Kepenyairan Indonesia saat ini menampakkan perkembangan
yang cukup menarik untuk dicermati. Ratusan bahkan ribuan nama baru terus
bermunculan, seolah semua orang berlomba memproduksi teks puisi agar mendapat
gelar sebagai penyair.
Ribuan teks terus ditulis dan disebar ke berbagai rubrik
sastra di media massa, jurnal dan majalah khusus sastra, serta buku-buku
antologi puisi bersama maupun sendiri-sendiri. Tidak ketinggalan di berbagai
media on-line, baik berupa milis, situs sastra atau situs pribadi. Penyair
seolah menjadi identitas, strata atau gelar yang prestisius untuk disandang.
Di pertengahan Tahun 2002, Binhard Nurrohmat pernah
menulis ”Bila di sensus, penembus rekor tertinggi jumlah penulis sastra kita
selama ini adalah penyair. Makhluk ini sangat populer, "sakral",
sarat legenda serta mitos dalam dunia penulisan sastra kita selama ini, dibandingkan
makhluk lain bernama novelis maupun kritikus. Dua penulis sastra yang terakhir
ini jumlahnya minim, bisa dikata hanya sehitungan jari tangan kita. Penyair
juga dianggap representasi paling umum kesusastraan kita serta juru bicara
kebudayaan kita”.
Fenomena kepenyairan kita saat ini, memang seperti jamur
tumbuh dimusim hujan. Setidaknya dari segi jumlah personal dan produksi teks
puisi. Dari berbagai milis dan situs sasta yang Saya ikuti maupun Saya asuh,
sedikitnya sepuluh sampai dua puluh buah puisi ditulis dalam sehari.
Situs-situs seperti kemudian.com, fordisastra.com maupun milis seperti
aprasiasi sastra, milis penyair dan bunga matahari juga selalu kebanjiran
puisi.
Jika dikaji secara estetik maupun tematik, puisi-puisi
yang berhamburan dengan nama penyair yang beratus-ratus itu, pada umumnya tidak
memiliki 'pencapaian baru' yang mengejutkan dan mampu menghentak perhatian.
Teks-teks puisi yang bertebar itu hanya memiliki kualitas estetik yang
rata-rata, atau hanya sekadar memenuhi standar layak muat di media massa saja.
Bahkan banyak yang hanya berupa gumaman dan curhat yang biasa kita temui
pada buku diary para remaja yang tengah jatuh cinta atau patah hati.
Sebagai penggiat puisi, saya merasa bahagia sekaligus
miris melihat beratus-ratus bahkan beribu-ribu orang berusaha menjadi penyair,
menyamai atau mengalahkan nama-nama yang terlanjur menjadi „berhala”
di dunia kesusasteraan nasional. Hal ini karena beberapa diantara mereka muncul
dengan kepongahan dan kesombongan tak terkira, hanya karena memiliki modal atau
paras yang lumayan dengan tubuh harum mewangi. Padahal karya yang dihasilkan
biasa-biasa saja, alias belum layak disebut puisi.
Di sisi lain, munculnya puisi-puisi (naratif) yang
panjang, seperti banyak dimuat Harian Kompas maupun puisi-puisi pendek seperti
dimuat Media Indonesia, Koran Tempo, Suara Pembaruan, dan Koran Sindo atau
puisi-puisi bergenre agama di Republika, seolah-olah merupakan mainstream puisi
mutakhir Indonesia (Gejala ini juga menguat pada beberapa komunitas sastra
terutama di Jakarta). Sehingga seseorang merasa sudah berhasil bila
puisinya dimuat satu media atau telah mendapat legitimasi dari
komunitas-komunitas tersebut dan merasa gagal bila tak ada satu media pun yang
memuatnya atau ditolak oleh komunitas-keomunitas tersebut.
Sadar atau tidak, koran dan kemunitas tertentu secara
luas dan kuat telah 'melemaskan' gairah idealisme kerja kreatif yang difference
atau alternatif. Dalam waktu lama, tentunya hal ini akan berimbas pada peta
perjalanan sejarah perpuisian tanah air.
Secara pribadi, saya seperti menangkap sebuah gambaran
yang menunjukkan bahwa puisi sengaja dijadikan jalan pintas yang pragmatis dan
efektif ke dalam ruang eksistensi, baik secara politik, sosial, ekonomi maupun
ketokohan/keartisan.
Kenapa orang seperti berlomba menulis puisi agar
menyandang gelar ”Penyair”?
Pendapat Binhard mungkin bisa kita jadikan alasannya.
Menurut ”Si Kuda Ranjang”, ada semacam pars prototo dalam
dunia kepenyairan kita saat ini. Prestasi kepenyairan yang diraih oleh hanya
minoritas penyair, seakan telah membuat mayoritas penyair juga terangkat
citranya, tersanjung. Kemudian dari sikap gede rasa ini muncul nuansa semangat
massa yang luar biasa besarnya, kadang dihiasi histeria dan terciptalah semacam
"massa penyair" --istilah yang menurut Binhard di Tahun 2002, semoga
hanya ia pakai sementara saja.
Namun setelah beberapa tahun berlalu, fenomena ini bahkan
terus berkembang. Ribuan orang yang ingin menggapai gelar sebagai penyair
berdesak-desakan dan terus aktif bekerja memproduksi teks puisi yang
berlimpah-ruah jumlahnya.
Lalu makhluk macam apa sih penyair itu? “Penyair itu, kata Saini KM, adalah ia yang berumah di sebuah kuil di tengah hutan. Ia juga kayu dalam pembakaran,. Ia pergi pada inti kehidupan”. Penyair adalah seseorang yang menulis/mengarang karya puisi. Karya ini biasanya dipengaruhi oleh tradisi budaya dan intelektual, dan ditulis dalam suatu bahasa tertentu.
Lalu makhluk macam apa sih penyair itu? “Penyair itu, kata Saini KM, adalah ia yang berumah di sebuah kuil di tengah hutan. Ia juga kayu dalam pembakaran,. Ia pergi pada inti kehidupan”. Penyair adalah seseorang yang menulis/mengarang karya puisi. Karya ini biasanya dipengaruhi oleh tradisi budaya dan intelektual, dan ditulis dalam suatu bahasa tertentu.
Sutardji Calsum Bachri bahkan merasa perlu mengutip ayat
Al-Quran untuk menjelaskan betapa mulianya kedudukan Penyair. Pernyataan sang
presiden sengaja saya kutip berikut ini : Adalah menakjubkan Aquran, dalam
QS As-Syuaara secara tepat mendefinisikan profesi penyair, "Mereka
mengembara di tiap-tiap lembah dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang
mereka sendiri tidak mengerjakannya."
Penyair yang serius menurut Sutardji, selalu mengembarakan
perasaannya, feeling dzaug-nya, pada lembah-lembah dasar dari duka suka
kemanusiaan dan selalu konsentrasi pada penciptaan karya puisi dan bukan pada
realisasinya atau pada upaya mengerjakan mimpinya itu -- puisinya -- agar
menjadi kenyataan.
Menurut Wayan Sunarta, ketika penyair menyusun kata-kata
menjadi puisi, pada prinsipnya ia sedang menenun dunia dan kehidupan untuk
dirinya dan khalayak pembaca. Puisi menurutnya adalah ular kundalini yang
bersemayam dalam diri setiap manusia. Adalah anugerah yang tidak ternilai.
Membaca puisi dalam diri adalah membaca semesta kehidupan. Mencintai puisi
adalah mencintai kehidupan. Sebab kehidupan adalah puisi yang sesungguhnya.
Beberapa kalangan menganggap bahwa puisi yang terbaik
memiliki ciri-ciri yang luas, tidak lekang oleh waktu, dan memiliki gambaran
umum bagi seluruh umat manusia. Kalangan lainnya lebih mementingkan kualitas
dari fakta dan keindahan yang terkandung dalam puisi tersebut.
Pada hemat saya, puisi merupakan wahana sekaligus produk
sebuah kontemplasi. Dalam kontemplasi, seorang penyair sudah tentu berusaha
merapatkan diri pada hakikat: keindahan, kebenaran, kejujuran, kejernihan
bahasa, dan seterusnya. Oleh karena itu, penyair selalu mencari kata sampai ke
akarnya dengan penuh kesabaran, ketekunan, seleksi, dan usaha-usaha lain dalam
berbahasa.
Penyair yang baik tidak tergesa-gesa memilih kata, tidak tamak dan tidak mengumbar nafsu berkata-kata apalagi mengincar gelar dan popularitas (atau honor barangkali?).
Penyair yang baik tidak tergesa-gesa memilih kata, tidak tamak dan tidak mengumbar nafsu berkata-kata apalagi mengincar gelar dan popularitas (atau honor barangkali?).
Ada baiknya, kita belajar berlapang dada untuk memilih
lebih baik tidak menjadi penyair, ketimbang menulis puisi cuma merusak bahasa,
kalau kita tidak berani dan mampu mengambil jalan sendiri untuk belajar dan
menggali literatur yang memungkinkan kita mendapatkan keluasan wawasan puitika.
Saya sendiri memilih untuk terus menulis puisi. Entah
dijuluk apa saya pasti tak akan peduli.
Menarik membaca esei tentang kepenyarian ini, Bung Dino.
BalasHapusSalam hangat dari Dili, Timor-Leste.
Abe Barreto Soares