Apabila kita menelaah APBD baik provinsi
maupun kabupaten/kota di Maluku Utara, ada dua hal yang secara kasar dapat
langsung terlihat. Pertama, APBD cenderung defisit. Kedua,
belanja langsung (belanja pembangunan) lebih kecil dibandingkan dengan
belanja tidak langsung (belanja pegawai).
Dua hal tersebut baru pada pembacaan
secara kasar terhadap dokumen APBD. Jika kita telaah lebih mendalam, ternyata
dalam belanja langsung masih terdapat komponen belanja pegawai yang besarnya
rata-rata berkisar 11%. Ini artinya, lebih dari 70% belanja APBD adalah untuk
belanja pegawai. Hal ini jelas menjadikan APBD tidak sehat.
Ketika melihat dua fenomena dalam APBD
tersebut, pertanyaannya adalah dari mana defisit APBD itu akan ditutup? Pertama,
apakah Pemda akan berutang? Kedua, apakah Pemda meningkatkan PAD yang
bersumber dari retribusi dan pajak?
Jika pilihan kedua yang diambil, harus
dilakukan dengan bijaksana agar tidak membunuh iklim usaha kecil dan menengah
yang banyak menopang ekonomi masyarakat serta jangan menaikkan retribusi pada
layanan masyarakat, misalnya layanan kesehatan.
Apabila pilihan pertama yang diambil,
konsekuensinya adalah semakin berkurangnya belanja untuk publik pada tahun
berikutnya karena harus membayar utang daerah, dan ini berimplikasi pada
semakin surutnya pembangunan. Pilihan ini juga akan berdampak pada kenaikan
pajak dan retribusi dalam rangka mengejar target PAD untuk menutup utang
tersebut.
Adakah pilihan lain untuk menyehatkan
APBD? Sebenarnya ada beberapa hal (selain dua hal di atas) yang dapat dilakukan
oleh Pemda. Pertama, Pemda menjual aset-asetnya pada swasta, namun ini
bukanlah pilihan bijaksana. Penjualan aset bukan perkara mudah. Kedua,
mengoptimalkan potensi daerah yang dapat dijadikan sumber PAD, misalnya dengan
optimalisasi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Ketiga, menghemat
belanja pegawai. Sebagaimana diungkapkan di atas, belanja pegawai dalam APBD
lebih dari 70%. Selain untuk gaji pokok juga untuk tunjangan dan honorarium.
Gaji adalah hak normatif pegawai, dan tunjangan adalah juga hak pegawai
sebagaimana diatur dalam PP No 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Namun, nilai tunjangan harus disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah.
Keempat, menunda
(moratorium) rekrutmen pegawai baru. Rekrutmen PNS bukan kewajiban yang harus
selalu dilakukan oleh Pemda pada setiap tahun. Hal ini harus didasarkan pada
analisis atas kebutuhan pegawai dengan rasio jumlah penduduk di daerah
tersebut.
Kelima, menekan kebocoran anggaran. Semakin minimal anggaran yang bocor maka
dapat dilakukan penghematan anggaran. Pada saat ini hampir selalu dapat
dipastikan bahwa proyek pembangunan yang dijalankan pemerintah selalu mengalami
kebocoran.
Kebocoran anggaran dapat ditekan dan diminimalisasi ketika
pemerintah memiliki integritas dalam pengelolaan keuangan daerah. Dengan
integritas tersebut akan tercipta akuntablitas pengelolaan keuangan daerah.
Akuntabilitas dapat dicapai ketika ada transparansi dalam pelaksanaan
pembangunan dengan melibatkan masyarakat dalam pengawasan.
Agenda
selajutnya adalah mendorong dan memberikan ruang kepada masyarakat dalam
mengawasi pembangunan. Ini bisa dilakukan dengan memberikan ruang dan mekanisme
pengaduan serta penanganan pengaduan yang jelas. Masyarakat ketika mengawasi
dan menemukan beberapa hal yang tidak wajar dalam pelaksanaan pembangunan dapat
melaporkan temuannya tersebut.
Selama ini
ruang partisipasi masyarakat dalam pengawasan telah dibuka, namun masih
setengah hati. Masyarakat dapat mengawasi, akan tetapi ketika menemukan beberapa
hal yang tidak wajar mengalami kebingungan ke mana akan mengadukan atau
melaporkan temuan itu. Pola dan mekanisme ini yang harus dibenahi.
Beberapa
alternatif solusi dalam rangka penyehatan APBD tersebut hanya dapat berjalan
jika dan hanya jika ada kemauan dan kemampuan pemerintah daerah dengan didukung
oleh segenap elemen masyarakat. Tanpa itu semua, upaya yang dilakukan hanya
berkutat pada proses dan takkan membuahkan hasil yang optimal. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar