Minggu, 05 Maret 2017

Bayangan Dusta



berhari lalu engkau mengirimkan sebuah puisi
tentang lelaki yang kian lincah meracik kopi
aku tahu. ia kini lihai meraba pekat tubuhmu yang masai
dalam gemericik berahi yang menganak sungai
hingga tak lagi menyisakan tanda bagi diriku. untuk berandai

berhari lalu engkau menulis puisi tentang mimpi dan rasa rindu
tetapi ia yang di luar pintu tak henti jua kau ajak melewatkan waktu
mengacak-ngacak dapur, ranjang tidur di ruas-ruas tubuhmu
lalu jejakku kian terhapus dari hati dan degup jantungmu
bagai piatu menyesali nasib di ujung hari. dustamu itu

berhari lalu engkau menulis puisi tentang bayang-bayang
berharap mimpimu mengangkasa bagai layang-layang
aku tahu. ia kini menanak di rahimmu berharap kasih-sayang
dalam gemuruh berahi. bagai amuk angin timur menggepur karang
menyisakan bisa ular di semak tubuhmu yang kian meradang

berhari lalu engkau mengirimkan sebuah puisi penanda sayang
tentang kopi dan rasa rindu juga asmara menjelang petang
tetapi cangkir dan ruas bibirmu terlanjur penuh noda tualang
pahitnya khianat itu menikam jantungku hingga hingga ke tulang

            Ternate, 1 Maret 2017






Tidak ada komentar:

Posting Komentar