Ibadah haji adalah salah satu ritual peribadatan yang
sangat penting dalam Islam. Karena ia merupakan pilar dari tegaknya rukun Islam
yang diyakini sebagai kelengkapan status ke-Islaman seorang
muslim. Khususnya bagi mereka yang ditaqdirkan memiliki kemampuan dalam hal
pembiayaan.
Namun membincangkan haji di Maluku Utara menarik untuk
dikaji. Karena ibadah ini memiliki makna yang komplek selain makna ibadah
kepada Allah sebagai prasyarat mabrurnya ibadah tersebut. Salah satu makna
komplek dari ibadah haji adalah nilai sosialnya.
Nilai sosial ibadah haji
terkait dengan status orang yang melaksanakan haji. Orang yang pernah berhaji, dimasyarakat akan dipandang memiliki status tersendiri karena ia mendapat label sebagai orang yang mampu
berbanding terbalik dengan orang yang tidak mampu
meskipun alim.
Di dunia Politik dan birokrasi orang yang melaksanakan ibadah haji akan menyematkan gelar “H” bersanding dengan gelar-gelar lain yang pernah
didapat seseorang. Gelar “H” seakan mewajib untuk ditulis dan disebutkan.
Dalam tatanan sosial dan budaya masyarakat Maluku Utara, Ibadah haji merupakan bentuk ibadah yang memiliki beragam
makna. Di dalamnya tersirat makna ritual, individual, sosial maupun makna
lainnya. Bermakna ritual karena haji adalah salah satu rukun Islam kelima yang
wajib dilaksanakan oleh
setiap muslim yang mampu, dan pelaksanaannya diatur
secara jelas dalam Al-Quran dan Hadits. Haji juga bermakna sebagai ibadah
individual, karena keberhasilan haji sangat ditentukan oleh kualitas
masing-masing jamaah dalam memahami aturan dan ketentuan dalam melaksanakan
ibadah haji.
Makna
sosial haji, adalah bagaimana
para jamaah haji punya pengetahuan, pemahaman serta mau mengaplikasikan
pesan-pesan simbolik yang ada dalam pelaksanaan ibadah haji untuk diwujudkan ke
dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Bagi
masyarakat Maluku Utara, berhaji tidaklah semata-mata untuk kepentingan personal
manusia dengan Allah. Berhaji adalah memenuhi panggilan Allah ke Baitullah di
Tanah Suci untuk merenungkan esensi dan substansi haji di tengah simbolitas dan
formalitas syarat-rukunnya. Jadi yang paling penting adalah makna di
balik simbol-simbol ritualitas haji untuk membentuk kepribadian dalam pergaulan
dengan sesama.
Sayangnya belakangan ini ibadah haji cenderung lebih dipahami sebagai
ibadah ritual daripada ibadah sosial. Artinya, predikat haji bagi seseorang
hanya dilihat dari kemampuan berangkat dan datang kembali ke kampung halaman dengan
disertai cerita atau pengalaman religius yang beraneka warna.
Bahkan di tingkatan tertentu, para penguasa di daerah ini telah menjadikan
Kabah seperti “Mesin Cuci” dan ritual ibadah haji tak ubahnya proses pencucian
atas dosa-dosa yang telah mereka lakukan terhadap rakyat dan amanah yang
terpikulkan dipundak mereka.
Padahal, lebih dari itu, ibadah haji adalah sebuah perjalanan spiritual
yang berkesan dan membekas dalam kehidupan sehari-hari. Makna ibadah haji
mengajarkan kita agar menjadi lebih bermanfaat untuk masyarakat dengan cara
selalu menjaga, menghormati, menghargai serta saling menjunjung tinggi martabat
manusia. Dengan demikian seseorang layak mendapat predikat Haji Mabrur.
Sebetulnya jika kita pahami secara benar, maka ritual peribadatan haji
secara simbolik mengandung berbagai makna sosial antara lain:
Pertama:
Ihram, mengandung makna melepaskan dan membebaskan diri dari lambang material
dan ikatan kemanusiaan, mengkosongkan diri dari mentalitas keduniawiaan,
membersihkan diri dari nafsu serakah angkara murka, kesombongan serta
kesewenang-wenangan. Orang yang telah memakai pakaian ihram harus berjiwa
stabil, tidak dikendalikan nafsu, apalagi nafsu terhadap harta dan tahta. Bagi
penguasa yang sudah pernah mengenakan pakaian ihram di tanah suci, harus segera meninggalkan praktek KKN, tidak
lagi menumpuk kekayaan pribadi sementara rakyat menderita.
Kedua: Thawaf, mengandung isyarat keluar dari lingkungan
manusia yang buas masuk ke dalam lingkungan Rabbaniyah yang penuh kasih sayang,
saling menghargai dan saling menghormati. Bahkan sebelum Thawaf, jamaah haji
terlebih dahulu melontar jumrah sebagai pertanda mengusir setan yang menggoda
Nabi Ibrahim as, Nabi Ismail as dan Siti Hajar. Itu artinya, setiap orang yang
telah berhaji harus selalu berusaha mengusir godaan setan yang bersarang dalam
dirinya.
Ketiga: Sa'i, atau berlari-lari kecil antara Safa dan Marwah, mengandung
isyarat kesediaan menjalankan tugas dan tanggung jawab bagi jemaah haji ke arah
hal-hal yang positif dan bermanfaat untuk dirinya dan orang lain. Artinya,
siapa pun yang sudah menjalankan ibadah haji, harus bisa mengambil makna Sa'i
yang menyimpan makna perlunya perilaku yang positif baik untuk dirinya maupun
orang lain.
Keempat: Al-hulqu/Tahallul, (memotong rambut) mengandung isyarat pembersihan, penghapusan sisa-sisa cara berfikir yang kotor yang masih berada dalam benak kepala masing-masing manusia. Jemaah haji yang telah menjalankan Tahallul mesti memiliki cara pikir, konsep kehidupan yang bersih, baik, tidak menyimpang dari etika dan norma sosial, budaya maupun agama. Dengan kata lain, Tahallul berarti mengajarkan kepada umat Islam yang menjalankan ibadah haji agar bisa memiliki dan mengeluarkan pikiran yang baik dan positif.
Semoga saudara-saudaraku yang sekarang tengah bersiap ke tanah suci diberi kenikmatan menjalankan ibadah haji dan bisa mengambil makna sosialnya, Karena Ibadah haji tidak sekadar menggugurkan kewajiban seseorang sebagai umat Islam saja. Tidak pula perjalanan wisata ke tempat sakral secara spiritual dan syari'at, ataupun sekadar melaksanakan ajaran agama, apalagi sekadar tamasya. Karena bagaimanapun seorang haji adalah tauladan dan predikat haji mabrur itu, ditandai dengan berubahnya sikap seseorang sebelum dan setelah ia melaksanakan ibadah haji. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar