Kamis, 04 Agustus 2016

EGOISME




Istilah "egoisme" berasal dari bahasa Yunani yakni ego yang berarti "Diri" atau "Saya", dan-isme, yang digunakan untuk menunjukkan filsafat. Dengan demikian, istilah ini secara etimologis berhubungan sangat erat dengan egoisme.

Egoisme merupakan motivasi untuk mempertahankan dan meningkatkan pandangan yang hanya menguntungkan diri sendiri. Egoisme berarti menempatkan diri di tengah satu tujuan serta tidak peduli dengan penderitaan orang lain, termasuk yang dicintainya atau yang dianggap sebagai teman dekat. Istilah lainnya adalah "egois". 

Hal ini berkaitan erat dengan narsisme, atau "mencintai diri sendiri," dan kecenderungan mungkin untuk berbicara atau menulis tentang diri sendiri dengan rasa sombong dan panjang lebar. Egoisme dapat hidup berdampingan dengan kepentingannya sendiri, bahkan pada saat penolakan orang lain. Egoisme sering dilakukan dengan memanfaatkan alturisme, irasionalitas dan kebodohan orang lain, serta memanfaatkan kekuatan diri sendiri dan / atau kecerdikan untuk menipu.

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Egois berarti mementingkan diri sendiri. Hal ini paling tidak paralel dengan apa yang pernah diungkapkan oleh Erich Fromm dalam bukunya “Man for Himsel”, bahwa orang yang selfish (egois) tertarik hanya pada dirinya sendiri. Tidak merasa senang kalau memberi, tapi hanya senang kalau mendapatkannya. Karena orang yang bersifat egois tidak mempunyai minat untuk mengetahui keperluan-keperluan sesamanya. 

Bahkan egois tak hanya terungkap lewat ucapan, tapi juga melalui perbuatan. Seseorang bisa tampil menjadi sosok yang sangat egois dengan menyalahkan sesuatu atau orang lain agar diri sendiri bisa bebas alias cari aman. 

Dari definisi egois di atas sudah barang tentu hampir semua orang akan mendeskripsikan kata egois dengan makna yang berkonotasi negatif. Dan tentu pula siapapun tidak akan mau mendapat predikat sebagai pribadi yang egois, termasuk para elite dan pemimpin di Maluku Utara yang telah nyata-nyata mempraktekkannya dengan sempurna.

Betapa tidak, egoisme telah menempatkan elit politik dan pemimpin di daerah ini berdiri berseberangan dengan kepentingan dan aspirasi rakyat. Kepentingan dan aspirasi rakyat kerap tidak terwakilkan oleh aneka kebijakan yang diambil oleh para elit dan pemimpin di daerah ini. Padahal, jutaan rakyat hidup dibawah garis kemiskinan. Jutaan lainnya tak mendapatkan pekerjaan dan terpasung oleh sistem koneksitas yang angkuh dan egois. 

Para elit dan pemimpin di Maluku Utara yang egois, telah menempatkan kesejahteraan rakyat tidak lebih sebatas retorika politik semata. Karena titik soalnya bukan sekedar kemiskinan itu sendiri, melainkan proses pemiskinan yang secara sadar terus dilakukan dan secara kontinyu terus terjadi sebagai konsekuensi logis dari sistem pendistibusian ekonomi yang timpang, yang hanya menguntungkan segelintir orang, persis paradigma kekuasaan ala Orde Baru yang kita kutuk itu. 

Dalam konteks ini, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa para elit politik dan pemimpin di daerah ini dari Morotai sampai Taliabu sejatinya telah kehilangan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kebenaran. 

Fakta ini seolah-olah memberi gambaran nyata dari sebuah potret buram kehidupan di bumi Maloku Kie Raha yang sedang terengah-engah, kehabisan daya, frustasi, bahkan merasa seperti ayam mati di lumbung padi.  Harapan tentang Maluku Utara yang lebih baik pun, sungguh jauh panggang dari api. 

Disadari atau tidak, kita sebetulnya tengah terperangkap dalam halusinasi demokrasi yang justru menelanjangi kemunafikan kita sebagai suatu kaum. Meminjam puisi almarhum WS Rendra, “terbentur oleh meja-meja kekuasaan yang macet”. Tak pelak lagi, kita rakyat Maluku Utara saat ini, mulai dari Tanjung Sopi sampai Lifmatola, sedang berhadapan dengan sosok kekuasaan yang dikungkungi oleh aneka kepentingan (pribadi dan kelompok) dan mengarah pada  final actualization diri yang hanya terkonsentrasi dan terfokus pada kekuasaan dan kekayaan semata. 

Untuk itu, penting bagi para elit politik dan pemimpin di daerah ini untuk mengikis sifat egois dalam diri mereka dengan melakukan pengembangan sikap altruisme universal. Yang perlu ditekankan di sini adalah, bahwa nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kebenaran itu satu dan kawasan yang terbentang mulai dari Morotai sampai ke Sula Kepulauan juga satu, yakni rumah besar bernama  Provinsi Maluku Utara, milik kita semua. 

Bila kita yang seharusnya bertanggung jawab untuk mengurus rumah kita, maka mulai sekarang sebaiknya kita melihat bahwa egoisme bukanlah masalah yang sederhana dan kecil. Kunci untuk menuju Maluku Utara yang lebih bermartabat adalah dengan tumbuhnya kasih bukan egoisme. 

Kita tidak perlu menjadi sangat religius atau berpegang pada ideologi tertentu untuk tidak egois. Semua yang kita butuhkan di sini adalah menumbuhkan kualitas kepemimpinan yang baik. Pemimpin yang karena  kecintaannya pada rakyat dan negeri ini, mau dan mampu membawa egoismenya pada jalan ketiadaan. 

Pemimpin yang mau berkata dan berbuat “Iya, Aku mencintaimu, dan karena itu Aku Membunuh Egoku hingga  aku bisa melebur dalam kekitaan yang abadi. Kekitaan yang menyatukan aku dan kamu. Kekitaan yang menghilangkan ke-aku-anku dan ke-kamu-anmu. Karena aku dan kamu adalah satu, manusia Maluku Utara. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar