Siang itu, 19 Januari 1999, sekira Pukul 13.00
WIT, setelah usai Sholat idul Fitri di
Lapangan Kampus Universitas Darussalam dan bersilaturaim ke para dosen dan
kerabat, Saya memutuskan ke rumah kakak sepupu saya di Benteng Atas.
Masih dengan kopiah arab dan baju gamis saya
menumpang angkutan umum jurusan Waai- Kota Ambon. Alhamdulillah tidak terjadi
sesuatu apa pun sampai saya turun di Mardika. Dari Mardika saya naik mikrolet
ke rumah. Begitu saya sampai di depan rumah, langsung disambut pertanyaan oleh
kakak sepupu saya berserta sejumlah tetangga yang kebetulan sedang duduk-duduk
di teras.
“Bagemana
keadaan di kota? Katanya Batu Merah deng Mardika bakalai?” Saya pun menjawab “
Seng ada apa-apa. Cuma tadi pas turun dari oto Waii dong langsung dapa suru
pigi”.
Saya pun lantas masuk ke rumah untuk sungkem
dengan keluarga. Namun selang beberapa menit, para tetangga diluar mulai ribut
karena ada asap tebal yang kelihatan dari arah kota. Rupanya pertikaian telah
meluas. Saya pun akhirnya tertahan di rumah kakak sepupu sampai tujuh hari.
Di hari ketujuh itu, sekitar Pukul 10.00 WIT,
dengan meminjam sepeda motor paman, saya pergi ke Tulehu untuk mengambil
pakaian, karena ketika lebaran saya hanya datang dengan pakaian di badan.
Rupanya konflik selama enam hari menimbulkan
banyak kerusakan. Dari OSM sampai Batu Gantung sejumlah bangkai mobil dan
sepeda motor yang hangus terbakar di tengah jalan, di kiri- kanan jalan, rumah
dan bangunan banyak yang hancur dan terbakar tinggal puing. Hal yang sama juga
terjadi di Silale, Mardika dan sejumlah tempat lain.
Sebelum meneruskan perjalanan, saya menyempatkan diri untuk mampir ke rumah
keluarga Go Kim Peng alias Petrus Sayogo di samping Toko Modal. Karena
sejatinya disanalah saya tinggal setahun belakangan bersama kakak angkat saya,
Rudi Fofid dan Frans Watratan.
Melihat kemunculan saya yang tiba-tiba dan tidak
terduga itu, Frans kaget dan agak panik. Sikapnya tidak seperti biasa. Saya pun
menyalaminya dan langsung ke belakang mencari Rudi, rupanya Rudi sedang tidak
di rumah. Karena mendengar suara-suara di belakang saya langsung ke belakang.
Ternyata di belakang rumah ada sejumlah pemuda sedang mabuk-mabukan. Tahulah
saya sekarang mengapa Fran panik.
Dengan sikap tenang saya menyapa pemuda-pemuda
itu. Toh selama ini yang mereka tahu saya adalah
adiknya Frans. Namun untuk menghindari hal-hal yang tidak terduga saya tidak
berlama-lama dan langsung pamit ke Tulehu.
Ketika hendak kembali ke Ambon, Handphone saya berdering. Rupanya ada telepon dari Zairin Salampessy yang
meminta saya untuk bertemu di rumah Sandra Lakembe di Belakang Soya. Saya kemudian menjemput Dewi Tuasikal dan menyempatkan mampir.
Rupanya mereka mengajak kami untuk bergabung di
Tim Relawan untuk Kemanusiaan. Saya juga dimintai tolong untuk mengajak kawan-kawan muslim yang lain, karena ketika itu
relawan muslim hanya Zairin sendiri. Usai pertemuan kami pun lantas kembali ke
Benteng Atas. Zairin berjanji akan mengontak saya untuk pertemuan lanjutan
dengan kawan-kawan LSM.
Hari Selasa, 26 Januari 1999, Saya mengajak Dewi Tuasikal menemani saya ke
Rinamakana di Jalan Pattimura Ambon. Di
sana ternyata para aktivis LSM sudah berkumpul. Chalid Muhammad, direktur WALHI
yang sementara transit dari perjalannnya menghadiri kegiatan di Tual Maluku
Tenggara juga ikut hadir. Di pertemuan itu, terbentuklah Tim Relawan untuk
Kemanusiaan (Tirus). Tim Relawan yang
melayani warga korban konflik tanpa memandang suku dan agama.
Kehadiran Chalid Muhammad di pertemuan tersebut
menyisakan cerita tersendiri. Ketika itu sedang marak terjadi razia Kartu Tanda
Penduduk (KTP) oleh massa. Chalid yang Muslim menginap di salah satu hotel di
belakang Kantor Gubernur Maluku. Karena khawatir dengan keselamatannya,
kawan-kawan meminta saya untuk segera mencari hotel di kawasan muslim.
Usai rapat Saya, Khalid dan Dewi mengecek hotel.
Ternyata semua hotel di kawasan muslim penuh. Akhirnya dengan bantuan seorang
kawan, kami mendaftarkan Chalid sebagai pasien di Rumah Sakit Tentara. Jadilah
Halid menginap di salah satu kamar VIP selama empat hari sambil menunggu kapal
ke Tual.
Sebagai relawan di Tirus, saya membantu Rudi dan
Zairin mengurus komunikasi dan informasi.
Disamping itu tugas saya yang utama adalah merekrut kawan-kawan muslim
untuk menjadi relawan.
Diujung Maut
Suatu hari, saya lupa tanggal dan bulan pastinya.
Saya dan Oni Tosik hendak ke Rinamakana dengan menggunakan mobil. Oni duduk di
depan bersama Sopir, sedangkan saya di bangku tengah.
Dari Posko situasinya tenang dan tidak ada
tanda-tanda bakal terjadi kerusuhan. Namun tiba-tiba ketika sampai di Belakang
Soya, entah bagaimana awalnya massa telah memenuhi jalan, barikade pun dipasang
dan mereka mulai melakukan swiping terhadap kendaraan yang lewat. Reflek saya
mencabut dompet dari saku celana dan membuangnya dibawah jok mobil.
Panik dan takut memang tidak bisa dibayangkan.
Mobil kami terus maju perlahan. Massa meminta kami menurunkan kaca mobil.
Begitu kaca mobil turun, dari jendela sebelah kiri sebilah parang dan dari
jendela sebelah kanan sebuah anak panah langsung mendekat ke leher saya.
Sementara di depan Oni dan Sopir langsung diberondong sejumlah pertanyaan.
Massa juga meminta KTP mereka.
Reflek saya berteriak ”Tong mau ke
Rinamakana. Ada rapat deng Uskup” parang dan anak panah pun ditarik dari leher
saya. Mereka lantas menyuruh kami mengarakan mobil ke Karang Panjang karena
jalan didepan sedang mereka blokir.
Kami pun akhirnya ke Karang Panjang dan
beristirahat disana hingga situasi mereda. Kejadian itu merupakan salah satu
kejadian paling traumatis yang sampai sekarang masih membekas dalam ingatan
saya.
***
Kembali ke soal tugas saya merekrut kawan-kawan
Muslim. Terus terang, mulanya saya belum berani, jadi selang berapa waktu hanya
saya dan kadang-kadang juga ada Dewi yang bulak-balik posko TIRUS yang ketika
itu bertempat di rumah Cruisa Teta Hittipeuw di Mardika. Hingga keadaan semakin
memburuk dan tidak memungkinkan lagi bagi kami untuk ke Posko. Kawan-kawan
TIRUS pun sepakat agar saya jangan dulu ke Posko hingga keadaan kembali memungkinkan.
Kebetulan ketika itu ada undangan palatihan
Jurnalisme Damai di Yogyakarta yang diselenggarakan oleh The British Council
dan Lembaga Studi Pers dan Perdamaian (LSPP) Jakarta. Saya pun mengikuti
kegiatan tersebut. Selain itu, saya juga mengikuti Workshop Pemberdayaan Rekonsiliasi yang dilaksanakan oleh Pusat Sutdi Perdamaian
Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW)
Yogyakarta.
Sepulang kegiatan pelatihan di Yogyakarta,
situasi semakin tidak memungkinkan. Saya akhirnya memutuskan untuk membantu
Thamrin Ely di Posko MUI. Tugas saya
ketika itu adalah menyiapkan press klaar dan mengkoordinir sekretariat. Sampai
pada suatu hari Sandra Lakembe menelpon saya dan memberitahukan bahwa TIRUS
dalam hal ini Baileo Maluku akan mengirimkan relawan untuk mengikuti Pelatihan
Sanitasi dan Air Bersih di Yogyakarta.
Saya mengajak Hanafi Hole untuk pergi bersama.
Selama di Yogyakarta, selain mengikuti pelatihan,
Saya dan Hanafi juga membantu Zairin dan kawan-kawan Emergency Team. Karena
pertimbangan keamanan, Zairin rupanya telah mengungsi bersama keluarganya ke
Yogyakarta. Disini, atas fasilitasi
INSIST telah dibentuk E-Team dimana Zairin menjadi koordinatornya.
Sepulang dari Yogyakarta, Saya, Hanafi dan Dewi
mulai merekrut kawan-kawan Muslim dan membuka Posko TIRUS di Ruko Batu Merah,
ketika itu masih di Blok F. Disana bergabung Linda Holle, Iksan Mahu, Ruslan
Latuconsina, Biduran Kaplale dan lain-lain. Posko Ruko Batu Merah memang
sengaja dibuka untuk menggampangkan akses ke kamp-kamp yang dihuni pengungsi
Muslim, karena ketika itu Posko TIRUS sudah pindah ke rumah Ansye Sopacua
di Passo.
Kerja
dalam eskalasi konflik Maluku yang terus meninggi terkadang membuat risau para
relawan. Misalnya, ketika relawan sedang berkumpul di Passo, tiba-tiba meletus
konflik dan suasana kota mencekam, relawan
Muslim berbisik kepada Saya. “”Abang, katong aman ka seng ?” begitulah mereka
mengungkapkan kegelisahan. Saya pun selalu menjamin bahwa kami aman. Tetapi supaya
keamanan itu seratus persen, kami terpaksa harus kembali ke Posko Ruko Batu
Merah.
Bahkan agar menghilangkan ketegangan,
kadang-kadang saya punya ide-ide aneh yang bikin kawan-kawan mau-tidak mau
harus tertawa. Misalnya suatu waktu
ketika kami hendak menghadiri pertemuan relawan di Passo, sementara pada saat
itu situasi agak memanas. Saya lantas meminta Iksan Mahu salah satu relawan
Posko Ruko Batu Merah untuk mengecat dua buah gagang sapu dengan cat warna
hitam.
Ketika dalam perjalanan menuju Passo saya lantas
meminta kawan-kawan untuk menurunkan sedikit kaca mobil dan mengeluarkan ujung
kedua gagang sapu itu seolah-olah laras senapan. Kebetulan kaca mobil gelap
sehingga orang dari luar tidak bisa melihat ke dalam. Kontan saja suasana di
dalam mobil yang tadinya tegang berubah menjadi cair. Ada yang tertawa ada yang
senyum-senyum kecil.
Suatu hari sepulang dari Passo, terjadi bentrokan
antar warga, di Batu merah bawah, sebuah angkot dihadang massa. Begitu kami
tiba, yang pertama saya lihat adalah empat orang sedang dikerumuni warga dan
seorang pemuda sudah babak belur. Kontas saya meminta Fadli Wasahua untuk
berhenti. Saya kemudian menyeruak diantara kerumunan dan berteriak stop-stop.
Kawan-kawan relawan pun menyusul. Kami kemudian terlibat adu mulut dengan
massa. Saya menyeret pemuda yang babak belur itu ke dalam mobil diikuti
teman-teman lain yang juga membawa seorang ibu dan dua anak perempuan susia
SMA.
Dengan mobil relawan, mereka kami bawa dan kami
turunkan di depan Rumah Sakit Ternate. Ternyata pemuda yang yang kami tolong
adalah anak seorang Dosen fakultas Ekonomi Universitas Pattimura.
Di waktu lain, ketika Posko Ruko Batu Merah belum
lama kami pinddahkan dari Blok F ke Blok A,
suatu malam, sekira pukul 20.00 WIT, saya sedang makan malam di depan
Masjid Raya Al-Fatah handphone saya bordering. Rupaya Handoko menelpon dan meminta saya segera ke Posko
karena ada tentara yang datang.
Saya pun langsung ke Posko. Di depan Posko telah
parkir sebuah truk militer dengan belasan tentara
sedang bersiaga. Saya pun memarkir mobil Posko dibekang truk militer itu. di dalam Posko rupanya kawan-kawan sedang
berkumpul. Ada tiga orang tentara satunya perwira dan yang duanya prajurit
biasa.
Saya pun lantas memperkenalkan diri dan
menanyakan maksud kedatangan mereka. Rupanya mereka meminta pimpinan Posko
untuk ikut ke KODIM dengan alasan ada rapat gelap di Posko.
Saya pun berdebat dengan perwira yang belakangan
saya tahu namanya Letnan Kolonel, Suharto, dari Batalyon 111 Bukit Barisan itu,
diperintahkan untuk menangkap saya karena telah melakukan rapat gelap dalam
rangka menolak kehadiran TNI BKO di Maluku.
“Siapa yang bilang ada rapat gelap disini.
Buktinya neon 4o watt delapan biji nyala semua. Bagaimana bisa bapak bilang ada
rapat gelap”,tantang saya kepada Letkol Suharto. Karena situasi semakin
memanas, akhirnya saya, Mahmud Rengifurwarin( ketika itu Ketua HMI Cabang
Ambon) dan Hanafi Hole mau ikut ke KODIM.
Begitu keluar Posko para prajurit yang tadi
bersiaga di depan langsung memegang tangan kami dan memaksa naik ke truk. Saya
terus berhenti dan bilang kepada Letkol Suharto bahwa kami tidak mau ikut kalau
naik truk. “Kalau naik truk kami tidak mau ikut ke KODIM. Kalau mau Pak Suhatro
ikut di mobil relawan”.
Letkol Suharto akhirnya mau mengalah dan ikut
mobil relawan. Dikawal truk militer kami lantas ke
KODIM di kawasan Batu Meja. Di perjalanan Letkol Suharto meminta maaf karena
sudah membuat kawan-kawan relawan tidak nyaman. Beliau mengaku pasukannya baru
tiba pagi hari dan malamnya diperintahkan untuk menangkap kami.
Setiba di MAKODIM, kami bertiga dimasukkan ke
dalam sebuah Aula dan dibiarkan begitu saja sampai tengah malam. Kira-kira
pukul 02.00 WIT seorang pewira menengah datang membuka pintu Aula dan
mempersilahkan kami pulang.
Di Posko Ruko Batu Merah Blok A ini, sejumlah
kawan-kawan relawan kembali bergabung. Meraka adalah anggota kelompok pecinta
alam PPSWPA Kanal dan sejumlah anak muda dari
negeri Liang dan Tulehu, seperti Handoko, Hadi, Mukhlis, Memet, Yayat, Ani
Wakano dan lain-lain.
Jurnalisme Damai
Hubungan-hubungan pribadi saya dengan para aktivis LSM dan wartawan di
Ambon dan Jakarta, membuat saya dipercaya oleh Lembaga Studi Pers dan
Pembangunan (LSPP) Jakarta sebagai koordinator dalam Pelatihan Jurnalisme
Damai, Januari tahun 2000. Inilah untuk pertama kalinya wartawan di
tengah konflik Ambon bertemu secara massal. Selain memperkenalkan konsep
jurnalisme damai, forum ini mulai memikirkan adanya semacam media centre bagi
wartawan Maluku.
Pelatihan itu berkesan sekali bagi sekitar 50
peserta. Mereka mendapat pencerahan
tentang jurnalisme perang dan jurnalisme damai.
Teman-teman wartawan juga mulai sadar bahwa Maluku
membutuhkan intervensi jurnalisme damai.
Pengalaman pelatihan yang menghadirkan para narasumber
seperti Rusdi Marpaung, Albert Kuhon, Ignatius Haryanto, dan lain-lain,
kemudian membelokkan trend berita banyak wartawan di Ambon, meskipun butuh
proses cukup panjang. Lahirnya Maluku
Media Centre (MMC) tahun 2002 lebih memperkuat kampanye jurnalisme damai di
Maluku.
Dituduh Provokator
Posko Tirus Ruko Batu Merah yang semakin
berkembang, ternyata mendapat kepercayaan dari sejumlah LSM yang konsern pada
konflik Maluku. Lembaga seperti KontraS, TRK Jakarta bahkan Relawan Istana yang
dibentuk Ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid. Kawan-kawan di Posko induk
pun membebaskan kami untuk bekerja sama
dengan siapa saja sepanjang memenuhi prinsip-prinsip kemanusian.
Ketika itu selain aktif sebagai relawan Tirus,
saya juga menjadi relawan KontraS dan
relawan Istana. Disamping bekerja sebagai wartawan Ambon Ekspres. Selain itu
saya, Thamrin Ely dan Yusran Laitupa mendirikan sebuah LSM bernama Maluku
Watch.
Suatu hari saya lupa tanggal pastinya. Relawan
Istana Mufti Makarim Al-Akhlak menelpon saya dan memberi tahu bahwa pihaknya
tengah mengirim bantuan ke Ambon. Bantuan dikirim melalui KM. Lambelu. Dia dan
Abu Said Pelu dari Kontras ikut dalam kapal tersebut.
Jam lima subuh saya dan sejumlah relawan menuju
ke dermaga Yos Sudarso untuk menjemput mereka dan mengambil
barang-barang bantuan, berupa obat-obatan, makanan instan, susu dan pakaian.
Ternyata pelabuhan di jaga ketat oleh aparat
gabungan TNI/Polri. Maklum waktu itu Laskar Jihad mulai masuk ke Maluku. Karena
KM Lambelu sudah merapat, kami pun masuk ke dermaga. Sekira pukul 06.00 WIT,
Mufti dan Abu Said dari kapal. Kami pun berembuk untuk mengatur pengangkutan barang
bantuan ke Posko. Sejumlah mobil truk pun kami siapkan untuk itu.
Namun ada yang aneh. Aparat gabungan TNI/Polri
yang kami kira akan melakukan sweeping terhadap Laskar Jihad ternyata malah
menahan barang-barang bentuan yang sudah turun diatas dermaga. Dengan metal
detector mereka memeriksa satu demi satu barang-barang yang kami tumpuk diatas
dermaga. Beberapa dari mereka malah merusak kardus-kardus berisi barang bantuan
itu dengan pisau sangkur mereka.
Saya dan Abu Said mengambil inisiatif untuk bertanya.
Ternyata jawaban yang kami dapat membuat kami tercengang. Gelar pasukan
gabungan dimaksudkan untuk menangkap provokator sekaligus menahan barang-barang
bantuan alat komunikasi yang dikirim oleh RMS.
Kami pun protes karena merasa tidak bersalah. Namun
sejumlah prajurit mulai mengangkut
sejumlah barang bantuan yang tadinya mereka pisahkan ke dalam sebuah
truk militer. Ternyata barang-barang yang diangkut itu adalah alat komunikasi
berupa 70 pesawat handy talki, 2 buah pesawat CB berserta peralatan dan
pemancarnya yang dimaksudkan untuk membantu kerja relawan di posko-posko
pengungsian.
Dalam kondisi masih tercengang dan tidak percaya,
tiba-tiba sebuah mobil patroli datang. Seorang perwira polisi turun dari mobil
tersebut dan menghampiri kami. Tanpa memperkenalkan diri dia langsung bertanya
“Siapa yang bertanggungjawab dengan barang-barang ini?”. Saya dan Abu Said pun
menjawab secara bersamaan. “ Tim Relawan untuk Kemanusiaan. Perwira itu
bertanya lagi ”Siapa pimpinannya?” Saya dan Abu Said kembali menjawab. “Kami
berdua Pak”. Perwira yang saya tidak
hafal nama dan pangkatnya itu pun lantas mengatakan “ Ayo ikut saya ke markas.
Melihat gelagat yang tidak baik, saya dan Abu
Said pun meminta kawan-kawan relawan yang lain untuk membawa barang-barang yang
tidak disita ke Posko serta meminta Mufti untuk ikut dengan mereka. Ketika peristiwa ini terjadi sejumlah
wartawan yang juga teman-teman saya terlihat sibuk mengambil gambar dan
mewawancarai beberapa perwira TNI/Polri.
Kawan-kawan kemudian mengangkuti barang bantuan
ke Posko Ruko Batu Merah. Dan karena Posko batu merah penuh, maka sebagaian
barang bantuan saya minta kepada kawan-kawan untuk menaruhnya di kantor Maluku
Watch di Kawasan Parigi Lima, sekaligus mengantar Mufti untuk chek in di Hotel
Abdulalie. Sementara saya dan Abu Said
Pelu dibawa ke Markas Komandan Sektor (Markas BKO) di Eks Gedung Puskud Jalan
A.Y. Patti.
Setiba di Markas Sektor, kami dimasukkan ke dalam
salah satu bilik dan disuruh menunggu. Sekira satu jam, saya kemudian dipanggil
oleh seorang prajurit untuk menghadap komandannya.
Sang komandan pun bertanya. “Nama?”. Saya
menyebut nama saya. “Pekerjaan?” saya menjawab “ wartawan dan aktivis
kemanusiaan Pak”. “Tahu kenapa ditahan?”
saya menjawab tidak tahu. Sang komandan pun lantas menjelaskan banyak hal
terkait penahanan saya yang sangat tidak masuk akal. Intinya dia mengatakan
bahwa pihak TNI/Polri telah mendapat
laporan intelijen tentang masuknya provokator dan bantuan alat komunikasi
canggih untuk para aktivis RMS di Maluku. Saya pun berupaya untuk menjelaskan
duduk perkara tentang bantuan dimaksud termasuk alat komunikasi yang mereka
sita.
Ternyata si Komandan Sektor berpangkat Letnan
Kolonel ini, tidak tahu siapa itu ibu negara. Dia malah bertanya jadi maksud
anda barang-barang itu adalah bantuan dari Ibu Megawati?. Ketika itu Megawati
adalah Wakil Presiden RI. Saya pun langsung menjawab dengan tersenyum. “Pak-pak
kalau Megawati itu Wakil Presiden RI. Kalau Ibu Negara itu Ibu Sinta Nuriyah
Istrinya Gus Dur Presiden RI. Tak disangka dua prajurit yang tengah berdisi di
samping kiri-kanan saya langsung menghantamkan popor senjata mereka ke kedua
pelipis saja.
Belum cukup sampai disitu. Sang komandan kembali
bertanya. Kenal sama yang namanya Munir?. Saya menjawab “Kenal Pak, beliau Koordinator
KontraS pimpinan saya. Saya relawan KontraS pak”. Belum putus saya bicara si
komandan langsung nyerocos berarti kau mata-mata Yahudi ya? Kenal dimana sama
Munir? Saya kembali menjawab. “Bukan Pak. Saya wartawan dan relawan
kemanusiaan. Sama Cak Munir kenal di kantorlah kan beliau pimpinan saya”.
Karena dianggap menghina komandannya barangkali kedua prajurit itu membentak
dan kembali memukul saya dengan popor senapan.
Si komandan yang tidak tau kenapa tiba-tiba
berubah ramah kemudian meminta saya menjelaskan secara runut tentang diri saya
dan kaitan saya dengan KontraS, Relawan Istana, dan perihal kerja TIRUS. Usai
memberi penjelasan secara panjang lebar, si komandan
dengan mimik terkesan ramah bertanya. “Kalau teman kamu yang diluar siapa? Pikiran usil saya mulai muncul. Saya lantas
menjawab. Kalau yang diluar itu Pak Abu Said Pellu, SH, pengacaranya Munir.
Beliau dikirim kesini selain untuk mengantarkan bantuan kemanusiaan, juga
sekaligus untuk memantau situasi dan kondisi Maluku yang hasilnya akan dilaporkan
kepada presiden”.
Sambil menjawab saya beranikan diri untuk menatap
wajah komandan itu. dan dia sepertinya kaget mendengar jawaban saya. Dengan
wajah manis si komandan kemudian mempersilahkan saya untuk meninggalkan ruangan
dan meminta saya untuk memanggil Abu Said untuk menghadap.
Diluar saya bilang kepada Abu Said agar kalau
ditanya dia marah-marah bila perlu gebrak meja. Saya cerita ke Abu Said perihal
apa yang terjadi didalam ketika saya di interogasi. Benar saja Abu Said yang
memang suaranya besar itu kedengaran marah marah didalam ruangan komandan.
Sekitar 15 menit Abu Said keluar dengan
senyum-senyum. Kami pun diminta untuk duduk di ruang tunggu. Tak berselang
lama, dua bungkus nasi padang dan dua botol air mineral disuguhkan kepada kami.
Usai makan, kami kemudian diantar ke mobil patrol polisi yang sudah siap di
depan markas. Kami pun lantas dibawa ke Mapolres Pulau Ambon di Parigi Lima.
Setiba di Mapolres, kami digiring ke ruang kerja
Kapolres, sayang saya sudah lupa namanya. Beruntung Kapolres
adalah mahasiswa Cak Munir di PTIK. Jadilah kami ngobrol dengan santai di ruang
kerjanya.
Selang berapa lama kami dipersilahkan menuju
ruangan pemeriksaan untuk di BAP. Namun karena polisi bingung bagaimana membuat
BAPnya dan kami berdua pun tidak mau menandatangani kalau BAP itu jadi, maka
Kapolres pun mempersilahkan kami pulang dengan jaminan dirinya.
Dari Polres, saya mengantar Abu Said ke Hotel
Abdulalie lalu pulang ke rumah di BTN Kebun Cengkeh untuk mandi dan istirahat.
Karena lelah saya memutuskan untuk istirahat total di rumah hari itu dan
malamnya baru akan bertemu dengan Mufti dan Abu Said untuk membahas rencana
selanjutnya.
Tapi apa hendak dikata. Malam itu, Pukul 20.00
WIT, TVRI Stasiun Ambon menyairkan berita penangkapan provokator berikut barang
bukti oleh aparat gabungan
TNI/Polri i. Wajah saya dan Abu Said terpampang di layar televisi sebagai
pesakitan. Saya langsung menelepon Abu
Said dan Mufti. Ternyata mereka berdua juga menonton berita tersebut. Kami
sepakat untuk tenang dan memantau perkembangan situasi. Saya juga meminta
kawan-kawan relawan di Posko Ruko Batu Merah untuk waspada.
Sekira pukul 23.00 WIT saya kembali menelepon Abu
Said dan Mufti, namun Handphone keduanya tidak bisa dihubungi. Saya memutuskan
untuk mengecek ke hotel Abdulalie. Ternyata mereka sudah cek out. Bingung dan
panik saya mencoba mengontak beberapa orang, rupanya tidak ada yang tahu kemana mereka
berdua. Karena tidak ada kabar, saya memutuskan untuk kembali ke rumah. Sampai
besok siang baru ada kabar dari Mufti bahwa semalam mereka dievakuasi ke Markas
Brimob di Tantui, dan dari sana subuh harinya mereka diantar ke bandara
dan di terbangkan ke Sorong dengan pesawat Hercules. Dari sorong mereka berdua
kemudian kembali ke Jakarta.
Dari Mufti saya kemudian tahu bahwa malam itu
sejumlag orang mencari mereka ke Hotel. Dan untungnya pihak hotel kemudian
berkoordinasi dengan aparat kepolisian untuk mengevakuasi mereka berdua.
Selang tiga hari setelah penyiaran berita oleh
TVRI Ambon, situasi kota Ambon menjadi memanas. Konflik kembali pecah. Kali ini
Markas Brimob di Tantui, Kampus UKIM dan Kampus Universitas Pattimura ludes
terbakar.
Secara pribadi, Saya dan keluarga pun merasa
tidak aman. Apalagi ketika itu anak sulung saya Vinapora Lailiani Setyananda,
buah pernikahan saya dengan Dewi Tuasikal baru berusia kurang lebih seminggu.
Sejumlah prajurit TNI yang tidak saya kenal,
tiba-tiba mulai rajin bertamu ke rumah, begitu juga anggota Laskar Jihad. Yang
lebih berbahaya lagi ketika suatu hari saya sedang berada di Kantor Maluku
Watch. Ketika saya membuka jendela depan,
tiba-tiba terdengar bunyi dua kali tembakan. Dan bunyi peluru berdesing
di dekat saya. Rupanya kedua butir peluru itu mengenai tembok samping kiri
jendela beberapa inchi dari dari tempat saya berdiri.
Saya pun menutup kembali jendela dan langsung
menelepon Sandra Lakembe. Sandra lantas meminta saya untuk segera pulang dan
menunggu kabar darinya. Setiba di rumah saya meminta Dewi untuk bersiap-siap
terhadap segala kemungkinan. Tak berapa lama kemudian Sandra kembali menelepon
saya dan meminta saya segera bersiap-siap untuk dievakuasi ke Yogyakarta.
Malam itu juga, dengan bantuan dana dari Alissa Abdurrahman Wahid (Putri Sulung Gus Dur) kami
sekeluarga meninggalkan Ambon. Dengan menumpang KM. Lambelu, Saya, Dewi dan
Nanda menuju Surabaya. Dari Surabaya kami naik bis ke Yogyakarta.
Di Kota Gudeg ini, selama tiga bulan kami
sekeluarga ditampung di rumah Arifah Rahmawati. Arifah adalah salah satu
aktivis Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM yang saya kenal selama
bergelut dalam menangani konflik Maluku.
Saya kemudian dipanggil ke Jakarta untuk membantu
KontraS. Di KontraS saya diperbantukan di divisi investigasi dan mengurusi
Buletin KontraS. Tiga bulan pertama, kami di tampung di rumah aman yang juga merupakan kediaman ibu Ade Sitompul (aktivis
kemanusiaan sekaligus salah satu pendiri KontraS).
Ketika di KontraS inilah kami sempat membuat
sebuah film dokumenter tentang konflik Maluku, hasil kerjasama antara KontraS
dan Yayasan Set pimpinan Garin Nugroho. Film ini sempat diputar di Jakarta
Internasional Film Festival (JiFest 2001) dan masuk
sebagai salah satu filam terbaik kategori HAM. Selain itu saya juga membantu
pelaksanaan pertemuan Raja-Raja Maluku yang diberi nama Baku Bae Maluku.
Kami kemudian pindah ke Jalan Otto Iskandardinata
dan pindah lagi ke Kawasan Warung Buncit. Ketika di Warung Buncit, Saya sudah
dipindahkan dari KontraS ke radio Voice of Human Rigth (VHR). Disini saya
bertetangga dengan Zairin yang sudah duluan pindah dari Yogyakarta. Karena Tim
Relawan untuk Kemanusiaan menutup Posko Emergency Team dan membuka Posko Baru
di Jakarta bernama Tim Advokasi Penyelesaian Konflik Ambon (Tapak Ambon) dimana
Zairin menjadi koordinatornya.
Hampir dua tahun di Jakarta, Aliansi
Jurnalis Independen (AJI) membentuk Maluku Media Centre (MMC). MMC terbentuk setelah AJI-Indonesia
memfasilitasi pertemuan wartawan Islam-Kristen Maluku dan Maluku Utara di Bogor
tahun 2002. Saya kemudian diminta kembali ke Ambon untuk mengurusi MMC menggantikan Wahyuana. Jadilah saya dan keluarga kembali
ke Ambon.
Tugas pertama saya adalah menata kembali kantor MMC yang berantakan. MMC
ketika itu menempati sebuah bangunan kecil di sudut Hotel Ambon Manise (Aman,s)
Saya kemudian mengajak Yayat, salah satu relawan TIRUS untuk membantu saya.
Saya sadar betul bahwa tugas paling berat adalah membangun kepercayaan baik
antara kawan-kawan wartawan dengan MMC, maupun antara sesame wartawan. Untuk itu, salah satu aktivitas yang sering lakukan
adalah menembus malam dengan sepeda motor, melewati ”garis demarkasi” di daerah
perbatasan, hanya sekadar ingin bermain di kantor Suara Maluku di
kawasan Skip. Saat itu Suara Maluku menjadikan rumah salah satu
wartawatinya Febby Kaihatu sebagai kantor darurat.
Di Suara Maluku, kami sering kumpul untuk
sekadar ngopi sambil bercerita ringan. Hal ini terus kami lakukan ketika
suara Maluku telah pindah kantor ke Jalan Anthoni Rebook. Selian itu kami juga
kadang mengunjungi kawan-kawan di media lain seperti Koran Dewa, Radio DMS dan
lain-lain.
Dalam hal ini orang yang paling sering saya ajak
adalah Azis Tunny. Entah berani atau nekad, Azis mau saja setiap kali saya
ajak. Azis adalah yunior saya di kampus dan juga organisasi pecinta alam
PPSWPA-KANAL. Sebuah organisasi pecinta alam yang saya dirikan bersama
kwan-kawan ketika masih kuliah di Universitas Darussalam Ambon. Azis juga mau
saja saya ajak tinggal di rumah saya di kebun cengkih yang merupakan salah satu
bekas posko Tim Relawan.
MMC mengemban tugas mengkampanyekan jurnalisme
damai. MMC tercatat paling
banyak memberi kesempatan wartawan Maluku mengikuti pelatihan jurnalistik
profesional. Sejumlah wartawan bahkan pernah dimagangkan ke media-media
nasional seperti Kompas, Tempo dan Republika.
Memikul beban yang tidak ringan, membuat saya
semakin sadar bahwa upaya ini harus dilakukan dengan melibatkan sebanyak
mungkin pihak, tidak hanya wartawan. Oleh karena itu, pada September 2002 saya
dan Azis menggagas kegiatan yang mengumpulkan sekitar
50 aktivis pecinta alam di Ambon, Islam dan Kristen, di Gladian Pecinta Alam
Maluku.
MMC kami jadikan sebagai sekretariat dan Azis
bertindak sebagai ketua panitia. Rindam Suli sebagai arena perkemahan. Siang
hari kami sama-sama belajar navigasi, harking, raffling, caving,
survival hingga fotografi dan jurnalistik lingkungan.
Saat malam tiba, api unggun dan gitar jadi teman
selama empat hari kegiatan. Mau tidur, tinggal pilih kemah mana. Kemah terpisah
hanya untuk laki-laki dan perempuan, selebihnya bebas berbaur jadi satu.
Meskipun Gladian Pecinta Alam Maluku menjadi wahana belajar dan bermain para
aktivis lingkungan, namun semangat utamanya adalah rekonsiliasi sejati. Di
Gladin ini juga saya berkenalan dengan Letnan Kolonel, Yudi Zanibar Komandan
RINDAM yang belakangan banyak membantu kerja-kerja saya dan kawan-kawan dalam
membangun rekonsiliasi.
Saya dan Asiz menilai, terlalu banyak acara
rekonsiliasi yang digagas para elit di daerah sifatnya hanya formalitas dan
seremonial. Kami ingin hadirkan satu kegiatan rekonsiliasi yang benar-benar nyata,
tanpa rekayasa dan perdebatan, dilakukan di alam bebas, tanpa aturan-aturan
sidang yang mengikat, dan tanpa agenda acara yang membosankan.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, MMC dapat
meraih simpati dan dukungan para wartawan juga para mahasiswa dan aktivis
pecinta alam. Para wartawan pun benar-benar menjadikan MMC sebagai rumah
bersama. Mereka yang awalnya enggan,
kini mulai rajin berkunjung. Di MMC, kami juga sering melakukan diskusi-diskusi
publik baik off line maupun on air dengan menghadirkan para tokoh, wartawan,
mahasiswa dan para aktivis pecinta alam. Bahkan menggelar nonton bareng sepak
bola ketika Piala Eropa 2002. Kebiasaan ini terus berjalan sampai saya
meninggalkan MMC 26 April Tahun 2004. Ketika
itu, MMC sudah saya pindahkan ke sebuah gedung lima lantai di Jalan A.Y Patti.
Selain menjadi Koordinator MMC, saya juga menjadi
reporter detik.com dan menjadi Leasion Officer untuk Tim Penyelidik Independen Nasional
(TPIN), yang sayangnya sampai tim tersebut dibukarkan tidak ada hasilnya yang
dapat diketahui oleh masyarakat. Bahkan saya yang terlibat didalam tim
tersebut.
Selain itu, saya juga sering menulis kolom di Koran Info. Kenapa Koran Info
saya sebutkan disini?, karena Koran Info suatu saat secara berturut-turut
memuat tulisan saya yang berjudul “Memerintah Senapan” dan “Pasukan Pemukul
Rakyat Coi (PPRC). Ketika itu TNI-AD memang sedang menggelar latihan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC)
di Ambon. Rupanya tulisan saya itu membuat KASAD ketika itu Ryamicard Ruacudu
tersinggung.
Begini ceritanya. Pagi itu para petinggi TNI tiba
di Ambon dalam rangka pembukaan latihan PPRC. Kawan-kawan wartawan pun menuju
ke Bandara Pattimura untuk meliput kedatangan para jenderal itu. Saat itulah
KASAD marah-marah terhadap Kapendam di depan para wartawan terkait dua tulisan
saya. Kabar ini saya dapat dari Saswaty Matakena yang menelpon langsung dari
Bandara Pattimura.
Awalnya saya pikir Saswaty bercanda. Masa seorang
jenderal marah sama Dino Umahuk. Namun selang dua jam kemudian, Letkol Yudi
Zanibar yang ketika itu sudah menjabat DANDIM Pulau Ambon datang ke MMC dan
mengajak saya bertemu Pandam XVI Pattimura. Mayjen Joko Santoso. Dengan mobil
dinasnya kami berdua ke Makodam di Kawasan Batu Meja.
Setiba di Makodam, kami langsung ke ruangan
Pandam. Mayjen Joko Santoso dengan ramah menyambut kami. Setelah bersalaman,
kami pun dipersilahkan duduk. Beliau lantas bercerita banyak tentang TNI dan tugas bela negara serta melindungi
NKRI. Intinya beliau meminta saya agar tulisan saya jangan sampai terlalu menyudutkan
TNI.
Ketika hendak pulang, beliau justeru menantang
saya dengan sebuah program. Kebetulan adik beliau di Departemen Sosial RI
memiliki sebuah program rekonsiliasi untuk pemuda, namun belum bisa
dilaksanakan. Joko Santoso pun meminta saya untuk menangani program “Outbond”
tersebut, dengan menghadirkan 50 pemuda Muslim dan 50 pemuda Kristen. Saya
menyanggupi dan minta waktu tiga hari.
Sepulang dari Makorem, Saya langsung meminta Agil
dan Handoko untuk mengumpulkan kawan-kawan mahasiswa, pelajar dan pecinta alam.
Jadilah sore itu kami rapat untuk agenda Outbond. Sejumlah kawan-kawan yang hadir dari kedua komunitas kami minta
untuk mengkoordinir kawan-kawan lain hingga genap 100 orang.
Tiga hari kemudian, tepat Pukul 08.00 WIT, 100
orang mahasiswa, pelajar dan aktivis pecinta alam, laki-laki dan perempuan
telah berkumpul di Lapangan Merdeka dan siap diangkut ke RINDAM.
Semiggu penuh kami mengikuti Outbond perdamaian
itu dengan keceriaan dan kebahagian luar biasa. Kami belajar membangun
kebersamaan, kepercayaan dan kerjasama
kelompok. Seluruh peserta melebur dan tidak ada sekat diantara kami.
Usai Outbond, saya dan Azis mengadakan Festival
Band untuk Perdamaian dengan lokasi di Lapangan Merdeka, Ambon. Setahu saya,
itu adalah acara hiburan pertama setelah konflik yang menggunakan Lapangan
Merdeka sebagai tempat kegiatan. Tadinya kami sangsi mendapat izin penggunaan
lokasi karena pertimbangan keamanan.
Beruntung kegiatan ini mendapat dukungan penuh
dari Dandim Pulau Ambon Letkol Inf. Yudi Zanibar yang menjadi jaminan untuk
acara kami itu, bahkan beliau bersedia menjadi donaturnya. Meskipun hanya
menampilkan band-band lokal, tapi suguhan musik anak-anak Ambon mampu memberi
hiburan yang menyegarkan. Antusiasme anak-anak band beserta penonton
menunjukkan muda-mudi Ambon ternyata haus hiburan. MMC turut mensponsori acara
ini.
Belum selesai sampai di situ, atas bantuan Letkol
Inf. Yudi Zanibar, Saya mendirikan
sebuah dinding panjat di Lapangan Merdeka, sekaligus mengadakan Eksebisi
Panjat Tebing antar Pecinta Alam se Maluku. Dinding panjat ini kemudian menjadi
ajang berkumpul dan latihan anak-anak muda di Kota Ambon. Sayang dinding
tersebut kini sudah dirobohkan oleh Pemerintah Kota Ambon.
Menembus Garis Demarkasi
Konflik Ambon telah membentuk demarkasi antara Muslim dan Kristen. Mulai dari
pemukiman, pasar, jalur transportasi, rumah sakit maupun pendidikan. Pendeknya
segala hal di Maluku ketika itu terpecah dua. Muslim dan Kristen
Pada masa-masa dimana kehidupan penuh dengan
sekat-sekat itu, saya selalu punya keyakinan bahwa konflik yang terjadi
bukanlah konflik agama. Kesimpulan ini saya ambil berdasarkan
pengalaman-pengalaman saya selama berkecimpung sebagai relawan semasa di TIRUS,
maupun berdasarkan pengalaman pribadi saya membangun interaksi dan hubungan-hubungan
dengan kawan-kawan Kristen.
Kadang seorang diri saya menyusuri jalanan dari
MMC di A.Y Patti ke Kebun Cengkeh, terus ke Air Besar, Ahuru, Karang Panjang,
Kopertis, Kayu Putih, turun ke Batu Meja dan balik lagi ke MMC. Bahkan dalam
banyak kesempatan, saya justru tengah berada di wilayah Kristen ketika konflik
sedang berkecamuk dan saya aman-aman saja.
Suatu saat, seorang kawan dari Jakarta (Iin
Purwanti) meminta saya menemani mereka untuk bertemu anak-anak Agas. Dia bersama seorang
temannya warga Jepang sedang membuat Film Dokumenter tentang keterlibatan
anak-anak dalam konflik bersenjata. Jadilah saya, Iin dan kawan Jepang itu,
sering bulak balik ke daerah Kopertis menemui anak-anak Agas untuk wawancara
dan pengambilan gambar.
Saat itu saya menyaksikan sendiri betapa
anak-anak usia belasan itu, begitu terampil bongkar pasang senjata baik yang
otomatis maupun rakitan. Saya pun beberapa kali diajarkan menembak oleh mereka.
Betapa konflik dan kekerasan telah merebut masa kanak-kanak mereka yang semestinya
penuh keceriaan.
Disaat lain kami bertiga beberapa kali ke bukit
salib di kawasan Mangga Dua untuk menikmati pemandangan Kota Ambon di malam
hari. Karena mereka menginap di Hotel Mutiara, jadilah setiap hari saya bulak
balik dari Kebun Cengkeh untuk menjemput dan mengantar mereka. Kadang sampai
tengah malam dan saya harus membuka dan menutup sendiri barekade yang dipasang
dekat gereja Maranatha.
Di waktu lain, dua orang kawan, Irine dari Pusat
Penesilian Sosial Politik LIPI, dan seorang kawan dari lembaga donor Frederich
Eberth Stiftung (FES) meminta saya menemani mereka jalan-jalan usai makan
malam. Kami pun ke Pantai Latuhalat menikmati malam yang sedang purnama hingga
larut malam.
Yang cukup menegangkan ketika saya menemani
Stevani, Reporter NOS sebuah televise Belanda. Malam itu kami menemui Berti
Coker di rumahnya untuk wawancara. Saya mengenal Berti ketika tinggal di Bantu
Gantung. Sedang asyik mewawancarai
Berti, terdengar bunyi tembakan yang cukup ramai dari Batu Gantung.
Saya sedikit panik hingga kamera yang saya pegang
agak goyang. Apalagi ketika istri Berti mengantar minum untuk kami dan
tiba-tiba ia nyelutuk “Acang-acang ini
dong hal banya ee. Dong pung mau apa ee”. Kamera yang tengah menyala hampir
saja lepas dari tangan saya. Untunglah saya memakai tripot. Saya mencoba untuk
tetap tenang sampai selesai wawancara dang kami lanjutkan dengan
ngobrol-ngobrol bersama Berti dan beberapa anak buahnya. Sekitar Pukul 02.00
WIT kami pamit pulang, karena besoknya kami masih akan mengambil gambar di Desa
Waai, Tulehu dan sejumlah posko pengungsian di Kota Ambon.
Ditengah-kondisi yang tidak menentu itu, kadang
keisengan saya timbul dan kawan-kawan wartawanlah yang menjadi korban. Suatu malam
saya, Agil dan Yayat sedang makan di depan
Masjid Raya Al-Fatah. Sedang
asyik makan, wartawan Ambon Ekspres, Hamid Kasim (almarhum) menghampiri kami.
Tanpa ba-bi bu dia langsung nyerocos “Dino,
ngoni deng oto? Tong pi barunda ka” ucapnya dengan logat Ternate yang khas
dan tak pernah hilang, meskipun sudah puluhan tahun dia menetap di Ambon. Saya
pun menjawab “Iyo mitos, tapi tunggu
sadiki lagi, tong abis makan dulu”
Usai makan, kami pun menuju mobil, kebetulan
Ongki Anakoda juga ingin ikut. Saya pun mengarahkan mobil ke jalan A.Y. Patti terus ke arah Gereja Maranatha,
ke jalan Pattimura dan berhenti di Batu Meja di depan Wisma Game. Sepanjang
perjalanan Hamid menjadi bahan tertawaan kami. Ketika mobil mulai memasuki
kawasan Kristen, dia hanya diam dan tidak bersuara sepatah kata pun.
Setelah mobil saya parkir di tepi jalan, saya pun
turun menemui beberapa kawan-kawan yang tengah duduk di tepi jalan sambil
menikmati minuman sopi. Mereka adalah
kawan-kawan mahasiswa dan aktivis
pecinta alam.
Kaca mobil sengaja saya turunkan separuh. Sambil
menjabat tangan dan berangkulan dengan kawan-kawan itu, saya pun berteriak “woe… ada acang satu oto nih” di dalam
mobil, Ongki dan Hamid menjadi semakin
ketakutan. Agil dan Yayat yang sudah
hafal kelakuan saya pun tertawa terpingkal-pingkal. Mereka berdua menyusul
turun bergabung dengan kami. Puas bercengkrama dengan kawan-kawan,
kami pun pulang. Sepanjang jalan Ongki dan Hamid memaki saya tiada henti sambil
tertawa.
Suatu malam, ketika saya tengah bertandang ke
kantor Suara Maluku di Jalan Anthoni Reebok, terjadi bentrokan di lampu merah
depan Pos Polisi Kota. Massa dari kedua komunitas pun berkerumun dan jalan
Sultan Khairun di blokade oleh mereka. Saya dan Rudi pun keluar dan berbaur
dengan massa yang bergerombol di depan Kantor Kejaksaan. Kira-kira setengah jam
kemudian masa dari kedua belah pihak membubarkan diri. Saya dan Rudi pun balik
ke kantornya. Sejam kemudian saya pun pamit pulang.
Kembali Meninggalkan Ambon
Tidak pernah ada dalam benak saya bahwa saya dan
keluarga akan mengungsi sekali lagi dari Kota Ambon. Kali ini penyebabnya juga
pemberitaan media. Seperti sudah saya jelaskan diawal bahwa MMC sering
melakukan diskusi-diskusi publik dengan menghadirkan berbagai kalangan.
Rencananya untuk edisi April 2004 tema diskusinya
adalah “RMS-antara Kambing Hitam dan Mimpi Inlanders. Dengan narasumber Kepala Polda Maluku, Thamrin Ely
dan Pdt. Jhon Ruhulessin. Entah bagaimana ceritanya, di tanggal 21 April, Ambon
Ekspres menurunkan laporan utama berjudul MMC fasilitasi dialog Pemerintah
dengan RMS. Berita itu juga menyebut Polda Maluku sebagai pendukung utama
kegiatan yang rencananya akan berlangsung di Hotel Aman’s itu. MMC pun membuat
klarifikasi dan hak jawab, sayangnya tidak mendapat tanggapan dari Ambon
Ekspres.
Besoknya, 22 April 2004, Rektor IAIN Ambon M.
Attamimi, langsung menurunkan statemen menentang keras rencana dialog. Attamimi
bahkan mengancam akan mengerahkan massa untuk membakar Hotel Aman’s jika dialog
itu benar dilaksanakan. Situasi semakin memanas. MMC kembali mengirimkan
klarifikasi dan hak jawab, bahwa kegiatan yang akan dilaksanakan itu
sebetulnya diskusi publik seperti biasa,
bukannya memfasilitasi dialog antara pemerintah dengan RMS. Sayangnya Ambon Ekspres kembali tidak menanggapi dan memuat
klarifikasi dan hak jawab itu.
Keesokan harinya, 23 April 2004, ketika saya
sedang mengisi sesi pelatihan jurnalistik untuk pelajar di SMU Negeri 5 di Kawasan
Galunggung, handphone saya bordering, ternyata Sekretaris Daerah Provinsi
Maluku, Isaac Saimima yang menelpon. Ketika saya menjawab sapaannya, Pak Cak
mengatakan bahwa Gubernur Maluku, Karel Albert Ralahalu ingin bicara. Saya pun mengiyakan. Rupanya sang gubernur
marah-marah kepada saya terkait berita-berita yang dimuat Ambon Ekspres dua
hari terakhir.
Saya pun menjelaskan duduk perkaranya. Namun
amarah sang gubernur tidak juga reda. Beliau malah membentak saya. “Beta seng mau tahu. Pokoknya kalau terjadi
apa-apa. Ale musti tanggungjawab”. Saya yang merasa tidak berbuat kesalahan
lantas menjawab “Loh kok saya yang
tanggung jawab? Kan bapak yang gubernur, bukan saya”. Beliau lantas
mengatakan “Pokoknya beta seng mau tau”.
Saya pun kembali menjawab “Saya juga
tidak mau tahu. Memangnya saya gubernur Maluku”. Beliau kemudian menutup
telpon.
25 April 2004, konflik Ambon meletus lagi.
Konflik dipicu oleh aksi pengibaran bendera Republik Maluku Selatan (RMS) dan
arak-arakan massa pendukung RMS dari kediaman Alex Manuputty (pemimpin
Eksekutif Front Kedaulatan Maluku/FKM) di Kelurahan Benteng menuju Mapolda
Maluku di kawasan Batumeja. Dalam perjalanan massa itu, tepat di sekitar Tugu
Trikora, muncul kelompok massa lainnya dari arah Mesjid Alfatah. Dua kelompok
massa yang ketemu langsung saling berhadap-hadapan. Pertikaian dimulai dengan
saling ejek, disusul lemparan batu, hingga serang-menyerang dengan senjata
tajam dan bom molotov. Tak lama, tembakan senapan dan ledakan bom rakitan makin
melengkapi kerusuhan massa itu.
Dalam waktu sekejap, komunitas Islam dan Kristen
kembali berhadap-hadapan di perbatasan permukiman kedua komunitas di hampir
seluruh wilayah di Ambon. Terjadi bentrok massa juga di Jalan Antony Reebok.
Kantor UNDP yang berada di jalan tersebut juga hangus terbakar. Kerusuhan
bahkan merembet sampai di sekitar MMC. Ketika itu, saya dan keluarga sudah
pindah dari Kebun Cengkeh dan menempati lantai lima gedung MMC.
Malam harinya, saya menerima menerima telepon
dari Tessa Pipper (MDF) sebuah lembaga yang mensponsori MMC dan Santoso
(Direktur KBR 68H), kebetulan mereka sedang berada di Ambon. Tadinya mereka
menginap di Hotel Mutiara, tetapi sudah diungsikan bersama rombongan pekerja
LSM Asing dan tenaga PBB yang lain ke Mako Brimob Tantui.
Mereke menanyakan kondisi kami sekeluarga dan
sutuasi Kota Ambon. Saya pun menceritakan gambaran situasi yang ada termasuk
keadaan kami sekeluarga. Mereka kemudian meminta saya dan keluarga bersiap-siap
untuk dievakuasi ke Jakarta besoak hari. Saya kemudian berbicara dengan istri
saya tentang situasi dan kondisi yang terjadi, dan arena alasan keamanan,
kawan-kawan menyarankan agar kami mengungsi untuk sementara.
Jadilah pada tanggal 26 april 2004, kami kembali meninggalkan Ambon.
Pukul 05.00 WIT dengan menumpang mobil kami ke Pante Pasar. Dari situ kami naik Speed Boat ke Negeri Laha kemudian meneruskan dengan
mobil ke BandaraPattimura. Di bandara kami bertemu Tessa dan Santoso yang
memberikan kami dua tiket pesawat atas nama mereka berdua untuk kampi pakai,
karena mereka sudah dipesankan tiket yang lain. Jadilah kami mengungsi ke
Jakarta. Dan hingga saat ini saya sudah tidak pernah lagi ke Ambon.
Meskipun saya sudah tidak pernah kembali lagi ke
Ambon, namun kisah di atas tetap meninggalkan jejak yang tak mudah hilang. Terutama karena empat orang
buah hati saya hidup di Ambon bersama ibu mereka.
Menyakitkan memang bertahan pada sebuah keyakinan
bahwa yang terjadi sebetulnya bukan konflik antar pemeluk agama. Dan kayakinan
itu telah saya bayar mahal dengan hancurnya rumah tangga dan cita-cita saya.
Tetapi biarlah. Toh semua sudah terjadi dan yang bisa kita petik adalah
pengalaman untuk menjadikan kita lebih arif dan bijaksana. Dengan demikian idup
ini mungkin akan berarti dan punya makna.
Demikianlah sekelumit perjalanan yang dapat saya ceritakan
dari sekian banyak kisah yang tidak mungkin saya ceritakan karena satu dan lain
alasan. Dengan terkadang sambil tersenyum dan terkadang sambil meneteskan
airmata.
Betapa isu, gosip, intrik, provokasi, manipulasi
informasi telah meluluhkan banyak pesona keindahan dan menguburkan kearifan
orang Maluku sebelum, selama dan sesudah perang yang tidak indah itu.
Sebagai penutup ijinkan saya mengutip sebuah
puisi yang saya tulis pada Tahun 1999 ketika masih di Ambon.
Semoga saja bermanfaat bagi kita semua:
AGAMA BUNUH DIRI
bila nanti siang kau Sholat Jum’at
barangkali di masjid Al-Fatah
atau hari minggu nanti kau ikut Kebaktian atau Missa
mungkin di Gereja
Maranatha mungkin di Keuskupan
tolong tanyakan kepada Muhammad dan Isa yang Agung itu
apakah mereka mengajarkan agama Tuhan
agar kita saling membunuh ?
Kalau memang demikian
Mengapa agama melarangku bunuh diri
Dino Umahuk
Ternate, 7 Agustus 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar