Rabu, 01 Juni 2016

Tak Banyak Puisi di Bulan Juni

 







Ternyata sepanjang kepenyairan saya hanya ada segini Puisi yang saya tulis di bulan Juni.
Puisi-Puisi ini saya rangkum dari Enam Antologi Puisi dan Satu Manuskript yang sementara proses cetak, dalam kurun waktu 2001 - 2016. (bukunya seperti di banner)



1. Sajak Kelelawar

Ketika malam meluruhkan selendang
Akulah kelelawar menuju lautan
Menggarami nasib yang lama digerus mentari
Membasuh luka juga dahaga
Mencari ayat-ayat yang terkurung seperti mutiara

Lautan-Mu rerimbun kuasa yang mencatat ombak
Hempasan gelombang dan luruh badai
Dari mana perahu Nuh melajukan nasib
Dari mana Musa membelahnya dengan tongkat

Akulah perahu
Akulah buih
Kemanapun Kau lemparkan nasib
Kepada-Mu
Aku pasti kembali
  
                        Banda Aceh, 4 Juni 2007                   


2. Menanam Bara

Detak sepatumu kini tiada
Hanya kuntum bunga di atas meja
Tanpa aroma apalagi rasa
Baru kucuri dari pagar istana

Angin mati aura
Kau membalut luka
Menanam bara di lautan air mata

                                    Banda Aceh, 12 Juni 2007


3. Menuju Firdaus

Siapa mencari debu tak dapat emas
Siapa mencari syariat tak sampai makhrifat
Menuju kesana bekal kita hanya airmata
Maka berlayarlah di lautan-KU
Mata air menuju firdaus
Tempat dimana sungai-sungai mengalir madu
 
                        Banda Aceh, 14 Juni 2007


5. Kesepian Adalah Jalan Menuju

Menggigil aku menulis puisi
Kuasa-MU melingkar memanggil pulang

Kesepian adalah jalan menuju
Menapak tangga aroma-Mu pelangi
Berkapal sunyi lautan-Mu asin lentera

Menggigil aku menulis puisi
Di bawah kursi-Mu segala yang ada pasti kembali

                                    Banda Aceh, 15 Juni 2007
                                                         02.0 dini hari
 

6. Lelaki Penunggang Angin

Aku lelaki menunggang angin
Jangan tunggu di tikungan jalan
Kata-kata hanya suara
Para nelayan menabur jala

Ikan-ikan menunggu ajal
Kau menari diantara karang
Jika puisi membuat merana
Maafkan aku tak sempat membaca

            Banda Aceh, 19 Juni 2007


7. Sajak Lautan Sajadah

Lautan adalah hamparan sajadah menapaki makhrifat-MU
Di wajah kesadaran yang Kau titipkan lewat rinai hujan
Air mata meninggikan derajat beberapa doa

Malam adalah jerat antara surga dan neraka
Diantara huruf Kaf dan Nun yang menjelma gedung-gedung
Kebebalan serupa batu cadas yang luruh di tetesan wudhu

Pada penghabisan kesekian dari sujud di Kursimu
Alif Lam Mim bersekutu sebagai janji
Sebagai Adam yang mentahmidkan cahaya

Lautan adalah hamparan huruf-huruf mengeja ayat-MU
Seperti tangis yang menunggu di pintu rahim
Usai berikrar meniti nasib

                                    Banda Aceh, 20 Juni 2007


8. Dua Lelaki Pemabuk dan Sarang Lebah Madu

Hudan dan Saut saling bersahut, maut
Lelaki ikan dan dia yang bicara dengan Tuhan
Saling memberi dan berbagi kemabukan
Sebagai teks sebagai tubuh maupun busa, bir atau laut

Tapi dimanakah jantung lebah ratu itu
Benarkah dia menyimpan madu?

Bagi pelaut kemabukan adalah sahabat
Ketika ombak menghantam maupun perahu merapat
Entah di dermaga mana, adakah mereka mencari madu? barangkali
Bagi para pelaut kemabukan adalah bahagia dalam sejarah kehidupan
Lalu untuk apa mengunci diri apalagi di hadapan pembaca
Barangkali cuma sang lebah ratu yang tahu
Kenapa dia mengunci diri di tengah sarang-sarang madu

Mari tuan angkat gelasmu lagi, biar laut menggenangi seluruh kata
Agar kita termabuk-mabuk bicara dengan Tuhan

                                     Banda Aceh, 10 Juni 2008



9. Ternate Malam Hari dan Lelaki yang Sendiri

Ada bulan di bingkai jendela
Tersipu malu memandang bumi

Sayup suara gala dan dentang tifa
Meniupkan lagu masa dahulu

Nanar hatiku mendekap rindu
Pada kekasih di ujung waktu

Ternate yang sunyi di malam hari
Menikam lelaki dalam sendiri, ah nyeri

            Ternate, 6 Juni 2009
             *Gala=alat musik tiup seperti seruling

 
10. Semakin Gagu Menghidu Asin

Kepada malamlah salam kegelapan hendak dikirimkan
Sebagai tanda akan berpisah tanpa pelukan dan tanda mata
Lelaki yang lama meninggalkan pantai semakin gagu menghidu asin
Lalu alamat menjadi kelabu lantaran bahu terus merapuh

Kepada malamlah bintang-bintang melumatkan takdir
Tentang rindu yang lama tersingkir
Lalu awan menggunting cahaya ke dalam gelap bayangan malam
Tanpa matahati tiada harapan mengakrabkan jemari

Berlayar sendiri sama saja mengaramkan mimpi
Laju perahu tak lagi berarti entah kemana dan tak kembali

                        Ternate, 5 Juni 2009


12. Karena Pintu Kau Buka Dua

Mestinya hujan sore ini mampu membilas segala luka
Tetapi ngilu terus menusuk membawa bisa di ekor pari
Lebamnya wajah Ternate adalah lebam di dada lelaki
Airmata terus menjala hingga membanjir ke jalanan kota

Sesat  yang kau hela dengan khianat  antara kita
Begitu terbaca di gerak suara, dusta kau tuang ke dalam piala
Lalu mengabur segala asa juga akad yang lama kujaga

Letihku merawat rindu adalah liur duniawi pada mulutmu
Melelehkan dendam birahimu hingga detik berpisah waktu
Dalam kemabukan mencari dunia, menari-nari di antara gulita
Tetes-tetes dosa tak mampu kuseka karena pintu kau buka dua

                        Ternate, 17 Juni 2009


13. Vina Dad Mon Para Moya*

Kubaca jejak kakimu di bebatuan kota Ternate
Senyuman yang dulu kau sematkan di tepi Danau Tolire
Masih tersimpan di reribun daunan pala
Lalu angin pantai Sulamadaha memapah kita
Pada harum dekapan mata, masihkah ada rasa?

Malam ini ingin kuraba wajahmu pada pasi bulan Juni
Tapi jejak yang kau tinggal telah menghitam di Batu Angus
Sebagai prasasti dan tanda kenang menjadi kelam

Rindu yang  tersia telah melahar di dada Gamalama
Segera setelah ini hanya asin laut yang menjadikannya mati
Selamat jalan kekasih hati, vina dad mon para moya

                        Ternate, 18  Juni 2009
                         * Bahasa Daerah Sula Kepulauan
                         * vina dad mon para moya= Perempuan bukan engkau saja

 
14. Pada Suatu Jum’at

Di batas sebuah takbir
Dari sujud paling akhir
Desahku begitu fakir

            Ternate, 19 Juni 2009


15. Malam di Teras Masjid

Sebaris doa
Linang air mata
Aku menghampa
Memujamu sepenuh nyawa

            Ternate, 26 Juni 2009


16. Tiada Alamat Pulang

Aku mencarimu diantara debu dan deru kendaraan kota
Kucari dirimu di taman-taman sepi di pantai-pantai berpasir
Di malam-malam panjang dan siang yang membakar
Senja tak jua mempertemukan kita seperti dahulu di tanah Fansuri
Juga di kota yang terakhir kau singgahi. Aku disini

Malam kelam, gerhana terpanjang
Terlampau lama kamu menyimpan dendam

Andai amarah tak terlanjur menyala, bahtera ini tak mungkin karam

Aku mencarimu di laut-laut sepi, di pantai-pantai sunyi
Ikan dan udang tak menghampiri. burung-burung memilih pergi
Bahkan disini, di kota yang lama kutinggal pergi

Malam kelam, gerhana terpanjang
Harapanku hilang, tiada alamat kembali pulang
 
                        Makassar, 15 Juni 2011



17. Di Tubuhmu Rindu

angin malam suaraku Daud
lagukan padanya nyanyian rindu
supaya merenung supaya melamun

air mengalir Adam tubuhku
diam menghadap Yusuf wajahku
datanglah cepat dekaplah lekas  

harimau birahi datang melamun
dialah aku ya latif,  akulah dia ya latif
ular berbisa datang menyimak
dialah aku ya latif,  dia dan aku ya latif

alayka mahabbatan minnii walitushna’a

hanya padaku: o… hanya padaku
kasih sayang datang  melimpah
serupa Adam kepada Hawa
serupa Yusuf kepada Zulaikha
suaraku Daud di tubuhmu rindu
            
            Ternate, 26 Juni 2011


18. Kepada Perempuan yang Menyimpan Api

bila masih kau simpan namaku, naiklah ke atas perahu
ini waktunya bila ingin pulang ke laut
rumah dimana batubatu bersemayamkan rindu
biar nyala api dari percikan hutan di musim kering itu
tak sampai hangus membakar dirimu

bila masih kau simpan namaku  di belukar rindu
datanglah berserta sedumu, sebab laut adalah rumahku
tempat mengubur segala pilu, alamat pulang segala yang tabu
dan bila masih ada sedikit waktu
ijinkan kupetik mimpi tentangmu sebelum maut
bila nanti kayuhku terlanjut berhenti
            
                        Ternate, 12  Juni 2013


19. Karma

bulan separuh di perutmu
ketika malam datang menghantam
kini menjelma helai mayang
bertunas separuh jalang
jadikan kenangan serupa duri pandan
menyekat bagai paku

kubunuh kau bila rindu ini tak mengakar padamu
umpatmu dengan nafas setajam peluru

berangkatlah selagi nafas masih mungkin
ucapmu ketika itu di ujung senja paling abu
lalu aku berbegas melepas bahu
sembilan arah angin segera aku gagahi
tetapi sepi meremas mimpi-mimpi

kau tahu anakmu telah melaju
bersisian perahu, amarahnya menderu
luka betina yang kutinggalkan separuh purnama
di perutmu, kini terlanjur api. 

aku tahu engkau mengirimnya untuk menguburku
seperti janjimu ketika itu di ujung senja paling abu
 
            Ternate, 16 Juni 2013




Tidak ada komentar:

Posting Komentar