timur

Dan kami menulis puisi dari pinggir-pinggir laut
Dari batas ombak dan pantai-pantai sunyi
Maka terlahirlah narasi tanah asal mendendangkan hari
Bahasa perlawanan bagi pusat segala kuasa juga suasa

Dan kami menitiskan tanda di jalan sejarah
Tentang perlawanan kepada penjajah
Tentang kepahlawanan dan pengkhianatan
Tak luput Jakarta selalu aniaya, juga para pujangga

Dan kami merangkai bahasa sebagai tanda merdeka
Demi kisah masa lampau yang mengharum seperti pala
Seperti cengkeh seperti gaharu seperti lada dan kayu manis
Koran-koran Jakarta, kami tak butuh itu sejak lama
Puisi kami abadi di pasir pantai mengalun bersama ombak

Dan kami tak menulis puisi demi sepiring nasi melainkan hati
Dari Morotai sampai Sula, kata-kata adalah bunga
Para jujaro senandungkan cinta tentang perempuan bermata purnama
Dan tak butuh dana untuk lembaga, puisi kami bersemayam di batu

Tentang Jakarta biarkan saja seperti itu sudah dari dahulu
Tempat berawal orang-orang yang kalah yang tak berani baku adu
Seperti Jan Pieterson Coen yang lari ke situ demi menghindar amarah Nuku
Puisi kami bersarang di laut memotong penjajah dari waktu ke waktu

Narasi tanah asal tempat bersarang para pemburu
Sejak Nuku sudah begitu, menolak tunduk kepada baharu
Puisi ini juga begitu tak gentar maju seperti derap pasukan alifuru
Begitu ikrar disumpahkan dulu dari Halmahera sampai ke buru

           Bangkok, 22 Oktober 2009

   

5. Sumpah Beta Bukan Pemuda Indonesia

Sumpah Beta bukan pemuda Indonesia
Beta seng mengaku berbangsa satu
Karena dari ujung Halmahera sampe Tenggara Jauh
Katong di Maluku punya banyak bangsa-bangsa

Sumpah Beta bukan pemuda Indonesia
Beta seng mangaku bertumpah darah satu
Karena tanah dan air di kampung beta
Adalah pulau-pulau dan laut yang biru
Bukan lautan darah yang ale dong bilang itu

Sumpah Beta bukan pemuda Indonesia
Beta seng mangaku berbahasa
satu
Karena dari utara sampe selatan daya
Katong punya banyak bahasa tanah
Bahasa ibu tempat katong hidup deng rindu

            Bangkok, 28 Oktober 2009



6. Tentang Tanah yang Tak Berpusat di Jawa

Indonesiakah yang melahirkanmu atau sejarah tumbuh keliru
Ketika itu sebelum empat puluh lima laut adalah punya kita
Dahulu disana Ba’abullah berjaya mengusir penjajah untuk pertama
Seribu ton kopra yang kita kirim ke istana mengapa kini tak punya harga

Tahun-tahun nenek moyang tahun-tahun kejayaan sudah lama hilang
Di pelataran Masjid Sultan kita hanya mampu menghitung kejatuhan
Dengan sorban berlipat-lipat dan zikir diam-diam seolah kenyataan adalah adjab

Dimana itu dendam kesumat yang dulu bikin Portugis pucat muka
yang bikin Pieterson Coen terbirit-bitir lari dari Fort Oranje karena takut binasa
yang bikin Lopez de Mesquita sengsara setelah khianat di benteng Castella
yang kirim cora-cora jaga cengkeh-pala dari hongi tochten hingga Belanda hilang kuasa

Jou eee jangan cuma inga dansa-dansi deng noni Belanda di Ake Santosa
Jangan coba jadi Tarruwese yang tak setia kepada Nukila, nanti jadi binasa
Ini negeri tak sama harganya dengan dua kadera di Senayan sana, O… jangan buang muka
Jangan sampai Saidi, Majira dan Kalumata jadi marah nanti laut jadi merah

Indonesiakah yang melahirkanmu atau sejarah yang melupai ibu
Dan tanggal dua puluh delapan oktober itu tak seorangpun kita teken di situ
Tetapi kopra kita kirim jua ketika republik muda belia tak punya apa-apa
Dimana Irian beribukota kalau tidak di bumi Kie Raha, O… Soa-Sio lama terlupa lama terlunta
Lalu dana kopra yang sampai sekarang gudangnya torang bilang Dakomib itu untuk siapa?

Indonesiakah yang melahirkanmu atau sejarah yang tak punya ibu
Tahun seribu dua ratus lima puluh tujuh Momole Ciko dari Sampalu sudah pimpin ini negeri dengan gelar Baab Mashur Malamo. Jangan lupa itu, kalau berani mengaku anak-cucu
Tetapi sekarang apakah ada yang tercatat di dalam buku, O… Galelano saling baku bunuh
Dari ujung Halmahera sampai ujung Taliabu torang baku tipu demi tungku saling baku dubu

Ya Jou eee…Afa doka kamo-kamo/ Isa mote hoko mote
Ma dodogu ogo uwa/ Tego toma ngawa-ngawa


Indonesiakah yang melahirkanmu atau sejarah yang mendurhakai ibu
Maka demi air mata suci Ratu Nukila dan pusara Tuan
Kadi Abdussalam di Cape Town sana
Mari angkat parang maju ke muka menuntut bela. Anak negeri sudah lama sengsara
Biar Juida Kasiruta jadi saksi lautan darah, amarah menyala, pica-pica
Sudah lama beta angkat bicara tentang tanah yang tak berpusat di Jawa

             25 November 2009



7. Indonesia Bukan Tanah Air Beta

indonesia bukan tanah air Beta
lalu tuan bermanis muka
menghiba-hiba meminta kopra
seribu ton kami kirim jua ke jawa
dakomib saksi sejarah ketika itu enam puluh dua

sejak mula Beta merdeka di tanah pusaka
lalu tuan mengaku saudara
Soa Sio tinggal merana
tiada tuan berbudi bahasa
Raja Ampat lepas kuasa Nuku tak ada

Disini tempat lahir Beta
dibuai dibesarkan bunda
Kie Raha tanah pusaka Ba’bullah menjaga
Pata Siwa sio Amboina
tuan datang membawa petaka
janji bahagia padahal airmata
kami sengsara tuan berpesta
sejak empat lima terus merana
serupa dusta di Benteng Castella

indonesia bukan tanah air Beta
meski tuan kokang senjata
sampai akhir menutup mata

Maluku Tanah Air Beta, 4 Agustus 2010



8. Bukan Gurindam Pasal 33

Tuan tuan yang terhormat. Selamat malam
Dengan ini kami sampaikan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa
Dan oleh sebab itu puisi-puisi kami tulis, mantra-mantra kami kutip
Karena penderitaan di atas dunia harus dihapuskan
Karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan

Ini bukan gurindam pasal ke tiga puluh tiga, terima kasih

Tuan tuan yang terhormat. Selamat malam, selamat makan
Bersama ini kami sampaikan bahwa
Batavia bukanlah bintang di dada garuda
Sumber cahaya segala yang kuasa
Dan karena kami bukanlah binatang, hutan dan rantai
Tiadalah padi dan kapas dapat melukai, sejak tiba kita
di depan pintu gerbang kemerdekaan
Dan tak sejahtera dan tak bersatu dan tak adil
Karena selalu berpaling muka
:Takutkan garuda menatap ke muka?
Sirnalah keindahan laut dan pantai, hutan dan gunung
Halaman rumah kita cuma alang-alang

Tuan tuan yang terhormat selamat malam
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Tapi nasib tergadaikan di ujung nadi
Susu tak terbeli orang pintar gemar korupsi
Ikan dan udang memilih pergi

Bumi, air beserta isinya telah dikelola oleh negara
Bagi sebesarbesarnya kesejahteraan penguasa
Bagi sebesarbesarnya kepentingan Jakarta

                        Ternate, 5 Desember 2010

Orang bilang tanah kita tanah surga/Tongkat kayu dan batu jadi tanaman=bait lagu Koes Plus.
Susu tak terbeli orang pintar tarik subsidi=bait lagu Iwan Fals



9. Lawa Mena

Lawa Mena, beta masih muda
seng takut binasa
sumpah parang di muka

beta ini Kapitan yang murka
dari Morotai sampe ke Kisar
beta tahan segala cuaca
beta tanam segala kuasa
bikin tuan hancur binasa, pucat muka
seperti Belanda kehilangan pala

Mena Moria, ini tanah beta yang punya
seng ada harga seng jual di kota
jang tuan paksa
sekali berteriak merdeka
tuan rubu rata deng tanah

Upu Latu, sepuluh cora-cora berlayar ke Sula
kini sudah waktunya tiba
bilang Salahakan jang bikin maskena
tanah air meminta merdeka

mari baku adu
seribu Alifuru asalnya satu
toma maju

Pata Siwa-Pata Lima
angin tenggara bawa bendera
hela panggayong jangan pawela
Lawa Mena, maju di muka
Pattimura muda seng takut binasa

                        Batavia, 16 Januari 2014



10. Siklus Kabasaran Generasi Laut

bila telah datang musim timur menuntun ombak 
bismillah tuan. kunci hatimu tegak di lambung perahu
kencangkan temali layar, kuatkan ikatan perahu
kapitan laut menerjang maut. mati di laut
begitu sumpah kita pancang
pada siasat yang mereka rancang

dan atas nama lunas cora-cora, juanga juga lopa-lopa
kita melaju bagai datuk laut, bagai hantu laut
melintas limapuluh sentimeter di atas kulit laut
parang di muka terbakar sudah bima dan donggala

bismillah Tuhan yang punya kuasa
kabal jadi palias / palias jadi besi 
besi jadi wajah / pelurumu jadi air
jadi lumpur / bismillah

bila telah datang musim barat menenun hasrat
ke timur kita  menuju papua. salahakan berdiri di muka
berayun laju perahu canga bagai setan murka
sudah waktunya kita bicara. sakaleka
doa-doa mengangkasa di pagi buta
layar-layar diberi mentera 

demi Tuhan yang punya kuasa
demi gamalama yang menegaki lautan 
demi dukono yang mengasapi angin
barakat guru barakat Muhammad
ak bal mum / mum bal ak
ali ba tsa salah. ya, tuhan

lalu ketika datang musim pancaroba
utara dan selatan bagai rindu terlunta-lunta
perempuan meminta. pulang kita ke pelukan mesra
berkasih-kasih bercinta-cinta penuh asmara
peluru meleleh di tubuh para bini
membelah laut membelah bumi
lahir anak laut. jadi anak laut

nur allah nur muhammad
cahaya anakku seperti bulan purnama

            Ternate, 11 Desember 2015



Tidak ada komentar:

Posting Komentar