Siapakah kita dahulu, siapakah kita sekarang dan siapakah kita di masa
depan? Setiap manusia, kapan dan di mana pun, yang menghayati hidup secara
sungguh-sungguh akan mendapatkan dirinya berhadapan muka dengan masalah-masalah
tersebut.
Dengan membaca sejarah secara tenang dan arif tanpa dibebani
prasangka dan kepentingan, pada akhirnya akan mengantarkan kita terbangun,
semacam rasa kagetnya Archimedes karena penemuannya, lantas meloncat, berlari,
dan berteriak: eureka! Aku telah menemukannya!
Penyair dan politikus Romawi Cicero (Marcus Tullius) yang hidup pada 106-43
Sebelum Masehi berseru “Historia vitae
magistra”, sejarah adalah guru kehidupan. Kemudian kaum Yunani berkata “Historia panta rei”, sejarah selalu mengalir
selalu berulang.
Bahkan Al-Qur’an menyatakan dengan jelas dan tegas: wa la taqulu li
maiyuqtalu fi sabilillah amwat bal ahya, dan janganlah kamu katakan bahwa yang
lalu itu mati melainkan tetap hidup (Al Baqarah:154), juga wal tandhur nafsun
ma qaddamat lighad, hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (Al Hasyir:18).
*
Jika kita telusuri dari berbagai
literatur sejarah, dapat diketahui bahwa Ternate mulai ramai di awal abad
ke-13. Penduduk Ternate awal merupakan warga eksodus dari Halmahera. Awalnya di
Ternate terdapat empat (4) kampung yang masing - masing dikepalai oleh seorang "Momole" (kepala marga), merekalah yang
pertama – tama mengadakan hubungan dengan para pedagang yang datang dari segala
penjuru mencari rempah – rempah. Penduduk Ternate semakin heterogen dengan
bermukimnya pedagang Arab, Jawa, Melayu dan Tionghoa. Oleh karena aktivitas
perdagangan yang semakin ramai ditambah ancaman yang sering datang dari para
perompak maka atas prakarsa "Momole Guna" pemimpin "Tobona" diadakan musyawarah
untuk membentuk suatu organisasi yang lebih kuat dan mengangkat seorang
pemimpin tunggal sebagai raja.
Tahun 1257, Momole Ciko pemimpin Sampalu
terpilih dan diangkat sebagai Kolano
(raja) pertama dengan gelar Baab Mashur
Malamo (1257-1272). Kerajaan Gapi berpusat di kampung Ternate, yang
dalam perkembangan selanjutnya semakin besar dan ramai sehingga oleh penduduk
disebut juga sebagai “Gam Lamo” atau kampung besar (belakangan orang menyebut
Gam Lamo dengan Gamalama). Semakin besar dan populernya Kota Ternate, sehingga kemudian orang lebih suka
mengatakan kerajaan Ternate daripada kerajaan Gapi. Di bawah pimpinan beberapa
generasi penguasa berikutnya, Ternate berkembang dari sebuah kerajaan yang
hanya berwilayahkan sebuah pulau kecil menjadi kerajaan yang berpengaruh dan
terbesar di bagian timur Indonesia khususnya Maluku.
Sejarawan Adnan Amal menyebut, nama
Maluku sebenarnya diperuntukkan khusus oleh bangsa eropa ketika pertama kali
menemukan daerah kaya ini awal abad 15. Orang Portugis bilang ‘ilhas de maluco que tem cravo’ atau
kepulauan Maluku penghasil rempah rempah. Jauh sebelumnya, sekitar abad
ke 10, para saudagar arab yang berdagang menyebut kawasan ini dengan "jazirah
tul muluk, negeri para sultan". Dan Ternate adalah pusat pemerintahan dan
aktifitas sosial ekonomi yang mapan dalam sebuah struktur negara modern yang
demokratis dan terbuka. Dalam catatan F.S.A de ciercq, de bijdragen tot de
kennis der residentie Ternate (Leiden, 1890) disebut bahwa sejak abad ke-7 di
Ternate telah ada pemukiman jawa, melayu, arab, cina dll.
Waktu berjalan, abad pun berganti
demikian juga peran Ternate. Setelah berjaya sebagai salah satu kesultanan
paling berpengaruh di kawasan timur nusantara, Ternate lantas turun kasta
bahkan hingga hanya menjadi kecamatan kota praja pada awal Republik Indonesia
berdiri. Dan baru pada era reformasi pemerintahan dan
hukum di Indonesia, status Ternate ditingkatkan menjadi kota
otonom.
**
Historia magistra vitae, sejarah
adalah guru kehidupan, karena sejarah adalah hakim yang adil dan membuat
manusia menjadi lebih arif. Untuk itu hanya manusia yang ariflah yang mau
menghargai dan mempelajari sejarah. Karena sejarah sendiri adalah sumur dari
sumber mata air kearifan. Tanpa sejarah manusia dengan sendirinya akan
kehilangan kearifannya karena akan mengalami dis-eksistensi diri.
Begitu pula jika berbicara tentang Ternate. Jika dulu
dikenal sebagai salah satu emas dari tiga emas dari timur (the three golden from the east),
maka kini Ternate tak lebih hanyalah sebuah noktah di ujung timur
nusantara yang tak lagi kelihatan dalam
peta Indonesia apalagi peta dunia.
Ternate kontemporer memiliki potret
diri yang tak lagi
emas. Banyak orang Ternate
termasuk generasi mudanya telah mengalami keterputusan yang panjang (major –
discontinuity) dalam lingkup historis maupun kultural. Diantaranya ada yang
terperangkap konflik tradisional secara struktural, sehingga soal kultural
bergeser menjadi soal periferal semata.
Tendensi politik (struktur) yang
terlalu kental karena politik masih menjadi panglima di republik ini. Ataukah
sisa – sisa konflik masa lalu peninggalan imperialisme abad pertengahan masih
melekat kuat sebagai warisan yang tidak kita sadari telah memperburuk potret
diri karena ketidaksadaran kita akan fungsi sejarah sebagai sumber kearifan
lokal.
Meski demikian, jika kita percaya pada John Naisbitt yang mengatakan
bahwa salah satu trend abad 21 adalah akan bangkitnya era seni serta orientasi
dunia yang bergeser ke Pasifik, maka fenomena kultural ini dapat kita
manfaatkan dengan tambahan substansi tentu saja untuk membangunkan Ternate dari
tidur panjangnya.
Ternate yang termasuk kawasan ring of
pacific secara fisik akan bersentuhan secara geografis pertama kali dengan
kawasan Pasifik yang menjadi kancah pergelutan dan aktivitas global abad 21.
Hal mana menuntut kita untuk berpikir ekstra lebih keras. Karena dalam era pacifik baru ini sektarian adalah sikap yang ketinggalan
jaman. Era pasifik baru menuntut kita
agar berwawasan intergratif sebagai conditio sine quo non. Jadi bila dimensi-dimensi ini kita
abaikan, maka Ternate hanya akan menjadi back yard of the country (halaman
belakang negeri nusantara).
Oleh karena itu, kita harus berani membongkar sejarah, menelusuri jejak
masa lalu, menafsirkannya secara baru dan cerdas, menemukan keinsafan/kebenaran
baru dan mencipta sejarah Ternate masa kini dan masa depan yang lebih emas.
Kita harus mengambil sikap bagai Jose Arcadia Buendia, tokoh dalam novel
Seratus Tahun Kesunyian karya Gabriel Garcia Marquez, yang memandang masa lalu
dan masa kini sebagai kenyataan yang tak terberi begitu saja dan membongkar
habis fase-fase sejarah untuk menemukan kembali diri sendiri yang sesungguhnya,
yang sejati.
***
Live is to interpret, hidup adalah menafsir, kata filsuf Heidegger. Maka
mari kita memberi tafsir baru pada sejarah yang layak dipertahankan dan
dikembangkan pada hari ini menuju masa depan kebudayaan Ternate dengan meletakkan
ke-Islaman sebagai esensi, sehingga masa lalu dan masa kini tidak berbenturan
dan akan menjadi masalah di masa depan.-
*Diolah dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar