Selasa, 14 Juni 2016

Ternate Ridoka Susira Uwa



Siapakah kita dahulu, siapakah kita sekarang dan siapakah kita di masa depan? Setiap manusia, kapan dan di mana pun, yang menghayati hidup secara sungguh-sungguh akan mendapatkan dirinya berhadapan muka dengan masalah-masalah tersebut. 


Dengan membaca sejarah secara tenang dan arif tanpa dibebani prasangka dan kepentingan, pada akhirnya akan mengantarkan kita terbangun, semacam rasa kagetnya Archimedes karena penemuannya, lantas meloncat, berlari, dan berteriak: eureka! Aku telah menemukannya!

Penyair dan politikus Romawi Cicero (Marcus Tullius) yang hidup pada 106-43 Sebelum Masehi berseru “Historia vitae magistra”, sejarah adalah guru kehidupan. Kemudian kaum Yunani berkata “Historia panta rei”, sejarah selalu mengalir selalu berulang.

Bahkan Al-Qur’an menyatakan dengan jelas dan tegas: wa la taqulu li maiyuqtalu fi sabilillah amwat bal ahya, dan janganlah kamu katakan bahwa yang lalu itu mati melainkan tetap hidup (Al Baqarah:154), juga wal tandhur nafsun ma qaddamat lighad, hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (Al Hasyir:18).

*

Jika kita telusuri dari berbagai literatur sejarah, dapat diketahui bahwa Ternate mulai ramai di awal abad ke-13. Penduduk Ternate awal merupakan warga eksodus dari Halmahera. Awalnya di Ternate terdapat empat (4) kampung yang masing - masing dikepalai oleh seorang "Momole" (kepala marga), merekalah yang pertama – tama mengadakan hubungan dengan para pedagang yang datang dari segala penjuru mencari rempah – rempah. Penduduk Ternate semakin heterogen dengan bermukimnya pedagang Arab, Jawa, Melayu dan Tionghoa. Oleh karena aktivitas perdagangan yang semakin ramai ditambah ancaman yang sering datang dari para perompak maka atas prakarsa "Momole Guna" pemimpin "Tobona" diadakan musyawarah untuk membentuk suatu organisasi yang lebih kuat dan mengangkat seorang pemimpin tunggal sebagai raja.

Tahun 1257, Momole Ciko pemimpin Sampalu terpilih dan diangkat sebagai Kolano (raja) pertama dengan gelar Baab Mashur Malamo (1257-1272). Kerajaan Gapi berpusat di kampung Ternate, yang dalam perkembangan selanjutnya semakin besar dan ramai sehingga oleh penduduk disebut juga sebagai “Gam Lamo” atau kampung besar (belakangan orang menyebut Gam Lamo dengan Gamalama). Semakin besar dan populernya Kota Ternate, sehingga kemudian orang lebih suka mengatakan kerajaan Ternate daripada kerajaan Gapi. Di bawah pimpinan beberapa generasi penguasa berikutnya, Ternate berkembang dari sebuah kerajaan yang hanya berwilayahkan sebuah pulau kecil menjadi kerajaan yang berpengaruh dan terbesar di bagian timur Indonesia khususnya Maluku.

Sejarawan Adnan Amal menyebut, nama Maluku sebenarnya diperuntukkan khusus oleh bangsa eropa ketika pertama kali menemukan daerah kaya ini awal abad 15. Orang Portugis bilang ‘ilhas de maluco que tem cravo’ atau kepulauan Maluku penghasil rempah rempah.  Jauh sebelumnya, sekitar abad ke 10, para saudagar arab yang berdagang menyebut kawasan ini dengan "jazirah tul muluk, negeri para sultan". Dan Ternate adalah pusat pemerintahan dan aktifitas sosial ekonomi yang mapan dalam sebuah struktur negara modern yang demokratis dan terbuka. Dalam catatan F.S.A de ciercq, de bijdragen tot de kennis der residentie Ternate (Leiden, 1890) disebut bahwa sejak abad ke-7 di Ternate telah ada pemukiman jawa, melayu, arab, cina dll.

Waktu berjalan, abad pun berganti demikian juga peran Ternate. Setelah berjaya sebagai salah satu kesultanan paling berpengaruh di kawasan timur nusantara, Ternate lantas turun kasta  bahkan hingga hanya menjadi kecamatan kota praja pada awal Republik Indonesia berdiri. Dan baru pada era reformasi pemerintahan dan hukum di Indonesia, status Ternate ditingkatkan menjadi kota otonom.   

**
Historia magistra vitae, sejarah adalah guru kehidupan, karena sejarah adalah hakim yang adil dan membuat manusia menjadi lebih arif. Untuk itu hanya manusia yang ariflah yang mau menghargai dan mempelajari sejarah. Karena sejarah sendiri adalah sumur dari sumber mata air kearifan. Tanpa sejarah manusia dengan sendirinya akan kehilangan kearifannya karena akan mengalami dis-eksistensi diri.

Begitu pula jika berbicara tentang Ternate. Jika dulu dikenal sebagai salah satu emas dari tiga emas dari timur (the three golden from the east), maka kini Ternate tak lebih hanyalah sebuah noktah di ujung timur nusantara  yang tak lagi kelihatan dalam peta Indonesia apalagi peta dunia.

Ternate kontemporer memiliki potret diri yang tak lagi emas. Banyak orang Ternate termasuk generasi mudanya telah mengalami keterputusan yang panjang (major – discontinuity) dalam lingkup historis maupun kultural. Diantaranya ada yang terperangkap konflik tradisional secara struktural, sehingga soal kultural bergeser menjadi soal periferal semata.

Tendensi politik (struktur) yang terlalu kental karena politik masih menjadi panglima di republik ini. Ataukah sisa – sisa konflik masa lalu peninggalan imperialisme abad pertengahan masih melekat kuat sebagai warisan yang tidak kita sadari telah memperburuk potret diri karena ketidaksadaran kita akan fungsi sejarah sebagai sumber kearifan lokal.

Meski demikian,  jika kita percaya pada John Naisbitt yang  mengatakan  bahwa salah satu trend abad 21 adalah akan bangkitnya era seni serta orientasi dunia yang bergeser ke Pasifik, maka fenomena kultural ini dapat kita manfaatkan dengan tambahan substansi tentu saja untuk membangunkan Ternate dari tidur panjangnya.

Ternate yang termasuk kawasan ring of pacific secara fisik akan bersentuhan secara geografis pertama kali dengan kawasan Pasifik yang menjadi kancah pergelutan dan aktivitas global abad 21. Hal mana menuntut kita untuk berpikir ekstra lebih keras. Karena dalam era pacifik baru ini sektarian adalah sikap yang ketinggalan jaman. Era pasifik baru menuntut kita agar berwawasan intergratif sebagai conditio sine quo non. Jadi bila dimensi-dimensi ini kita abaikan, maka Ternate hanya akan menjadi back yard of the country (halaman belakang negeri nusantara).

Oleh karena itu, kita harus berani membongkar sejarah, menelusuri jejak masa lalu, menafsirkannya secara baru dan cerdas, menemukan keinsafan/kebenaran baru dan mencipta sejarah Ternate masa kini dan masa depan yang lebih emas.

Kita harus mengambil sikap bagai Jose Arcadia Buendia, tokoh dalam novel Seratus Tahun Kesunyian karya Gabriel Garcia Marquez, yang memandang masa lalu dan masa kini sebagai kenyataan yang tak terberi begitu saja dan membongkar habis fase-fase sejarah untuk menemukan kembali diri sendiri yang sesungguhnya, yang sejati.

***

Live is to interpret, hidup adalah menafsir, kata filsuf Heidegger. Maka mari kita memberi tafsir baru pada sejarah yang layak dipertahankan dan dikembangkan pada hari ini menuju masa depan kebudayaan Ternate dengan meletakkan ke-Islaman sebagai esensi, sehingga masa lalu dan masa kini tidak berbenturan dan akan menjadi masalah di masa depan.-

*Diolah dari berbagai sumber



Tidak ada komentar:

Posting Komentar