Kamis, 28 Juli 2016

Jiwa Besar




Rasulullah Muhammad adalah orang yang memiliki kebesaran jiwa dan sangat teruji kesabarannya, karena itulah banyak orang-orang kafir yang memeluk Islam karena melihat kemuliaan akhlak beliau.

Dikisahkan, ada salah seorang tetangga beliau yang selalu menghina bahkan meludahi Rasulullah ketika beliau lewat di depan rumahnya. Perbuatan itu rutin ia lakukan setiap hari. Setiap Rasulullah melintas di depan rumahnya. 

Hingga pada suatu hari Rasul Muhammad merasa ada  yang aneh ketika melewati rumah tetangganya  itu. Beliau merasa aneh karena tidak mendapat “ hadiah ludah” seperti biasanya dari sang penghuni rumah. Esok harinya pun demikian, tidak ada perlakuan yang beliau terima seperti biasanya . Karena rindu dengan hadiah itu, Rasulullah mengunjungi sang penghuni rumah  dan menanyakan tentang kabarnya, ternyata Ia sedang sakit.

Melihat kedatangan Rasulullah, sang penghuni rumah pun terharu. Ia terharu karena selama dirinya sakit tidak ada seorangpun yang mengunjunginya. Malah Rasulullah yang selama ini ia hina dan ia sakiti hatinyalah orang yang pertama kali menjenguknya dan memberi perhatian yang tulus kepadanya. Hingga akhirnya ia bersyahadat di hadapan Rasulullah Muhmmad. 

Subhanallah. Betapa besar jiwa manusia agung yang menjadi suri tauladan kita itu, jika dibandingkan dengan kita yang mengaku umatnya ini. Rasul Muhammad dengan jiwa besar dan penuh kesabaran mampu menjadikan penghinaan itu sebagai hikmah. Sebagai penyambung tali silaturahim, ketika si kafir itu sakit dan tidak mampu lagi menghina beliau. 

Bandingkan dengan kita yang kerapkali keliru dan menjadikan kemarahan sebagai jalan keluar dan unjuk kekuatan. Apalagi misalnya ketika kita adalah seorang penguasa dan di saat bersamaan kebetulan kita menjadi korban, entah demonstrasi, kritik-kritik pedas atau tulisandan pemberitaan media massa. 

Langkah pertama yang biasa kita ambil adalah merancang alibi, menyusun strategi serangan balik dan membenci kelompok atau orang yang menurut persepsi kita telah melakukan penghinaan itu. Padahal tanpa kita sadari, salah paham ini meningkatkan siklus kekerasan dan kebencian. 

Kita sering tidak sadar bahwa kemarahan merupakan wajah lain dari ketakutan. Ketakutan bahwa kita direndahkan, ketakutan bahwa orang lain mengetahui keburukan dan kejelekan kita. Ketakutan bahwa orang lain bisa merusak kekuasaan kita bahkan bisa berkuasa atas diri kita. Padahal justru ketika kemarahan itu muncul, maka derajat kita sebagai manusia rendah itu makin jelas dan nyata. 

Karena itu, seburuk apa pun perlakuan seseorang atau sekelompok orang pada diri kita, maafkanlah. Karena memaafkan meski pada awalnya sulit, sebenarnya ia adalah jalan menuju ketentraman batin, jalan menuju kebesaran jiwa. 

Para suci sendiri pernah berkata, berilah maaf tujuh puluh kali tujuh kali” yang artinya ‘maafkanlah siapa pun juga sebanyak mungkin’. Kebencian dan prasangka sebaliknya menimbulkan kekerasan dan rasa sakit, tak hanya secara fisik tapi juga secara batin. Dan hanya cintalah yang dapat menyembuhkannya.

Memaafkan, bukan berarti melupakan. Memaafkan berarti mengerti. Kita tak dapat membuka hati kita kepada orang lain kecuali hati kita terbuka terhadap diri kita sendiri. Peribahasa dalam A Course in miracle mengungkap dengan jelas bahwa “tanah yang paling suci adalah tanah di mana kebencian lama telah menjadi kasih sayang sekarang”.

Memang bagi kebanyakan orang, memberi apalagi meminta maaf bukanlah perkara mudah. Karena memberi dan meminta maaf membutuhkan jiwa besar. Memaafkan merupakan hal yang paling sulit dilakukan karena berkaitan dengan sesuatu yang membara atau menyakitkan dalam diri kita. Banyak orang beranggapan bahwa memberi maaf kepada orang yang bersalah atau menyakiti hanya akan merendahkan harga diri.

Tapi yakinlah bahwa memberi dan meminta maaf sesungguhnya tidak berkaitan dengan salah atau benar. Tidak juga berhubungan dengan ada tidaknya permintaan maaf dari pihak yang bersalah. Sekalipun kita berada di pihak yang benar, tidak ada salahnya bila kita meminta maaf dan memaafkan, karena di situlah letak keunggulan, kebesaran jiwa dan harga diri seseorang yang sesungguhnya. Memberi maaf terlebih dulu atau meminta maaf terlebih dulu itu lebih utama dan lebih menunjukkan kualitas diri kita sebagai manusia. 

Percayalah bahwa memberi dan meminta maaf itu lebih berkaitan dengan keikhlasan jiwa dan kebesaran hati seseorang. Memberi atau meminta maaf mencerminkan kelapangan hati. Ketika permintaan dan pemberian maaf itu muncul, keagungan kita sebagai manusia menjadi tampak dan bercahaya. Dan tentu saja dengan maaf, sakit hati itu hilang. Beban di dada lenyap. Karena kata maaf mampu menyembuhkan luka batin yang selama ini menggumpal dan meracuni hati dan pikiran kita.  

Bagi seorang pemimpin, kata maaf mampu menumbuhkan keindahan hati, menuntun keseimbangan jasmani dan rohani,  menyelaraskan perjalanan hidup dengan system nilai Ilahiah dan manusiawi, sehingga terciptalah keharmonisan dalam hubungan sosial masyarakatnya.

Bagi seorang pemimpin, memaafkan itu mencerminkan keindahan hati dalam wujud keikhlasan pengabdian pada rakyatnya. Kata maaflah jalan bagi kebesaran jiwa dan kelapangan hatinya. Jadi maafkanlah bila ada rakyat yang bersalah (demonstrasi, kritik-kritik pedas atau tulisan dan pemberitaan media massa), sebagaimana Rasul Muhammad memaafkan tetangganya bahkan memberinya syafaat. Dengan demikian hidup ini akan menjadi indah. Insya Allah(*)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar