1. Narasi Tanah Asal
Airmata itu telah
ku kristalkan jadi rindu
Tak tergertak
ajal tak takut binasa
Laksana Khairun
menuju Castela
Berani Soya atau Moya
Luka-luka negeri
di mana cinta terusir jadi kembara
Telah ku
keringkan di singgasana para Kolano
Dini hari tadi
usai beduk Subuh
Tapi Sultan
berumah di Jakarta tak lagi di Ake Santosa
Tanah itu
jua sio kona
Moloku Kie Raha
foto-foto doka soya rako moi
Tanah airmata
yang di jaga Datuk-datuk
Tapi di kantor
Residen dorang curi uang dari ngofangare
O... Tanah itu
jua Miliku
Chau Yu Kua
pelaut Tionghoa di Abad 13 Masehi bilang
Maharaja
Sriwijaya Seri Indrawarman
kirim puteri dari
Janggi dengan burung Kakatua jadi bingkisan
O….Miliku O… Malu Aku
Jadi Moloku
Jadi Maluku
Jaga pintu muka
di Loloda
Awas dorang curi
emas dari Kao-Malifut di sana hal ma hera
Jaga pintu
belakang di Bacan
Awas dorang kuras
ikan dari laut di situ para Sultan berebut Sula
Janji Kaicil
Paparangan mesti di tunaikan
Meski ajal
mengintai di kepala tangga
Ke tepian semula
Perahu Kapitan harus menuju
Jakarta, 17 Februari 2005
Demi asin lautan
yang menghitamkan kulit ari
Kesetiaan adalah bahasa lumba-lumba yang mestinya di mengerti sebagai cinta
Nasib anak negeri yang hanya bertengger sebagai janji
Telah menjelma bisa pari sejak hati terlukai
Kami bukan
ikan-ikan mati yang bisa dilempar sebagai tumbal negara ini
Demi kesetiaan berpuluh tahun yang hanya menorehkan luka
Anak-anak hitam, bau bia, bau laut kini memanen kata merdeka
Sekali berucap lawamena selebihnya parang dan salawaku akan berkibar
Bahasa perlawanan
sejak Nuku hingga Pattimura adalah bahasa kesetiaan
Kepada negeri airmata dan darah tertumpah sesungguhnya karena cinta
Tetapi Jakarta telah menarik balik pabrik gula di Laimo
Jakarta telah mengambil stasiun oceanologi dan menaruhnya di Bali
Jakarta telah membiarkan kami sejak 19 Januari 1999 tanpa hati
Lalu kesetiaan
macam apalagi yang harus kami beri
Untuk hanya sekadar jadi petinju dan penyanyi di jantung negeri
Bukankah Soekarno bilang tanpa kami Indonesia tak jadi apa-apa
Seribu ton kopra yang kami bawa ke istana dimana kini harganya?
Maka demi asin
lautan yang mengeritingkan rambut kami
Sumpah Pattimura muda telah kami ikrarkan di seluruh pelosok negeri
Biar peluru menembus kulit kami tetap menerjang
Meminta keadilan sebagai harga atas nasib anak negeri
Banda
Aceh, 3 Maret 2008
Tapi disini tanah
air kami, tempat kelahiran putra pemberani
Sekali kau tikam cidera para Kolano menuntut bela
Lalu Khairun, lalu Babullah, lalu Banau
Mengangkat parang maju ke muka
Siapa tak putih muka ketika Nuku menuntut bela
Tapi disini laut kami tempat rurehe menari-nari
Sekali kau olesi cuka, para canga menabur murka
Lalu cora-cora, o... jangan coba-coba
Sudah banyak kami bikin binasa
Seperti Benteng Castela yang tinggal rangka
Tapi disini hutan dan gunung kami
Tempat memanen harapan dan mimpi
Tempat bersarang sang cala ibi, jin salai eee doti-doti
Jangan coba curi isi bumi, amarah Togutil tak tertandingi
Lalu Menge, lalu Siboyu, lalu Kadai ke dalam hutan Moro-moro
hotu… yeee... mari katong angkat senjata melawan angkara
Di Sanana torang bilang air mandidi, capat mandidi
Orang Tobelo datang baku potong, parang, tombak, pana-pana
Cikar kanan tarik layar para canga menggasak Belanda
Jangan coba tada nanti laut jadi merah
Darah tumpah para kapita mengintai nyawa
Tapi disini tumpah darah kami
Tempat ibu melahirkan sunyi menyusui bumi
Batavia
Air : Jakarta-Ternate,
15 Oktober 2009
4. Pemberontakan Dari Timur
Dan kami menulis
puisi dari pinggir-pinggir laut
Dari batas ombak dan pantai-pantai sunyi
Maka terlahirlah narasi tanah asal mendendangkan hari
Bahasa perlawanan bagi pusat segala kuasa juga suasa
Dan kami menitiskan tanda di jalan sejarah
Tentang perlawanan kepada penjajah
Tentang kepahlawanan dan pengkhianatan
Tak luput Jakarta selalu aniaya, juga para pujangga
Dan kami merangkai bahasa sebagai tanda merdeka
Demi kisah masa lampau yang mengharum seperti pala
Seperti cengkeh seperti gaharu seperti lada dan kayu manis
Koran-koran Jakarta, kami tak butuh itu sejak lama
Puisi kami abadi di pasir pantai mengalun bersama ombak
Dan kami tak menulis puisi demi sepiring nasi melainkan hati
Dari Morotai sampai Sula, kata-kata adalah bunga
Para jujaro senandungkan cinta tentang perempuan bermata purnama
Dan tak butuh dana untuk lembaga, puisi kami bersemayam di batu
Tentang Jakarta biarkan saja seperti itu sudah dari dahulu
Tempat berawal orang-orang yang kalah yang tak berani baku adu
Seperti Jan Pieterson Coen yang lari ke situ demi menghindar amarah Nuku
Puisi kami bersarang di laut memotong penjajah dari waktu ke waktu
Narasi tanah asal tempat bersarang para pemburu
Sejak Nuku sudah begitu, menolak tunduk kepada baharu
Puisi ini juga begitu tak gentar maju seperti derap pasukan alifuru
Begitu ikrar disumpahkan dulu dari Halmahera sampai ke buru
Bangkok,
22 Oktober 2009
5. Sumpah Beta Bukan Pemuda Indonesia
Sumpah Beta bukan
pemuda Indonesia
Beta seng mengaku berbangsa satu
Karena dari ujung Halmahera sampe Tenggara Jauh
Katong di Maluku punya banyak bangsa-bangsa
Sumpah Beta bukan pemuda Indonesia
Beta seng mangaku bertumpah darah satu
Karena tanah dan air di kampung beta
Adalah pulau-pulau dan laut yang biru
Bukan lautan darah yang ale dong bilang itu
Sumpah Beta bukan pemuda Indonesia
Beta seng mangaku berbahasa satu
Karena dari utara sampe selatan daya
Katong punya banyak bahasa tanah
Bahasa ibu tempat katong hidup deng rindu
Bangkok,
28 Oktober 2009
6. Tentang Tanah yang Tak Berpusat di Jawa
Indonesiakah yang
melahirkanmu atau sejarah tumbuh keliru
Ketika itu sebelum empat puluh lima laut adalah punya kita
Dahulu disana Ba’abullah berjaya mengusir penjajah untuk pertama
Seribu ton kopra yang kita kirim ke istana mengapa kini tak punya harga
