Kamis, 26 Oktober 2017

Ruang Tunggu Stasiun Penghabisan



adakah yang bisa menghentikan hujan
ketika seekor kupu-kupu menyalibkan puisi
di rumah yang tak pernah ada
ketika aku menunggu isyarat
berbagi jalan menuju tuhan?
:selalu ibu

di sudut stasiun
tiga perempuan membawa tuhan
pulang ke rumah ibu setelah hujan
yang datang tak ada batasnya
dan aku ingin menjadi rerumpuan
                                                :tibalah waktuku

kidung sungai larangan
bagai langkah jarum jam sebuah arloji tua
yang merapal doa ke seribu hari pada sajadah batu
doa-doa bawah sadar juga tasbih bumi
ketika rindu tak pernah memilih waktu
:cukuplah air mata itu

di ruang tunggu stasiun waktu
sebuah keranda tua menunggu ibuku
untuk dibawa ke laut bersama hujan
dan secangkir bayang-bayang
pada satu baris puisi di pusara sajakmu
:aku fana

            Ciputat, 27 Oktober 2017



 
*puisi ini merupakan gabungan sejumlah judul puisi buku antologi penyair Munsi





Kangela



engkau tahu halimah
di sini musim tak lagi muda
meski bulan selalu saja berganti nama

rurehe telah lama kehilangan semang
arumbae patah dayungnya
dilibas angin pakal
yang datang dari batavia

dan laut. ah jangan kau tanya lagi
entah pada musim apa nanti
berhenti ia mengombak

cerita-cerita lama
luka-luka menganga
tiada lekang dimakan cuaca
menubuh ia pada karang
dengan segala siksa

dan kau tahu halimah
sapu tangan yang dulu itu
tiada lagi bersulam namamu
merapuh kini di ujung waktu

warna biru itu telah pudar jadi kelabu
seperti awan yang menggantung di sore itu

burung-burung memilih pergi
hutan-hutan telah lama mati
dirampas para cukong
yang datang dari restu batavia

dan aku. tiada perlu kau tanya lagi
tiada berkalang sebelum tumbang
bila musim telah penghabisan

            Ciputat, 26 Oktober 2017





Rabu, 25 Oktober 2017

Pada Satu Musim Sebelum Pancaroba



jauh sebelum musim mengirimkan tanda pancaroba
aku telah lama mengukir namamu  di kain layar
merajutnya dari benang terbaik dengan segala doa
biar jika nanti melaut lagi, akan terasa kau selalu bersamaku
menempuh pelayaran di haru-biru  mimpi
di biru-biru hari, masa depan sehidup-semati

jauh sebelum musim mengirimkan tanda pancaroba
aku telah lama mengikat namamu di badan perahu
merapalnya sebagai temali doa dengan segala puja
biar jika nanti melaut lagi, tiada lepas ikatan cinta
seperti janji di pagi itu ketika pertama kita berjumpa
begitu lembut gelombang rindu. langit pun biru

jauh sebelum musim mengirimkan tanda pancaroba
aku telah lama menulis namamu di badan perahu
mengukirnya dari huruf  terbaik dengan segala tabu
biar jika nanti melaut lagi, tiada pudar segala deru
seperti laut di kampungku yang selalu biru
menghampar luas kemana pun pandang menuju

cinta yang lama bersemayam di kalbu
bunga asmara pertanda merindu

            Ciputat, 25 Oktober 2017






Jumat, 06 Oktober 2017

Kepada Nelayan Tak Bernama



tanganku mengangkat tinggi tujuh ekor ikan, hasil tangkapan
dari laut yang sama. dimana moyang-moyangku dahulu berperang
setiap ikan memiliki warnanya sendiri
seperti juga nasib para nelayan di kampungku
yang sejak dahulu telah melaut tak takut maut

aku membayangkan wajah lembut anak istri nelayan tua itu
saat menjemput suami dan ayah mereka pulang saban pagi
ketika perahu merapat di bibir pantai
dengan cinta yang menggulung bagai ombak
tujuh ekor ikan dibawa pulang sebagai bekal dan harapan
hari ini putri tertuanya harus membayar uang sekolah
yang tertunda beberapa bulan kerena musim baru saja pancaroba
dan nelayan tua dengan gigil di pundak itu baru bisa melaut lagi

dua kakiku terbenam di pasir pantai yang basah
aku mendengar gemeretak tulang yang patah
di semang perahu dan rusuk nelayan tua itu
dalam sepoi angin pagi yang terlalu dini meniupkan pilu
tujuh ekor ikan tidak cukup harganya untuk uang sekolah
putri tercinta. hanya cukup buat makan hari ini
sebatang rokok dan secangkir kopi. dengan sedikit gula

mengangkat tujuh ekor ikan di pantai pagi ini
aku menghitung jumlah perih dari setiap hentakan dayung
yang membuat nelayan itu lebih tua dari umurnya
punggungnya beradu tangkas dengan arus dan angin laut
tetapi nasib tak selalu baik seperti pagi yang miris ini

tujuh ekor ikan tak cukup makan buat sehari
dan malam nanti. nelayan tua itu harus melaut lagi
demi harapan yang tak boleh mati

                     Ciputat, 6 Oktober 2017

Kamis, 05 Oktober 2017

Lima Puisi Tentang Aceh





1. Krueng Daroy: Pulang Ragu Tak Pulang Rindu

ada jejak yang masih tersisa dari cerita masa lalu
bagai lekuk krueng daroy yang mengular di tengah kota
dahulu disana, rindu pernah kita tata pernah kita bina
sebelum segala mengabur bangai kupi sanger kekurangan gula
lupa kita pada hikayat yang lama mengapung di dalam dada

ada deru yang alpa kita tabuh dari gelagat di musim hujan
yang menjadikan keruh sungai matamu di subuh itu
ketika dermaga di ujung krueng daroy telah sepi
dari nelayan dan pembeli ikan yang bertaruh nasib
ketika fajar mati terperangkap. di gelas kopi dan terlanjur basi

ada luka yang masih tersisa dari cerita masa lalu
bagai lengking serunai kale yang merobek gendang telinga
ketika ragu begitu dingin meriwayatkan rindu
sebab kita telah terlajur memperuncing kuku
untuk pertikaian yang lebih menggebu di ujung waktu

ada degup yang alpa kita tangkup dari gelagat di riak air
yang menjadikan luruh derai airmatamu di subuh itu
ketika kapal menolak berlabuh dan memilih berlalu
akulah nelayan tua itu yang menolak waktu
pulang ragu tak pulang rindu. entah kamu
krueng daroy tetap saja diam membisu

            Ciputat, 13 September 2017



2. Lelaki Di Tepi Krueng Raya

tak perlu kau bertanya lagi tentang lelaki laut
yang pernah memelukmu di tepi Krueng Raya
setahun lalu dia berlayar membelah samudera – mencari
pesan jejak nenek moyang yang karam bersama taufan

tanda matanya adalah jejak kesetiaan yang ia simpan
di dalam kamar. di bilik suci peraduan
berharap setia engkau jaga agar tak karam
bahtera rumah tangga
entah ia di samudera mana – memimpikanmu
di bawah wajah bulan yang bersemu malu-malu

tak perlu kau bertanya lagi tentang lelaki laut
yang terakhir kau antar menaiki kapal di tepi Krueng Raya
takdirnya sudah begitu sejak jaman moyang dahulu
hanya padamu segala ngilu ia sandarkan sepenuh kalbu
asal setia engkau menunggu

Ciputat, 18 September 2017




3. Kepada Liza: Aceh Tetap Ada Pun Kita

liza. jangan kau bilang kita kini sedang mengecat langit
sebab cita-cita memang harus digantungkan setinggi bintang
meski di batok kepala mereka yang pernah kokang senjata
kesejahteraan hanya milik mereka. tidak untuk rakyat. apalagi kita
sebab katanya merekalah yang  paling berjasa dan bertarung nyawa
percayalah bahwa aceh tetap tegak di hati setiap orang
di sepanjang tepian selat malaka

liza. lihatlah baiturrahman yang lebih mengkilap dari biasa
jalan-jalan yang membelah rimba. dari kuta raja sampai ke langsa
kereta api yang kembali menyala dan mobil-mobil
yang banyaknya luar biasa. meski engkau masih saja menaiki sepeda
bendera merah yang mengangkasa meski kini berganti nama
separuh darah separuh nyawa buat mereka di empuknya sofa
tapi aceh tak akan binasa. percaya saja takdir kuasa

liza. tiada perlu engkau bertanya. bahwa dari balik pintu dan jendela
para janda dan anak yatim telah paripurna diurus negara
sebab darah dan nyawa para syuhada sudah lunas mereka bayar
dengan secarik kertas bernama kuasa pengganti senjata
dari kantor-kantor besar di kuta raja sampai ke gampong di lam laga
sebab katanya mereka yang paling berjasa. kokang senjata bertaruh nyawa
tapi aceh tak akan binasa. tegak ia di dada jelata dan para janda

liza. jangan kau katakan bahwa kita kini sedang mengecat langit
karena tak ada yang pupus dari harapan para endatu
setiap lagu berjuang dahulu bagai nyanyian buluh perindu
ke haribaan para pendahulu. begitu pesan teuku di tiro
agar mereka tak sia-sia mati terbunuh. pun kita yang kini hidup


            Ciputat, 15 September 2017



4. Aceh Sebuah Hati

damee di aceh
dame di hati
berbilang tahun belum juga kita bertemu
makam hijau tua. rindang dedaun kamboja

damailah damai
damailah dalam tidur panjangmu anakku
tanah para syuhada lebih rindu memelukmu
dibanding aku ayahmu
selalu ada seutas rindu yang menuntunku mengenangmu
sekujur waktu  tiada jemu

damee di aceh
damee di hati
berbilang waktu tiada jemu rindu padamu
makam hijau tua harum bunga kamboja

damailah damai
damailah dalam tidur panjangmu maulanaku
para syuhada terlampau rindu bersamamu
jauh disini tiada jemu aku memelukmu
selalu ada setampuk doa mengiring nafasku
entah kapan ada alamat untuk bertemu

damee di aceh
damee di hati
sampai akhir segala nanti

            Ciputat, 13 September 2017


5. Aceh Di Dering Telponku

ku terima juga kabar dari pulau seberang
dari perempuan yang dahulu hampir kupinang
“aku kini telah beranak dua bang”
tapi cintaku pada abang tiada jua hilang
begitu di layar kaca huruf-huruf pada berbilang
menyusul telpon genggamku berdering
pada pagi yang masih bening

ku terima kabar juga dari pulau seberang
dari seorang kawan yang dulu berperang
“kami kini tak juga senang bang
banyak pejuang tiada lagi berhati lapang
begitu di layar kaca huruf-huruf  tiada berpantang
seturut telepon genggamku berbunyi nyaring
pada siang yang kian bising

ku terima juga kabar dari pulau seberang
dari kawan yang dulu seiring
“hidup di aceh bikin aku merinding”
semua kawan menjadi bajing sibuk menggunting
begitu di layar kaca huruf-huruf menggelinding
seikut telpon genggamku bersuara miring  
pada senja yang bikin pusing


            Ciputat, 13 September 2017