Jumat, 06 Oktober 2017

Kepada Nelayan Tak Bernama



tanganku mengangkat tinggi tujuh ekor ikan, hasil tangkapan
dari laut yang sama. dimana moyang-moyangku dahulu berperang
setiap ikan memiliki warnanya sendiri
seperti juga nasib para nelayan di kampungku
yang sejak dahulu telah melaut tak takut maut

aku membayangkan wajah lembut anak istri nelayan tua itu
saat menjemput suami dan ayah mereka pulang saban pagi
ketika perahu merapat di bibir pantai
dengan cinta yang menggulung bagai ombak
tujuh ekor ikan dibawa pulang sebagai bekal dan harapan
hari ini putri tertuanya harus membayar uang sekolah
yang tertunda beberapa bulan kerena musim baru saja pancaroba
dan nelayan tua dengan gigil di pundak itu baru bisa melaut lagi

dua kakiku terbenam di pasir pantai yang basah
aku mendengar gemeretak tulang yang patah
di semang perahu dan rusuk nelayan tua itu
dalam sepoi angin pagi yang terlalu dini meniupkan pilu
tujuh ekor ikan tidak cukup harganya untuk uang sekolah
putri tercinta. hanya cukup buat makan hari ini
sebatang rokok dan secangkir kopi. dengan sedikit gula

mengangkat tujuh ekor ikan di pantai pagi ini
aku menghitung jumlah perih dari setiap hentakan dayung
yang membuat nelayan itu lebih tua dari umurnya
punggungnya beradu tangkas dengan arus dan angin laut
tetapi nasib tak selalu baik seperti pagi yang miris ini

tujuh ekor ikan tak cukup makan buat sehari
dan malam nanti. nelayan tua itu harus melaut lagi
demi harapan yang tak boleh mati

                     Ciputat, 6 Oktober 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar