Rabu, 29 Juni 2016

Jangan Kau Kira Para Lelaki Tak Punya Airmata





jangan dikira para lelaki tak punya airmata
musim hujan yang tak biasa
arus selat yang mengundang petaka
bisa saja membawa gerimis ke dalam dada

mengalir juga sungai airmata
meradang pula bila ia berharap cinta

jangan  dikira para lelaki tak punya airmata
kekasih yang berpaling muka. hari-hari tanpa berita
bisa juga membawa taufan ke dalam dada

menetes pula butiran air di bola mata
merapuh juga bila ia kehilangan cinta

jangan kau kira para lelaki tak punya airmata
ditikam dusta bisa saja dia nelangsa
meruncing sudah bulir-bulir di ujung mata

bila kekasih pergi menjauh membuang muka
perkara airmata lelaki-perempuan ya sama saja

           
                                                             Ternate, 30 Juni 2016


Selasa, 28 Juni 2016

Sejak Engkau Membuang Muka






sebagai lelaki yang hilang istri
aku terhanyut mengutuk diri
tiada berumah di tepian pantai
puisi-puisi menjadi sangsai
kapal dan perahu menjadi bangkai

karam sudah riwayat cinta
terdampar aku di tepian luka

sebagai lelaki yang gagal bercinta
aku karam berkalung derita
tiada perempuan menyeka airmata
hari-hari menuju nestapa
alamat pulang tiada bermuka

karam sudah semua cerita
mati aku di pelataran siksa

ini sajak yang hampir binasa
sejak engkau membuang muka
detak nafas hanyalah sengsara
aku kini sebatang kara


 Ternate, 29 Juni 2016





 

Senin, 20 Juni 2016

Kepenyairan, Jalan Pintas dan Histeria Massa





Kepenyairan Indonesia saat ini menampakkan perkembangan yang cukup menarik untuk dicermati. Ratusan bahkan ribuan nama baru terus bermunculan, seolah semua orang berlomba memproduksi teks puisi agar mendapat gelar sebagai penyair. 

Ribuan teks terus ditulis dan disebar ke berbagai rubrik sastra di media massa, jurnal dan majalah khusus sastra, serta buku-buku antologi puisi bersama maupun sendiri-sendiri. Tidak ketinggalan di berbagai media on-line, baik berupa milis, situs sastra atau situs pribadi. Penyair seolah menjadi identitas, strata atau gelar yang prestisius untuk disandang.

Di pertengahan Tahun 2002, Binhard Nurrohmat pernah menulis ”Bila di sensus, penembus rekor tertinggi jumlah penulis sastra kita selama ini adalah penyair. Makhluk ini sangat populer, "sakral", sarat legenda serta mitos dalam dunia penulisan sastra kita selama ini, dibandingkan makhluk lain bernama novelis maupun kritikus. Dua penulis sastra yang terakhir ini jumlahnya minim, bisa dikata hanya sehitungan jari tangan kita. Penyair juga dianggap representasi paling umum kesusastraan kita serta juru bicara kebudayaan kita”.

Fenomena kepenyairan kita saat ini, memang seperti jamur tumbuh dimusim hujan. Setidaknya dari segi jumlah personal dan produksi teks puisi. Dari berbagai milis dan situs sasta yang Saya ikuti maupun Saya asuh, sedikitnya sepuluh sampai dua puluh buah puisi ditulis dalam sehari. Situs-situs seperti kemudian.com, fordisastra.com maupun milis seperti aprasiasi sastra, milis penyair dan bunga matahari juga selalu kebanjiran puisi. 

Jika dikaji secara estetik maupun tematik, puisi-puisi yang berhamburan dengan nama penyair yang beratus-ratus itu, pada umumnya tidak memiliki 'pencapaian baru' yang mengejutkan dan mampu menghentak perhatian. Teks-teks puisi yang bertebar itu hanya memiliki kualitas estetik yang rata-rata, atau hanya sekadar memenuhi standar layak muat di media massa saja. Bahkan banyak yang hanya berupa gumaman dan curhat yang biasa kita temui pada buku diary para remaja yang tengah jatuh cinta atau patah hati. 

Sebagai penggiat puisi, saya merasa bahagia sekaligus miris melihat beratus-ratus bahkan beribu-ribu orang berusaha menjadi penyair, menyamai atau mengalahkan nama-nama yang terlanjur menjadi „berhala” di dunia kesusasteraan nasional. Hal ini karena beberapa diantara mereka muncul dengan kepongahan dan kesombongan tak terkira, hanya karena memiliki modal atau paras yang lumayan dengan tubuh harum mewangi. Padahal karya yang dihasilkan biasa-biasa saja, alias belum layak disebut puisi.

Di sisi lain, munculnya puisi-puisi (naratif) yang panjang, seperti banyak dimuat Harian Kompas maupun puisi-puisi pendek seperti dimuat Media Indonesia, Koran Tempo, Suara Pembaruan, dan Koran Sindo atau puisi-puisi bergenre agama di Republika, seolah-olah merupakan mainstream puisi mutakhir Indonesia (Gejala ini juga menguat pada beberapa komunitas sastra terutama di Jakarta). Sehingga seseorang merasa sudah berhasil bila puisinya dimuat satu media atau telah mendapat legitimasi dari komunitas-komunitas tersebut dan merasa gagal bila tak ada satu media pun yang memuatnya atau ditolak oleh komunitas-keomunitas tersebut. 

Sadar atau tidak, koran dan kemunitas tertentu secara luas dan kuat telah 'melemaskan' gairah idealisme kerja kreatif yang difference atau alternatif. Dalam waktu lama, tentunya hal ini akan berimbas pada peta perjalanan sejarah perpuisian tanah air.

Secara pribadi, saya seperti menangkap sebuah gambaran yang menunjukkan bahwa puisi sengaja dijadikan jalan pintas yang pragmatis dan efektif ke dalam ruang eksistensi, baik secara politik, sosial, ekonomi maupun ketokohan/keartisan.

Kenapa orang seperti berlomba menulis puisi agar menyandang gelar ”Penyair”? 

Pendapat Binhard mungkin bisa kita jadikan alasannya. Menurut ”Si Kuda Ranjang”, ada semacam pars prototo dalam dunia kepenyairan kita saat ini. Prestasi kepenyairan yang diraih oleh hanya minoritas penyair, seakan telah membuat mayoritas penyair juga terangkat citranya, tersanjung. Kemudian dari sikap gede rasa ini muncul nuansa semangat massa yang luar biasa besarnya, kadang dihiasi histeria dan terciptalah semacam "massa penyair" --istilah yang menurut Binhard di Tahun 2002, semoga hanya ia pakai sementara saja. 

Namun setelah beberapa tahun berlalu, fenomena ini bahkan terus berkembang. Ribuan orang yang ingin menggapai gelar sebagai penyair berdesak-desakan dan terus aktif bekerja memproduksi teks puisi yang berlimpah-ruah jumlahnya.

Lalu makhluk macam apa sih penyair itu? “Penyair itu, kata Saini KM, adalah ia yang berumah di sebuah kuil di tengah hutan. Ia juga kayu dalam pembakaran,. Ia pergi pada inti kehidupan”. Penyair adalah seseorang yang menulis/mengarang karya puisi. Karya ini biasanya dipengaruhi oleh tradisi budaya dan intelektual, dan ditulis dalam suatu bahasa tertentu.

Sutardji Calsum Bachri bahkan merasa perlu mengutip ayat Al-Quran untuk menjelaskan betapa mulianya kedudukan Penyair. Pernyataan sang presiden sengaja saya kutip berikut ini : Adalah menakjubkan Aquran, dalam QS As-Syuaara secara tepat mendefinisikan profesi penyair, "Mereka mengembara di tiap-tiap lembah dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakannya."

Penyair yang serius menurut Sutardji, selalu mengembarakan perasaannya, feeling dzaug-nya, pada lembah-lembah dasar dari duka suka kemanusiaan dan selalu konsentrasi pada penciptaan karya puisi dan bukan pada realisasinya atau pada upaya mengerjakan mimpinya itu -- puisinya -- agar menjadi kenyataan.

Menurut Wayan Sunarta, ketika penyair menyusun kata-kata menjadi puisi, pada prinsipnya ia sedang menenun dunia dan kehidupan untuk dirinya dan khalayak pembaca. Puisi menurutnya adalah ular kundalini yang bersemayam dalam diri setiap manusia. Adalah anugerah yang tidak ternilai. Membaca puisi dalam diri adalah membaca semesta kehidupan. Mencintai puisi adalah mencintai kehidupan. Sebab kehidupan adalah puisi yang sesungguhnya. 

Beberapa kalangan menganggap bahwa puisi yang terbaik memiliki ciri-ciri yang luas, tidak lekang oleh waktu, dan memiliki gambaran umum bagi seluruh umat manusia. Kalangan lainnya lebih mementingkan kualitas dari fakta dan keindahan yang terkandung dalam puisi tersebut.

Pada hemat saya, puisi merupakan wahana sekaligus produk sebuah kontemplasi. Dalam kontemplasi, seorang penyair sudah tentu berusaha merapatkan diri pada hakikat: keindahan, kebenaran, kejujuran, kejernihan bahasa, dan seterusnya. Oleh karena itu, penyair selalu mencari kata sampai ke akarnya dengan penuh kesabaran, ketekunan, seleksi, dan usaha-usaha lain dalam berbahasa. 

Penyair yang baik tidak tergesa-gesa memilih kata, tidak tamak dan tidak mengumbar nafsu berkata-kata apalagi mengincar gelar dan popularitas (atau honor barangkali?).  

Ada baiknya, kita belajar berlapang dada untuk memilih lebih baik tidak menjadi penyair, ketimbang menulis puisi cuma merusak bahasa, kalau kita tidak berani dan mampu mengambil jalan sendiri untuk belajar dan menggali literatur yang memungkinkan kita mendapatkan keluasan wawasan puitika. 

Saya sendiri memilih untuk terus menulis puisi. Entah dijuluk apa saya pasti tak akan peduli.