Tahun-tahun nenek moyang tahun-tahun kejayaan sudah lama hilang
Di pelataran Masjid Sultan kita hanya mampu menghitung kejatuhan
Dengan sorban berlipat-lipat dan zikir diam-diam seolah kenyataan adalah adjab
Dimana itu dendam kesumat yang dulu bikin Portugis pucat muka
yang bikin Pieterson Coen terbirit-bitir lari dari Fort Oranje karena takut
binasa
yang bikin Lopez de Mesquita sengsara setelah khianat di benteng Castella
yang kirim cora-cora jaga cengkeh-pala dari hongi tochten hingga Belanda hilang
kuasa
Jou eee jangan cuma inga dansa-dansi deng noni Belanda di Ake Santosa
Jangan coba jadi Tarruwese yang tak setia kepada Nukila, nanti jadi binasa
Ini negeri tak sama harganya dengan dua kadera di Senayan sana, O… jangan buang
muka
Jangan sampai Saidi, Majira dan Kalumata jadi marah nanti laut jadi merah
Indonesiakah yang melahirkanmu atau sejarah yang melupai ibu
Dan tanggal dua puluh delapan oktober itu tak seorangpun kita teken di situ
Tetapi kopra kita kirim jua ketika republik muda belia tak punya apa-apa
Dimana Irian beribukota kalau tidak di bumi Kie Raha, O… Soa-Sio lama terlupa
lama terlunta
Lalu dana kopra yang sampai sekarang gudangnya torang bilang Dakomib itu untuk
siapa?
Indonesiakah yang melahirkanmu atau sejarah yang tak punya ibu
Tahun seribu dua ratus lima puluh tujuh Momole Ciko dari Sampalu sudah pimpin
ini negeri dengan gelar Baab Mashur Malamo. Jangan lupa itu, kalau berani mengaku
anak-cucu
Tetapi sekarang apakah ada yang tercatat di dalam buku, O… Galelano saling baku
bunuh
Dari ujung Halmahera sampai ujung Taliabu torang baku tipu demi tungku saling
baku dubu
Ya Jou eee…Afa doka kamo-kamo/ Isa mote
hoko mote
Ma dodogu ogo uwa/ Tego toma ngawa-ngawa
Indonesiakah yang melahirkanmu atau sejarah yang mendurhakai ibu
Maka demi air mata suci Ratu Nukila dan pusara Tuan Kadi Abdussalam di Cape Town sana
Mari angkat parang maju ke muka menuntut bela. Anak negeri sudah lama sengsara
Biar Juida Kasiruta jadi saksi lautan darah, amarah menyala, pica-pica
Sudah lama beta angkat bicara tentang tanah yang tak berpusat di Jawa
25 November 2009
7. Indonesia Bukan Tanah Air Beta
indonesia bukan
tanah air Beta
lalu tuan
bermanis muka
menghiba-hiba
meminta kopra
seribu ton kami
kirim jua ke jawa
dakomib saksi
sejarah ketika itu enam puluh dua
sejak mula Beta
merdeka di tanah pusaka
lalu tuan
mengaku saudara
Soa Sio tinggal
merana
tiada tuan
berbudi bahasa
Raja Ampat
lepas kuasa Nuku tak ada
Disini tempat
lahir Beta
dibuai
dibesarkan bunda
Kie Raha tanah
pusaka Ba’bullah menjaga
Pata Siwa sio
Amboina
tuan datang
membawa petaka
janji bahagia
padahal airmata
kami sengsara
tuan berpesta
sejak empat
lima terus merana
serupa dusta di
Benteng Castella
indonesia bukan
tanah air Beta
meski tuan
kokang senjata
sampai akhir
menutup mata
Maluku Tanah Air Beta, 4 Agustus 2010
8. Bukan Gurindam Pasal 33
Tuan tuan yang terhormat. Selamat malam
Dengan ini kami sampaikan bahwa kemerdekaan adalah hak
segala bangsa
Dan oleh sebab itu puisi-puisi kami tulis, mantra-mantra
kami kutip
Karena penderitaan di atas dunia harus dihapuskan
Karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri
keadilan
Ini bukan gurindam pasal ke tiga puluh tiga,
terima kasih
Tuan tuan yang terhormat. Selamat malam, selamat makan
Bersama ini kami sampaikan bahwa
Batavia bukanlah bintang di dada garuda
Sumber cahaya segala yang
kuasa
Dan karena kami bukanlah binatang, hutan dan rantai
Tiadalah padi dan kapas dapat melukai, sejak tiba kita
di depan pintu gerbang kemerdekaan
Dan tak sejahtera dan tak bersatu dan tak adil
Karena selalu berpaling muka
:Takutkan garuda
menatap ke muka?
Sirnalah keindahan laut dan pantai, hutan dan gunung
Halaman rumah kita cuma alang-alang
Tuan tuan yang terhormat selamat malam
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Tapi nasib tergadaikan di ujung nadi
Susu tak terbeli orang pintar gemar korupsi
Ikan dan udang memilih pergi
Bumi, air beserta isinya telah dikelola oleh negara
Bagi sebesarbesarnya kesejahteraan penguasa
Bagi sebesarbesarnya kepentingan Jakarta
Ternate, 5 Desember 2010
Orang bilang tanah kita tanah surga/Tongkat kayu dan batu jadi tanaman=bait
lagu Koes Plus.
Susu tak terbeli orang pintar tarik subsidi=bait lagu Iwan Fals
9. Lawa Mena
Lawa Mena, beta masih muda
seng takut binasa
sumpah parang di muka
beta ini Kapitan yang murka
dari Morotai sampe ke Kisar
beta tahan segala cuaca
beta tanam segala kuasa
bikin tuan hancur binasa, pucat muka
seperti Belanda kehilangan pala
Mena Moria, ini tanah beta yang punya
seng ada harga seng jual di kota
jang tuan paksa
sekali berteriak merdeka
tuan rubu rata deng tanah
Upu Latu, sepuluh cora-cora berlayar ke Sula
kini sudah waktunya tiba
bilang Salahakan jang bikin maskena
tanah air meminta merdeka
mari baku adu
seribu Alifuru asalnya satu
toma maju
Pata Siwa-Pata Lima
angin tenggara bawa bendera
hela panggayong jangan pawela
Lawa Mena, maju di muka
Pattimura muda seng takut binasa
Batavia,
16 Januari 2014
10. Siklus Kabasaran Generasi Laut
bila telah datang musim timur menuntun
ombak
bismillah tuan. kunci hatimu tegak
di lambung perahu
kencangkan temali layar, kuatkan ikatan perahu
kapitan laut menerjang maut. mati di laut
begitu sumpah kita pancang
pada siasat yang mereka rancang
dan atas nama lunas cora-cora, juanga juga lopa-lopa
kita melaju bagai datuk laut, bagai hantu laut
melintas limapuluh sentimeter di atas kulit
laut
parang di muka terbakar sudah bima dan
donggala
bismillah Tuhan yang punya kuasa
kabal jadi palias /
palias jadi besi
besi jadi wajah / pelurumu jadi air
jadi lumpur / bismillah
bila telah datang musim barat menenun hasrat
ke timur kita menuju papua.
salahakan berdiri di muka
berayun laju perahu canga bagai setan murka
sudah waktunya kita bicara. sakaleka
doa-doa mengangkasa di pagi buta
layar-layar diberi mentera
demi Tuhan yang punya kuasa
demi gamalama yang menegaki lautan
demi dukono yang mengasapi angin
barakat guru barakat Muhammad
ak bal mum / mum bal ak
ali ba tsa salah. ya, tuhan
lalu ketika datang musim pancaroba
utara dan selatan bagai rindu terlunta-lunta
perempuan meminta. pulang kita ke pelukan mesra
berkasih-kasih bercinta-cinta penuh asmara
peluru meleleh di tubuh para bini
membelah laut membelah bumi
lahir anak laut. jadi anak laut
nur allah nur muhammad
cahaya anakku seperti bulan purnama
Ternate,
11
Desember 2015