Minggu, 31 Juli 2016

IRI HATI







“Dan ceritakanlah (Muhammad) yang sebenar-benarnya kepada mereka tentang kisah kedua putra nabi Adam, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka (kurban) salah seorang dari mereka berdua (Habil) diterima dan dari yang lain (Qabil)tidak diterima. Dia (Qabil) berkata, ‘Sesungguh, aku pasti membunuhmu!’ Dia(Habil) berkata ‘Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang yang bertaqwa.” (Al-Ma’idah : 27).
           
***

Sifat iri adalah kesedihan yang mendalam karena kelebihan yang dimiliki seseorang. Orang yang iri hati akan mengerahkan segala kemampuannya untuk mencelakakan orang lain. Karena tujuannya adalah melenyapkan kelebihan yang dimiliki orang tersebut. Irinya iblis kepada Nabi Adam. as merupakan dosa pertama kali yang diperbuat diatas langit.

Karena iri hati, Iblis laknatullah menghasut Adam As untuk makan buah kuldi agar memiliki kerajaan yang tidak pernah berakhir (hidup abadi) di surganya Allah. Al-Baqarah ayat 36: Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan". Adam. As dipercepat turun ke bumi karena memiliki keserakahan dalam hatinya akibat bujuk rayu iblis yang iri hati.

Karena sifat iri pula, terjadilah pertumpahan darah antara Qabil dan Habil, dan itu merupakan perbuatan dosa pertama kali yang dilakukan dimuka bumi. Iri hati yang dilakukan Qabil dan Habil yang merupakan anak nabi Adam As, yang satu mendapatkan nikmat dari Allah dengan diterima kurbannya sedangkan yang satu kurbannya tidak diterima Allah. Mereka saling membunuh karena rasa iri hati. Sebagaimana Surat Al-Maidah ayat 27: yang sengaja saya kutip di atas.  

Alquran menyindir seseorang yang memiliki penyakit hati dengan sebutan orang munafik. Di hati orang munafik itu ada penyakit. Allah tidak menghilangkan penyakit itu tetapi justru menambahnya (fii quluubihim maradhun fazaada humullahu maradhaa).

Orang yang dengki ini merasa susah jika melihat orang lain senang. Dan merasa senang jika orang lain susah. Tak jarang dia berusaha mencelakakan orang yang dia dengki baik dengan lisan, tulisan, atau pun perbuatan. Oleh karena itu Allah menyuruh kita berlindung dari kejahatan orang yang dengki: Nabi SAW bersabda, “Jauhilah oleh semua sifat dengki/iri hati itu, karena sesungguhnya sifat dengki/ iri itu bisa menghabiskan amal-amal kebaikan sebagaimana api menghabiskan kayu bakar ” (HR Abu Dawud)

Dalam Islam, iri hati merupakan salah satu penyakit hati yang dibenci dan dilarang Allah. Seperti halnya ayat yang terdapat di dalam Al-Qur'an berikut ini: "Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. An-Nisaa' ayat:32).

Iri hati adalah salah satu penyakit yang bersemayam di dalam hati tiap manusia. Untuk itu kita harus berupaya memperbaiki hati. Nabi Menyatakan: Kalau dia baik maka baik seluruhnya tapi kalau dia buruk maka buruk seluruhnya, itulah hati. Oleh karena itu ada satu penyakit yang akan menghancurkan seluruh dari amal kita yakni iri hati. Rasullullah bersabda: "Sungguh iri hati akan menghabiskan seluruh perbuatan kebaikanmu bagaikan api yang membakar kayu bakar".

Iri hati selalu mengarahkan kepada seseorang agar melakukan tindakan yang buruk, misalnya: merasa dirinya paling hebat, ingin memiliki harta orang lain dan bahkan mengajak untuk membunuhnya.

Rassullullah menceritakan kepada para sahabatnya tentang iri hati, Rasul menyatakan tiga manusia yang hidupnya akan celaka dunia dan akhirat yakni: iri hati, takabur, dan serakah. Maka dari itu hendaklah kita menjauhkan diri kita dari sifat iri hati, sombong dan rakus, karena ketiga sifat ini merupakan sumber dari segala macam kemaksiatan.

Patut kita renungkan bersama bahwa rasa iri sebenarnya tidak pernah ada untungnya sama sekali. Yang ada hanya derita di dalam hati. Orang yang iri hati sama saja tidak suka pada ketentuan atau takdir Allah. Untuk itu, ada beberapa cara yang dapat dipakai guna menghilangkan penyakit iri hati ini:  

Pertama, bersyukur atas segala nikmat Allah yang telah diterimanya. Kedua, sabar atas segala takdir yang telah ditentukan Allah. Ketiga, terus berkarya tanpa berpikir akan menjadi apa. Ketika seseorang terus berkarya, pasti salah satu karyanya akan menjadi sesuatu yang monumental. Manusia sekadar mencocokkan nasib dengan apa yang ditakdirkan Allah sejak zaman azali.

Ada baiknya kita renungkan kata-kata Ibnu Sirin: “Saya tidak pernah mendengki kepada seorangpun dalam urusan dunia, sebab jika dia penduduk Surga, maka bagaimana aku menghasudnya dalam urusan dunia sedangkan dia berjalan menuju Surga. Dan jika dia penduduk Neraka, bagaimana aku menghasud dalam urusan dunianya sementara dia sedang berjalan menuju ke Neraka.”

Sesungguhnya kebaikan atau keburukan yang akan menimpa seseorang, Allahlah yang menentukan. Kita mempunyai hak dan tanggungjawab untuk memilah dan memilih jalan hidup untuk kita sendiri.

Apapun hal yang menimpa diri seorang yang beriman adalah kebaikan, jika itu suatu musibah ia akan sabar, jika yang didapatkan anugerah ia akan bersyukur, keduanya akan mendapat kebaikan disisi Allah SWT. Baarokalloohu Lii Walakum.




Kamis, 28 Juli 2016

Jiwa Besar




Rasulullah Muhammad adalah orang yang memiliki kebesaran jiwa dan sangat teruji kesabarannya, karena itulah banyak orang-orang kafir yang memeluk Islam karena melihat kemuliaan akhlak beliau.

Dikisahkan, ada salah seorang tetangga beliau yang selalu menghina bahkan meludahi Rasulullah ketika beliau lewat di depan rumahnya. Perbuatan itu rutin ia lakukan setiap hari. Setiap Rasulullah melintas di depan rumahnya. 

Hingga pada suatu hari Rasul Muhammad merasa ada  yang aneh ketika melewati rumah tetangganya  itu. Beliau merasa aneh karena tidak mendapat “ hadiah ludah” seperti biasanya dari sang penghuni rumah. Esok harinya pun demikian, tidak ada perlakuan yang beliau terima seperti biasanya . Karena rindu dengan hadiah itu, Rasulullah mengunjungi sang penghuni rumah  dan menanyakan tentang kabarnya, ternyata Ia sedang sakit.

Melihat kedatangan Rasulullah, sang penghuni rumah pun terharu. Ia terharu karena selama dirinya sakit tidak ada seorangpun yang mengunjunginya. Malah Rasulullah yang selama ini ia hina dan ia sakiti hatinyalah orang yang pertama kali menjenguknya dan memberi perhatian yang tulus kepadanya. Hingga akhirnya ia bersyahadat di hadapan Rasulullah Muhmmad. 

Subhanallah. Betapa besar jiwa manusia agung yang menjadi suri tauladan kita itu, jika dibandingkan dengan kita yang mengaku umatnya ini. Rasul Muhammad dengan jiwa besar dan penuh kesabaran mampu menjadikan penghinaan itu sebagai hikmah. Sebagai penyambung tali silaturahim, ketika si kafir itu sakit dan tidak mampu lagi menghina beliau. 

Bandingkan dengan kita yang kerapkali keliru dan menjadikan kemarahan sebagai jalan keluar dan unjuk kekuatan. Apalagi misalnya ketika kita adalah seorang penguasa dan di saat bersamaan kebetulan kita menjadi korban, entah demonstrasi, kritik-kritik pedas atau tulisandan pemberitaan media massa. 

Langkah pertama yang biasa kita ambil adalah merancang alibi, menyusun strategi serangan balik dan membenci kelompok atau orang yang menurut persepsi kita telah melakukan penghinaan itu. Padahal tanpa kita sadari, salah paham ini meningkatkan siklus kekerasan dan kebencian. 

Kita sering tidak sadar bahwa kemarahan merupakan wajah lain dari ketakutan. Ketakutan bahwa kita direndahkan, ketakutan bahwa orang lain mengetahui keburukan dan kejelekan kita. Ketakutan bahwa orang lain bisa merusak kekuasaan kita bahkan bisa berkuasa atas diri kita. Padahal justru ketika kemarahan itu muncul, maka derajat kita sebagai manusia rendah itu makin jelas dan nyata. 

Karena itu, seburuk apa pun perlakuan seseorang atau sekelompok orang pada diri kita, maafkanlah. Karena memaafkan meski pada awalnya sulit, sebenarnya ia adalah jalan menuju ketentraman batin, jalan menuju kebesaran jiwa. 

Para suci sendiri pernah berkata, berilah maaf tujuh puluh kali tujuh kali” yang artinya ‘maafkanlah siapa pun juga sebanyak mungkin’. Kebencian dan prasangka sebaliknya menimbulkan kekerasan dan rasa sakit, tak hanya secara fisik tapi juga secara batin. Dan hanya cintalah yang dapat menyembuhkannya.

Memaafkan, bukan berarti melupakan. Memaafkan berarti mengerti. Kita tak dapat membuka hati kita kepada orang lain kecuali hati kita terbuka terhadap diri kita sendiri. Peribahasa dalam A Course in miracle mengungkap dengan jelas bahwa “tanah yang paling suci adalah tanah di mana kebencian lama telah menjadi kasih sayang sekarang”.

Memang bagi kebanyakan orang, memberi apalagi meminta maaf bukanlah perkara mudah. Karena memberi dan meminta maaf membutuhkan jiwa besar. Memaafkan merupakan hal yang paling sulit dilakukan karena berkaitan dengan sesuatu yang membara atau menyakitkan dalam diri kita. Banyak orang beranggapan bahwa memberi maaf kepada orang yang bersalah atau menyakiti hanya akan merendahkan harga diri.

Tapi yakinlah bahwa memberi dan meminta maaf sesungguhnya tidak berkaitan dengan salah atau benar. Tidak juga berhubungan dengan ada tidaknya permintaan maaf dari pihak yang bersalah. Sekalipun kita berada di pihak yang benar, tidak ada salahnya bila kita meminta maaf dan memaafkan, karena di situlah letak keunggulan, kebesaran jiwa dan harga diri seseorang yang sesungguhnya. Memberi maaf terlebih dulu atau meminta maaf terlebih dulu itu lebih utama dan lebih menunjukkan kualitas diri kita sebagai manusia. 

Percayalah bahwa memberi dan meminta maaf itu lebih berkaitan dengan keikhlasan jiwa dan kebesaran hati seseorang. Memberi atau meminta maaf mencerminkan kelapangan hati. Ketika permintaan dan pemberian maaf itu muncul, keagungan kita sebagai manusia menjadi tampak dan bercahaya. Dan tentu saja dengan maaf, sakit hati itu hilang. Beban di dada lenyap. Karena kata maaf mampu menyembuhkan luka batin yang selama ini menggumpal dan meracuni hati dan pikiran kita.  

Bagi seorang pemimpin, kata maaf mampu menumbuhkan keindahan hati, menuntun keseimbangan jasmani dan rohani,  menyelaraskan perjalanan hidup dengan system nilai Ilahiah dan manusiawi, sehingga terciptalah keharmonisan dalam hubungan sosial masyarakatnya.

Bagi seorang pemimpin, memaafkan itu mencerminkan keindahan hati dalam wujud keikhlasan pengabdian pada rakyatnya. Kata maaflah jalan bagi kebesaran jiwa dan kelapangan hatinya. Jadi maafkanlah bila ada rakyat yang bersalah (demonstrasi, kritik-kritik pedas atau tulisan dan pemberitaan media massa), sebagaimana Rasul Muhammad memaafkan tetangganya bahkan memberinya syafaat. Dengan demikian hidup ini akan menjadi indah. Insya Allah(*)