Rasulullah Muhammad
adalah orang yang memiliki kebesaran jiwa dan sangat teruji kesabarannya,
karena itulah banyak orang-orang kafir yang memeluk Islam karena melihat
kemuliaan akhlak beliau.
Dikisahkan,
ada salah seorang tetangga beliau yang selalu menghina bahkan meludahi
Rasulullah ketika beliau lewat di depan rumahnya. Perbuatan itu rutin ia
lakukan setiap hari. Setiap Rasulullah melintas di depan rumahnya.
Hingga pada suatu
hari Rasul Muhammad merasa ada yang aneh
ketika melewati rumah tetangganya itu.
Beliau merasa aneh karena tidak mendapat “ hadiah ludah” seperti biasanya dari
sang penghuni rumah. Esok harinya pun demikian, tidak ada perlakuan yang beliau
terima seperti biasanya . Karena rindu dengan hadiah itu, Rasulullah
mengunjungi sang penghuni rumah dan
menanyakan tentang kabarnya, ternyata Ia sedang sakit.
Melihat
kedatangan Rasulullah, sang penghuni rumah pun terharu. Ia terharu karena
selama dirinya sakit tidak ada seorangpun yang mengunjunginya. Malah Rasulullah
yang selama ini ia hina dan ia sakiti hatinyalah orang yang pertama kali
menjenguknya dan memberi perhatian yang tulus kepadanya. Hingga akhirnya ia
bersyahadat di hadapan Rasulullah Muhmmad.
Subhanallah.
Betapa besar jiwa manusia agung yang menjadi suri tauladan kita itu, jika
dibandingkan dengan kita yang mengaku umatnya ini. Rasul Muhammad dengan jiwa
besar dan penuh kesabaran mampu menjadikan penghinaan itu sebagai hikmah. Sebagai
penyambung tali silaturahim, ketika si kafir itu sakit dan tidak mampu lagi
menghina beliau.
Bandingkan dengan kita yang kerapkali keliru dan menjadikan kemarahan
sebagai jalan keluar dan unjuk kekuatan. Apalagi misalnya ketika kita adalah
seorang penguasa dan di saat bersamaan kebetulan kita menjadi korban, entah
demonstrasi, kritik-kritik pedas atau tulisandan pemberitaan media massa.
Langkah
pertama yang biasa kita ambil adalah merancang alibi, menyusun strategi
serangan balik dan membenci kelompok atau orang yang menurut persepsi kita
telah melakukan penghinaan itu. Padahal tanpa kita sadari, salah paham ini
meningkatkan siklus kekerasan dan kebencian.
Kita
sering tidak sadar bahwa kemarahan merupakan wajah lain dari ketakutan.
Ketakutan bahwa kita direndahkan, ketakutan bahwa orang lain mengetahui
keburukan dan kejelekan kita. Ketakutan bahwa orang lain bisa merusak kekuasaan
kita bahkan bisa berkuasa atas diri kita. Padahal justru ketika kemarahan itu
muncul, maka derajat kita sebagai manusia rendah itu makin jelas dan nyata.
Karena itu, seburuk apa pun perlakuan seseorang
atau sekelompok orang pada diri kita, maafkanlah. Karena memaafkan meski pada
awalnya sulit, sebenarnya ia adalah jalan menuju ketentraman batin, jalan
menuju kebesaran jiwa.
Para suci sendiri pernah berkata, ”berilah maaf
tujuh puluh kali tujuh kali” yang artinya ‘maafkanlah siapa pun juga sebanyak
mungkin’. Kebencian dan prasangka sebaliknya menimbulkan kekerasan dan rasa
sakit, tak hanya secara fisik tapi juga secara batin. Dan hanya cintalah yang
dapat menyembuhkannya.
Memaafkan,
bukan berarti melupakan. Memaafkan berarti mengerti. Kita tak dapat membuka hati kita
kepada orang lain kecuali hati kita terbuka terhadap diri kita sendiri. Peribahasa
dalam A Course in miracle mengungkap dengan jelas bahwa “tanah
yang paling suci adalah tanah di mana kebencian lama telah menjadi kasih sayang
sekarang”.
Memang bagi
kebanyakan orang, memberi apalagi meminta maaf bukanlah perkara mudah. Karena memberi
dan meminta maaf membutuhkan jiwa besar. Memaafkan merupakan hal yang paling
sulit dilakukan karena berkaitan dengan sesuatu yang membara atau menyakitkan
dalam diri kita. Banyak orang beranggapan bahwa memberi maaf kepada orang yang
bersalah atau menyakiti hanya akan merendahkan harga diri.
Tapi
yakinlah bahwa memberi dan meminta maaf sesungguhnya tidak berkaitan dengan
salah atau benar. Tidak juga berhubungan dengan ada tidaknya permintaan maaf
dari pihak yang bersalah. Sekalipun kita berada di pihak yang benar, tidak ada
salahnya bila kita meminta maaf dan memaafkan, karena di situlah letak
keunggulan, kebesaran jiwa dan harga diri seseorang yang sesungguhnya. Memberi
maaf terlebih dulu atau meminta maaf terlebih dulu itu lebih utama dan lebih
menunjukkan kualitas diri kita sebagai manusia.
Percayalah bahwa memberi dan meminta maaf itu lebih berkaitan dengan
keikhlasan jiwa dan kebesaran hati seseorang. Memberi atau meminta maaf
mencerminkan kelapangan hati. Ketika permintaan dan pemberian maaf itu muncul,
keagungan kita sebagai manusia menjadi tampak dan bercahaya. Dan tentu saja
dengan maaf, sakit hati itu hilang. Beban di dada lenyap. Karena kata maaf
mampu menyembuhkan luka batin yang selama ini menggumpal dan meracuni hati dan
pikiran kita.
Bagi seorang pemimpin, kata maaf mampu
menumbuhkan keindahan hati, menuntun keseimbangan jasmani dan rohani, menyelaraskan perjalanan hidup dengan system
nilai Ilahiah dan manusiawi, sehingga terciptalah keharmonisan dalam hubungan
sosial masyarakatnya.
Bagi seorang pemimpin, memaafkan itu mencerminkan keindahan hati dalam
wujud keikhlasan pengabdian pada rakyatnya. Kata maaflah jalan bagi kebesaran
jiwa dan kelapangan hatinya. Jadi maafkanlah bila ada rakyat yang bersalah (demonstrasi, kritik-kritik pedas atau
tulisan dan pemberitaan media massa), sebagaimana Rasul Muhammad memaafkan
tetangganya bahkan memberinya syafaat. Dengan demikian hidup ini akan menjadi
indah. Insya Allah(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar