Minggu, 22 Januari 2017

Telegram Dari Tanjung Sopi



jika kau tiba di rumah kita
dan aku telah tiada
itu berarti waktu kita telah habis
ranjang yang sunyi lemari yang sepi
segala telah menjadi basi
kucing-kucing pun telah mati

dan di dinding rumah. pigura-pigura foto
hanya berisi gambar kebohongan
seakan kita memelihara ular yang mendesis
dari dari balik laci dan tungku kosong
dimana kita pernah menanak harapan dan juga mimpi
lalu menatanya di atas meja bagai santapan dari surga

ya di rumah mungil berlantai dua itu
sejarah dan nafas dua tubuh pernah tersaji
bagai pangeran dan bidadari

meski berulangkali tuba kau tuangkan
ke cangkir kopi juga piring makan
juga gelas kehidupan yang kini pecah berderai

meski aku selalu tabah menelan bisa ular laut
seteguk demi seteguk dari manis bibirmu
hingga hatiku biru membeku

jika kau tiba di rumah kita
dan aku telah tiada
maka bawa saja segala yang tersisa
sebagaimana kau bawa seluruh kasih sayang
yang pernah kita punyai
sebab aku tak pernah cukup. bagimu tak biasa satu

            Morotai, 22 Januari 2017






Tak Pernah Satu



sebagai lelaki yang khatam segala musim
telah kurenangi seluruh permukaan tubuhmu
dengan semua rasa yang paling tulus. paling kudus
telah pula kuselami seluruh kedalaman cerukmu
sepenuh cinta. bagai deru angin senja datang bertalu

aku hafal betul setiap lekuk dan letak gunung
di ketubiran leguhmu yang menawarkan mabuk
di musim teduh maupun gemuruh yang melenakan hidup
tetapi sungguh seluruhmu itu tak hanya aku. selalu begitu

di telukmu yang tak lagi ranum
begitu banyak berkerumun para penyamun
yang kau undang sepenuh mesum
demi erang. uang dan nafsu yang kau sebut rindu

dari ujung ke ujung negeri kau tautkan jari-jemari
bahkan kepada mereka yang datang dari atas angin
sungguh erangmu begitu menderu. selaksa hantu
leguhmu itu tak pernah satu. sejak dahulu

sebagai lelaki yang hafal gelagatmu
bagai nelayan yang khatam membaca angin
aku hanya bisa melepas sauh dan berlayar menjauh
sebab di telukmu dusta dan khianat bersekutu sepenuh tubuh
dalam erangan yang kian layu tanpa kenal waktu

                        Morotai, 20  Januari 2017

Asam di Gunung, Garam di Laut Setitik Nila Membunuh Kita


selalu aku meninggikanmu
di titik teratas cahaya hatiku
walau padamu, aku hanya bayangan bisu
yang selalu ingin kau hapus sedari dahulu

selalu aku membawamu utuh
ke titik terdalam sunyi doaku
walau padamu aku hanya bayangan semu
yang selalu ingin kau hapus bagai debu

dan kini, di bawah temaram cahaya rembulan
tiada sesiapa berbagi luka di atas bahtera
sebab di pantai, putih airmata telah lama menjelma garam
sedang engkau bergegas ke gunung memburu asam
di dalam belanga hanya tersisa setitik nila membunuh kita

            Morotai, 19 Januari 2017



           

Ternate Tujuh Belas Januari



malam ini tujuh belas januari hujan tak jua henti
gelap ini. kusadari aku kini sendiri. menunggu mati
dingin angin lautan hembuskan gigil tiada terperi
terasa waktu seakan berhenti sejak engkau memilih pergi

malam ini tujuh belas januari. hati ingin kau mesrai
gelap ini. kata hati tak jua terpenuhi
o.. lelahnya diri. ingin kuucap sejuta maki
terasa hidup tak lagi berarti. sebab engkau tak jua kembali

malam ini tujuh belas januari. diri ini terasa mati
gelap ini. di tepi pantai aku menangis. nasib yang miris
tanpa dirimu ada di sisi. aku pantai kehilangan pasir
terasa umur telah sampai ke ujung tubir. aku ikan kehilangan air

malam ini tujuh belas januari. sembilan bulan engkau pergi
gelap ini. menusuk duri ke ruang hati
aku lelaki yang hilang istri di busur nasib yang kini sepi
entah kapan engkau kembali. ingin kubawa rapat ke hati
biar waktu tak lagi berduri. demi engkau dan si buah hati

                        *17-01-17




Kamis, 12 Januari 2017

Taman Terakhir Yang Alpa Kau Tuju



setelah sekian waktu terlewati dalam pertautan kita
yang menumbuhkan hasrat meninggikan harap
engkau masih saja mengirim keruh ke mataku
mengirimkan gemuruh pilu ke ruang dadaku
meski engkau tahu. aku tak lagi setabah pantai
                                                         seteguh karang

pada masa dimana usia seumpama kursi terbalik ini
segala yang ada telah menua terkikis umur merapat ke kubur
tetapi luka tiada henti engkau toreh
serupa ombak berulang-ulang mengoyak pantai
meski musim tiada membadai tiada taufan
tak henti jua kau cipta beliung di muara sungai

lalu seorang perempuan menulis puisi
tentang januari yang telah pergi
barangkali dari mimpi. bisa juga dari hati
engkau bergegas ke barat menerabas hasrat
ke lubuk tawar bernama maninjau
meski kau tahu tiada garam di pegunungan
lalu lupa alamat pulang
taman terakhir tak lagi kau tuju

                        Ternate, 13 Januari 2017