tanganku
mengangkat tinggi tujuh ekor ikan, hasil tangkapan
dari laut yang sama. dimana moyang-moyangku dahulu berperang
setiap ikan memiliki warnanya sendiri
dari laut yang sama. dimana moyang-moyangku dahulu berperang
setiap ikan memiliki warnanya sendiri
seperti
juga nasib para nelayan di kampungku
yang
sejak dahulu telah melaut tak takut maut
aku
membayangkan wajah lembut anak istri nelayan tua itu
saat
menjemput suami dan ayah mereka pulang saban pagi
ketika
perahu merapat di bibir pantai
dengan
cinta yang menggulung bagai ombak
tujuh
ekor ikan dibawa pulang sebagai bekal dan harapan
hari
ini putri tertuanya harus membayar uang sekolah
yang
tertunda beberapa bulan kerena musim baru saja pancaroba
dan
nelayan tua dengan gigil di pundak itu baru bisa melaut lagi
dua
kakiku terbenam di pasir pantai yang basah
aku mendengar gemeretak tulang yang patah
aku mendengar gemeretak tulang yang patah
di
semang perahu dan rusuk nelayan tua itu
dalam
sepoi angin pagi yang terlalu dini meniupkan pilu
tujuh
ekor ikan tidak cukup harganya untuk uang sekolah
putri
tercinta. hanya cukup buat makan hari ini
sebatang
rokok dan secangkir kopi. dengan sedikit gula
mengangkat
tujuh ekor ikan di pantai pagi ini
aku
menghitung jumlah perih dari setiap hentakan dayung
yang
membuat nelayan itu lebih tua dari umurnya
punggungnya
beradu tangkas dengan arus dan angin laut
tetapi
nasib tak selalu baik seperti pagi yang miris ini
tujuh
ekor ikan tak cukup makan buat sehari
dan
malam nanti. nelayan tua itu harus melaut lagi
demi
harapan yang tak boleh mati
Ciputat, 6 Oktober 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar