Istilah "egoisme"
berasal dari bahasa Yunani yakni ego yang berarti
"Diri" atau "Saya", dan-isme, yang digunakan
untuk menunjukkan filsafat. Dengan demikian, istilah ini secara etimologis
berhubungan sangat erat dengan egoisme.
Egoisme merupakan
motivasi untuk mempertahankan dan meningkatkan pandangan yang hanya
menguntungkan diri sendiri. Egoisme berarti menempatkan diri di tengah satu
tujuan serta tidak peduli dengan penderitaan orang lain, termasuk yang
dicintainya atau yang dianggap sebagai teman dekat. Istilah lainnya adalah
"egois".
Hal ini berkaitan erat dengan narsisme, atau
"mencintai diri sendiri," dan kecenderungan mungkin untuk berbicara
atau menulis tentang diri sendiri dengan rasa sombong dan panjang lebar.
Egoisme dapat hidup berdampingan dengan kepentingannya sendiri, bahkan pada
saat penolakan orang lain. Egoisme sering dilakukan dengan memanfaatkan alturisme, irasionalitas dan kebodohan orang lain,
serta memanfaatkan kekuatan diri sendiri dan / atau kecerdikan untuk menipu.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Egois berarti mementingkan diri
sendiri. Hal ini paling tidak paralel dengan apa yang pernah diungkapkan oleh
Erich Fromm dalam bukunya “Man for Himsel”, bahwa orang yang selfish (egois)
tertarik hanya pada dirinya sendiri. Tidak merasa senang kalau memberi, tapi
hanya senang kalau mendapatkannya. Karena orang yang bersifat egois tidak
mempunyai minat untuk mengetahui keperluan-keperluan sesamanya.
Bahkan egois tak hanya terungkap lewat ucapan, tapi juga melalui perbuatan.
Seseorang bisa tampil menjadi sosok yang sangat egois dengan menyalahkan
sesuatu atau orang lain agar diri sendiri bisa bebas alias cari aman.
Dari definisi egois di atas sudah barang tentu hampir semua orang akan
mendeskripsikan kata egois dengan makna yang berkonotasi negatif. Dan tentu
pula siapapun tidak akan mau mendapat predikat sebagai pribadi yang egois,
termasuk para elite dan pemimpin di Maluku Utara yang telah nyata-nyata mempraktekkannya
dengan sempurna.
Betapa tidak, egoisme telah menempatkan elit politik dan pemimpin di daerah
ini berdiri berseberangan dengan kepentingan dan aspirasi rakyat. Kepentingan
dan aspirasi rakyat kerap tidak terwakilkan oleh aneka kebijakan yang diambil
oleh para elit dan pemimpin di daerah ini. Padahal, jutaan rakyat hidup dibawah
garis kemiskinan. Jutaan lainnya tak mendapatkan pekerjaan dan terpasung oleh
sistem koneksitas yang angkuh dan egois.
Para elit dan pemimpin di Maluku Utara yang egois, telah menempatkan
kesejahteraan rakyat tidak lebih sebatas retorika politik semata. Karena titik
soalnya bukan sekedar kemiskinan itu sendiri, melainkan proses pemiskinan yang
secara sadar terus dilakukan dan secara kontinyu terus terjadi sebagai
konsekuensi logis dari sistem pendistibusian ekonomi yang timpang, yang hanya
menguntungkan segelintir orang, persis paradigma kekuasaan ala Orde Baru yang
kita kutuk itu.
Dalam konteks ini, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa para
elit politik dan pemimpin di daerah ini dari Morotai sampai Taliabu sejatinya telah kehilangan nilai-nilai
kemanusiaan, keadilan dan kebenaran.
Fakta ini seolah-olah memberi gambaran nyata dari sebuah potret buram
kehidupan di bumi Maloku Kie Raha yang sedang terengah-engah, kehabisan daya,
frustasi, bahkan merasa seperti ayam mati di lumbung padi. Harapan
tentang Maluku Utara yang lebih baik pun, sungguh jauh panggang dari api.
Disadari atau tidak, kita sebetulnya tengah terperangkap dalam halusinasi demokrasi yang justru
menelanjangi kemunafikan kita sebagai suatu kaum. Meminjam puisi almarhum
WS Rendra, “terbentur oleh meja-meja kekuasaan yang macet”. Tak pelak lagi,
kita rakyat Maluku Utara saat ini, mulai dari Tanjung Sopi sampai Lifmatola,
sedang berhadapan dengan sosok kekuasaan yang dikungkungi oleh aneka
kepentingan (pribadi dan kelompok) dan mengarah pada final actualization
diri yang hanya terkonsentrasi dan terfokus pada kekuasaan dan kekayaan semata.
Untuk itu, penting bagi para elit politik dan pemimpin di daerah ini untuk
mengikis sifat egois dalam diri mereka dengan melakukan pengembangan sikap
altruisme universal. Yang perlu ditekankan di sini adalah, bahwa nilai-nilai
kemanusiaan, keadilan dan kebenaran itu satu dan kawasan yang terbentang mulai
dari Morotai sampai ke Sula Kepulauan juga satu, yakni rumah besar bernama Provinsi Maluku Utara, milik kita semua.
Bila kita yang seharusnya bertanggung jawab untuk mengurus rumah kita, maka
mulai sekarang sebaiknya kita melihat bahwa egoisme bukanlah masalah yang
sederhana dan kecil. Kunci untuk menuju Maluku Utara yang lebih bermartabat
adalah dengan tumbuhnya kasih bukan egoisme.
Kita tidak perlu menjadi sangat religius atau berpegang pada ideologi
tertentu
untuk tidak egois. Semua yang kita butuhkan di sini adalah menumbuhkan
kualitas kepemimpinan yang baik. Pemimpin yang karena kecintaannya pada rakyat dan negeri ini, mau
dan mampu membawa egoismenya pada jalan ketiadaan.
Pemimpin yang mau berkata dan berbuat “Iya, Aku mencintaimu, dan karena itu
Aku Membunuh Egoku hingga aku bisa melebur dalam kekitaan yang
abadi. Kekitaan yang menyatukan aku dan kamu. Kekitaan yang menghilangkan
ke-aku-anku dan ke-kamu-anmu. Karena aku dan kamu adalah satu, manusia Maluku
Utara. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar