Sastra dan
peradaban memiliki kaitan cukup erat. Sastra dalam Bahasa Arab disebut pula
dengan istilah adab yang artinya sopan, penuh dengan keindahan.
Manusia yang
beradab artinya manusia yang menampilkan cara hidup yang indah, hidup dengan
keluhuran budi pekerti. Sebaliknya, manusia yang tidak beradab adalah manusia
yang jauh dari cara-cara hidup yang indah, manusia bengis, yang diliputi
kebencian. Peradaban sendiri bisa diartikan sebagai pandangan hidup, aktivitas,
dan buah karya manusia yang di dalamnya mengandung nilai-nilai keindahan.
Guru Besar UGM (Universitas Gadjah
Mada), Prof. Chamamah Soeratno mengatakan bahwa sastra adalah means that is
not transmitable by other means, karya sastra bisa dikatakan sebagai media
yang tidak tergantikan oleh media lain.
Keunggulan sastra dari bidang lain
adalah karena sastra merupakan sarana kritik yang menghibur sehingga pesan yang
disampaikan oleh pengarang bisa meresap secara efektif dalam pikiran manusia
tanpa mereka sadari. Sastra juga dapat menjadi satu institusi sosial, kontrol
sosial, alat perjuangan, dan juga menjadi ideologi. Sastra juga menghadirkan
atau mencerminkan realitas dalam masyarakat (Dwi Susanto, 2010:1).
Sebenarnya, dalam kondisi masyarakat
saat ini, karya sastra dapat berkembang dengan baik dan manfaatnya dapat
dirasakan oleh khalayak umum. Selain itu, karya sastra juga memiliki potensi
untuk keluasan masyarakat dan semangat hidup semesta. Nilai-nilai yang
terkandung dalam karya sastra yang meliputi nilai sosial, intelektual, dan
religius, sangat diperlukan oleh masyarakat modern.
Penikmat karya sastra atau pembaca
dapat menggugah perasaannya, mendorong dirinya sendiri untuk berbuat sesuatu
untuk masyarakat lainnya. Mereka akan merasa memiliki andil dalam kegiatan
masyarakat umum, sehingga menimbulkan kepedulian terhadap kepentingan bersama
yang berjalan dalam masyarakat.
Jadi, sastra memiliki peran dalam
proses perubahan masyarakat. Menurut H. Nani Tuloli, proses perubahan itu
antara lain: Menimbulkan kebiasaan membaca yang sangat dibutuhkan pada era
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, menimbulkan rasa simpati terhadap
penderitaan masyarakat dan berusaha utnuk menanggulanginya, memantapkan budaya
yang beretika dan bermoral tinggi dalam kehidupan sebagai makhluk Tuhan, anggota
masyarakat, dan pribadinya dan mencintai kebenaran, keberanian, kejujuran,
ketabahan, dan ketangguhan yang sangat dibutuhkan dalam pembangunan.
Di satu pihak, melalui karya sastra,
masyarakat dapat menyadari masalah-masalah penting dalam diri mereka dan
menyadari bahwa merekalah yang bertanggung jawab terhadap perubahan mereka
sendiri (Lubis, 1997:34 dalam Nani Tuloli, 2002:234).
Sastra juga memberikan dampak yang
positif dalam pikiran dan perasaan manusia. Manusia bisa berfikir kritis,
kreatif, dan inovatif, memiliki wawasan yang luas ketika ia mendapatkan
nilai-nilai positif yang dituangkan oleh pengarang dalam karya sastranya. Dalam
era globalisasi ini, manusia dituntut untuk memiliki daya saing, kualitas, dan
kompetensi yang tinggi baik dalam moral maupun iptek agar mampu bersaing dan
memberikan pemikiran-pemikiran yang dapat bermanfaat.
Karya sastra dapat memberikan pesan
dan amanat kepada pembaca untuk hal-hal yang positif. pembaca diajak untuk
menjunjung tinggi norma-norma moral. Sastra mampu memberikan fungsi sebagai
penyadar manusia akan peran sertanya dalam kehidupan sosial.
Menurut Djojonegoro, satra dapat
dikatakan selalu merupakan bagian yang amat penting dari peradaban mana pun di
dunia. Selain menjaga peradaban dan nilai-nilai adat istiadat, sastra juga
dapat membentuk masyarakat.
Islam
menyebutkan bahwa misi utama diutusnya Rasulullah SAW di muka bumi ini adalah
untuk menjadikan manusia beradab. Sementara, Alquran sebagai kitab panduan
hidup umat muslim merupakan kitab suci yang mengandung kedahsyatan sastra
menakjubkan. Alquran diturunkan dengan bahasa yang mengandung nilai sastra
tinggi, yang membuat pujangga jahiliyah takjub terheran-heran.
Kandungan
sastranya menjadi legenda yang tidak bisa diungguli oleh sastrawan manapun hingga
saat ini. Dari sini saja, bisa dilihat begitu terang hubungan antara sastra dan
peradaban, terutama Islam. Ketiganya bermuara pada titik yang sama, yaitu
keindahan.
Pada zaman
Rasulullah ada kisah waktu itu Nabi SAW meminta Hasan ibn Tsabit, sahabat yang
terkenal piawai mengarang puisi, untuk membuat puisi-puisi sebagai balasan atas
orang-orang kafir yang menjelekkan orang Islam (Fethullah Gullen, 2011).
Sahabat Ali Ra,
salah satu khulafaurrasyidin, dikenal sebagai sahabat yang memiliki kepiawaiaan
meramu kata dalam tiap pidatonya yang memikat jiwa. Pidato-pidato yang kini
dapat kita nikmati bersama dalam buku sastra mengagumkan, Nahjul Balaghah.
Imam Syafi’i,
salah satu dari empat imam mazhab, penggagas ilmu ushul fikih, ternyata juga
adalah seorang sastrawan yang terkenal piawai merangkai kata. Beliau
meninggalkan banyak sekali petuah kehidupan yang tersusun dalam kalimat puitis
yang abadi hingga saat ini. Dr Muhammad Ibrahim Al Fayyumi, dalam bukunya
menjuluki Imam Syafi’i sebagai pelopor fikih dan sastra (Fayyumi, 2009).
Pada era dinasti
Ayyubiah, Perang Salib III menjadi saksi bisu lahirnya Al-Barjanji, kitab
sastra yang berisi Sirah Nabi. Waktu itu, di bawah komando Salahuddin
al-Ayyubi, kitab karya Syaikh Ja’far al Barzanji ini sanggup menggerakkan
pasukan muslim untuk membebaskan Baitul Maqdis.
Begitu pula di Ternate,
Sultan Babullah memakai syair perang yang menjadi obor penyemangat perjuangan
rakyat Maloku Kie Raha dalam mengusir Portugis. Sengaja saya kutip: Moro-moro se maku gise/ No kakoro siwange ma
buluke/ si wange ma sosiro/ Jo mapolo sara se kore mie/ Ino fo
moi-moi/Bismillah (“Jika panggilan jihad telah diumumkan, waiblah
diteruskan pada rakyat. Di matahari naik dan matahari masuk. Bersatulah dengan
rakyat di angin selatan dan rakyat di angi utara. Bangkitlah berperang dengan
niat Bismillah”).
Dari mereka,
kita belajar bahwa membangun peradaban tidak bisa tidak kecuali dengan menempuh
jalan keindahan, salah satunya jalan sastra. Jadi jika kita ingin mencari jalan
kembali kepada akar peradaban Maloku Kie Raha, maka kita harus kembali ke jalan
sastra.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar