Kamis, 06 Oktober 2016

BERTAHAN PADA KEYAKINAN



Siang itu, 19 Januari 1999, sekira Pukul 13.00 WIT,  setelah usai Sholat idul Fitri di Lapangan Kampus Universitas Darussalam dan bersilaturaim ke para dosen dan kerabat, Saya memutuskan ke rumah kakak sepupu saya di Benteng Atas.   
 
Masih dengan kopiah arab dan baju gamis saya menumpang angkutan umum jurusan Waai- Kota Ambon. Alhamdulillah tidak terjadi sesuatu apa pun sampai saya turun di Mardika. Dari Mardika saya naik mikrolet ke rumah. Begitu saya sampai di depan rumah, langsung disambut pertanyaan oleh kakak sepupu saya berserta sejumlah tetangga yang kebetulan sedang duduk-duduk di teras.
 “Bagemana keadaan di kota? Katanya Batu Merah deng Mardika bakalai?” Saya pun menjawab “ Seng ada apa-apa. Cuma tadi pas turun dari oto Waii dong langsung dapa suru pigi”.
Saya pun lantas masuk ke rumah untuk sungkem dengan keluarga. Namun selang beberapa menit, para tetangga diluar mulai ribut karena ada asap tebal yang kelihatan dari arah kota. Rupanya pertikaian telah meluas. Saya pun akhirnya tertahan di rumah kakak sepupu sampai tujuh hari.
Di hari ketujuh itu, sekitar Pukul 10.00 WIT, dengan meminjam sepeda motor paman, saya pergi ke Tulehu untuk mengambil pakaian, karena ketika lebaran saya hanya datang dengan pakaian di badan.
Rupanya konflik selama enam hari menimbulkan banyak kerusakan. Dari OSM sampai Batu Gantung sejumlah bangkai mobil dan sepeda motor yang hangus terbakar di tengah jalan, di kiri- kanan jalan, rumah dan bangunan banyak yang hancur dan terbakar tinggal puing. Hal yang sama juga terjadi di Silale, Mardika dan sejumlah tempat lain.
Sebelum meneruskan perjalanan, saya  menyempatkan diri untuk mampir ke rumah keluarga Go Kim Peng alias Petrus Sayogo di samping Toko Modal. Karena sejatinya disanalah saya tinggal setahun belakangan bersama kakak angkat saya, Rudi Fofid dan Frans Watratan.
Melihat kemunculan saya yang tiba-tiba dan tidak terduga itu, Frans kaget dan agak panik. Sikapnya tidak seperti biasa. Saya pun menyalaminya dan langsung ke belakang mencari Rudi, rupanya Rudi sedang tidak di rumah. Karena mendengar suara-suara di belakang saya langsung ke belakang. Ternyata di belakang rumah ada sejumlah pemuda sedang mabuk-mabukan. Tahulah saya sekarang mengapa Fran panik.
Dengan sikap tenang saya menyapa pemuda-pemuda itu. Toh selama ini yang mereka tahu saya adalah adiknya Frans. Namun untuk menghindari hal-hal yang tidak terduga saya tidak berlama-lama dan langsung pamit ke Tulehu.
Ketika hendak kembali ke Ambon, Handphone saya berdering. Rupanya ada telepon dari Zairin Salampessy yang meminta saya untuk bertemu di rumah Sandra Lakembe di Belakang Soya. Saya kemudian menjemput Dewi Tuasikal dan menyempatkan mampir.
Rupanya mereka mengajak kami untuk bergabung di Tim Relawan untuk Kemanusiaan. Saya juga dimintai tolong untuk mengajak kawan-kawan muslim yang lain, karena ketika itu relawan muslim hanya Zairin sendiri. Usai pertemuan kami pun lantas kembali ke Benteng Atas. Zairin berjanji akan mengontak saya untuk pertemuan lanjutan dengan kawan-kawan LSM.
Hari Selasa, 26 Januari 1999,  Saya mengajak Dewi Tuasikal menemani saya ke Rinamakana di Jalan Pattimura Ambon.  Di sana ternyata para aktivis LSM sudah berkumpul. Chalid Muhammad, direktur WALHI yang sementara transit dari perjalannnya menghadiri kegiatan di Tual Maluku Tenggara juga ikut hadir. Di pertemuan itu, terbentuklah Tim Relawan untuk Kemanusiaan (Tirus).  Tim Relawan yang melayani warga korban konflik tanpa memandang suku dan agama. 
Kehadiran Chalid Muhammad di pertemuan tersebut menyisakan cerita tersendiri. Ketika itu sedang marak terjadi razia Kartu Tanda Penduduk (KTP) oleh massa. Chalid yang Muslim menginap di salah satu hotel di belakang Kantor Gubernur Maluku. Karena khawatir dengan keselamatannya, kawan-kawan meminta saya untuk segera mencari hotel di kawasan muslim.
Usai rapat Saya, Khalid dan Dewi mengecek hotel. Ternyata semua hotel di kawasan muslim penuh. Akhirnya dengan bantuan seorang kawan, kami mendaftarkan Chalid sebagai pasien di Rumah Sakit Tentara. Jadilah Halid menginap di salah satu kamar VIP selama empat hari sambil menunggu kapal ke Tual.
Sebagai relawan di Tirus, saya membantu Rudi dan Zairin mengurus komunikasi dan informasi.  Disamping itu tugas saya yang utama adalah merekrut kawan-kawan muslim untuk menjadi relawan.

Diujung Maut
Suatu hari, saya lupa tanggal dan bulan pastinya. Saya dan Oni Tosik hendak ke Rinamakana dengan menggunakan mobil. Oni duduk di depan bersama Sopir, sedangkan saya di bangku tengah.
Dari Posko situasinya tenang dan tidak ada tanda-tanda bakal terjadi kerusuhan. Namun tiba-tiba ketika sampai di Belakang Soya, entah bagaimana awalnya massa telah memenuhi jalan, barikade pun dipasang dan mereka mulai melakukan swiping terhadap kendaraan yang lewat. Reflek saya mencabut dompet dari saku celana dan membuangnya dibawah jok mobil.
Panik dan takut memang tidak bisa dibayangkan. Mobil kami terus maju perlahan. Massa meminta kami menurunkan kaca mobil. Begitu kaca mobil turun, dari jendela sebelah kiri sebilah parang dan dari jendela sebelah kanan sebuah anak panah langsung mendekat ke leher saya. Sementara di depan Oni dan Sopir langsung diberondong sejumlah pertanyaan. Massa juga meminta KTP mereka.
            Reflek saya berteriak ”Tong mau ke Rinamakana. Ada rapat deng Uskup” parang dan anak panah pun ditarik dari leher saya. Mereka lantas menyuruh kami mengarakan mobil ke Karang Panjang karena jalan didepan sedang mereka blokir.
Kami pun akhirnya ke Karang Panjang dan beristirahat disana hingga situasi mereda. Kejadian itu merupakan salah satu kejadian paling traumatis yang sampai sekarang masih membekas dalam ingatan saya.
***
Kembali ke soal tugas saya merekrut kawan-kawan Muslim. Terus terang, mulanya saya belum berani, jadi selang berapa waktu hanya saya dan kadang-kadang juga ada Dewi yang bulak-balik posko TIRUS yang ketika itu bertempat di rumah Cruisa Teta Hittipeuw di Mardika. Hingga keadaan semakin memburuk dan tidak memungkinkan lagi bagi kami untuk ke Posko. Kawan-kawan TIRUS pun sepakat agar saya jangan dulu ke Posko hingga keadaan kembali memungkinkan.
Kebetulan ketika itu ada undangan palatihan Jurnalisme Damai di Yogyakarta yang diselenggarakan oleh The British Council dan Lembaga Studi Pers dan Perdamaian (LSPP) Jakarta. Saya pun mengikuti kegiatan tersebut. Selain itu, saya juga mengikuti Workshop Pemberdayaan Rekonsiliasi yang dilaksanakan oleh Pusat Sutdi Perdamaian Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta.
Sepulang kegiatan pelatihan di Yogyakarta, situasi semakin tidak memungkinkan. Saya akhirnya memutuskan untuk membantu Thamrin Ely di Posko MUI.  Tugas saya ketika itu adalah menyiapkan press klaar dan mengkoordinir sekretariat. Sampai pada suatu hari Sandra Lakembe menelpon saya dan memberitahukan bahwa TIRUS dalam hal ini Baileo Maluku akan mengirimkan relawan untuk mengikuti Pelatihan Sanitasi dan Air Bersih di Yogyakarta.  Saya mengajak Hanafi Hole untuk pergi bersama.
Selama di Yogyakarta, selain mengikuti pelatihan, Saya dan Hanafi juga membantu Zairin dan kawan-kawan Emergency Team. Karena pertimbangan keamanan, Zairin rupanya telah mengungsi bersama keluarganya ke Yogyakarta.  Disini, atas fasilitasi INSIST telah dibentuk E-Team dimana Zairin menjadi koordinatornya.
Sepulang dari Yogyakarta, Saya, Hanafi dan Dewi mulai merekrut kawan-kawan Muslim dan membuka Posko TIRUS di Ruko Batu Merah, ketika itu masih di Blok F. Disana bergabung Linda Holle, Iksan Mahu, Ruslan Latuconsina, Biduran Kaplale dan lain-lain. Posko Ruko Batu Merah memang sengaja dibuka untuk menggampangkan akses ke kamp-kamp yang dihuni pengungsi Muslim, karena ketika itu Posko TIRUS sudah pindah ke rumah Ansye Sopacua di  Passo.
            Kerja dalam eskalasi konflik Maluku yang terus meninggi terkadang membuat risau para relawan. Misalnya, ketika relawan sedang berkumpul di Passo, tiba-tiba meletus konflik  dan suasana kota mencekam, relawan Muslim berbisik kepada Saya. “”Abang, katong aman ka seng ?” begitulah mereka mengungkapkan kegelisahan. Saya pun selalu  menjamin bahwa kami aman. Tetapi supaya keamanan itu seratus persen, kami terpaksa harus kembali ke Posko Ruko Batu Merah. 
Bahkan agar menghilangkan ketegangan, kadang-kadang saya punya ide-ide aneh yang bikin kawan-kawan mau-tidak mau harus tertawa.  Misalnya suatu waktu ketika kami hendak menghadiri pertemuan relawan di Passo, sementara pada saat itu situasi agak memanas. Saya lantas meminta Iksan Mahu salah satu relawan Posko Ruko Batu Merah untuk mengecat dua buah gagang sapu dengan cat warna hitam.
Ketika dalam perjalanan menuju Passo saya lantas meminta kawan-kawan untuk menurunkan sedikit kaca mobil dan mengeluarkan ujung kedua gagang sapu itu seolah-olah laras senapan. Kebetulan kaca mobil gelap sehingga orang dari luar tidak bisa melihat ke dalam. Kontan saja suasana di dalam mobil yang tadinya tegang berubah menjadi cair. Ada yang tertawa ada yang senyum-senyum kecil.
Suatu hari sepulang dari Passo, terjadi bentrokan antar warga, di Batu merah bawah, sebuah angkot dihadang massa. Begitu kami tiba, yang pertama saya lihat adalah empat orang sedang dikerumuni warga dan seorang pemuda sudah babak belur. Kontas saya meminta Fadli Wasahua untuk berhenti. Saya kemudian menyeruak diantara kerumunan dan berteriak stop-stop. Kawan-kawan relawan pun menyusul. Kami kemudian terlibat adu mulut dengan massa. Saya menyeret pemuda yang babak belur itu ke dalam mobil diikuti teman-teman lain yang juga membawa seorang ibu dan dua anak perempuan susia SMA. 
Dengan mobil relawan, mereka kami bawa dan kami turunkan di depan Rumah Sakit Ternate. Ternyata pemuda yang yang kami tolong adalah anak seorang Dosen fakultas Ekonomi Universitas Pattimura.
Di waktu lain, ketika Posko Ruko Batu Merah belum lama kami pinddahkan dari Blok F ke Blok A,  suatu malam, sekira pukul 20.00 WIT, saya sedang makan malam di depan Masjid Raya Al-Fatah handphone saya bordering. Rupaya Handoko  menelpon dan meminta saya segera ke Posko karena ada tentara yang datang.
Saya pun langsung ke Posko. Di depan Posko telah parkir sebuah truk militer dengan belasan tentara sedang bersiaga. Saya pun memarkir mobil Posko dibekang truk militer itu.  di dalam Posko rupanya kawan-kawan sedang berkumpul. Ada tiga orang tentara satunya perwira dan yang duanya prajurit biasa.
Saya pun lantas memperkenalkan diri dan menanyakan maksud kedatangan mereka. Rupanya mereka meminta pimpinan Posko untuk ikut ke KODIM dengan alasan ada rapat gelap di Posko.
Saya pun berdebat dengan perwira yang belakangan saya tahu namanya Letnan Kolonel, Suharto, dari Batalyon 111 Bukit Barisan itu, diperintahkan untuk menangkap saya karena telah melakukan rapat gelap dalam rangka menolak kehadiran TNI BKO di Maluku.
“Siapa yang bilang ada rapat gelap disini. Buktinya neon 4o watt delapan biji nyala semua. Bagaimana bisa bapak bilang ada rapat gelap”,tantang saya kepada Letkol Suharto. Karena situasi semakin memanas, akhirnya saya, Mahmud Rengifurwarin( ketika itu Ketua HMI Cabang Ambon) dan Hanafi Hole mau ikut ke KODIM.
Begitu keluar Posko para prajurit yang tadi bersiaga di depan langsung memegang tangan kami dan memaksa naik ke truk. Saya terus berhenti dan bilang kepada Letkol Suharto bahwa kami tidak mau ikut kalau naik truk. “Kalau naik truk kami tidak mau ikut ke KODIM. Kalau mau Pak Suhatro ikut di mobil relawan”.
Letkol Suharto akhirnya mau mengalah dan ikut mobil relawan. Dikawal truk militer kami lantas ke KODIM di kawasan Batu Meja. Di perjalanan Letkol Suharto meminta maaf karena sudah membuat kawan-kawan relawan tidak nyaman. Beliau mengaku pasukannya baru tiba pagi hari dan malamnya diperintahkan untuk menangkap kami.
Setiba di MAKODIM, kami bertiga dimasukkan ke dalam sebuah Aula dan dibiarkan begitu saja sampai tengah malam. Kira-kira pukul 02.00 WIT seorang pewira menengah datang membuka pintu Aula dan mempersilahkan kami pulang.
Di Posko Ruko Batu Merah Blok A ini, sejumlah kawan-kawan relawan kembali bergabung. Meraka adalah anggota kelompok pecinta alam PPSWPA Kanal dan sejumlah anak muda dari  negeri Liang dan Tulehu, seperti Handoko, Hadi, Mukhlis, Memet, Yayat, Ani Wakano dan lain-lain.

Jurnalisme Damai
Hubungan-hubungan pribadi saya dengan para aktivis LSM dan wartawan di Ambon dan Jakarta, membuat saya dipercaya oleh Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) Jakarta sebagai koordinator dalam Pelatihan Jurnalisme Damai, Januari tahun 2000.  Inilah untuk pertama kalinya wartawan di tengah konflik Ambon bertemu secara massal.  Selain memperkenalkan konsep jurnalisme damai, forum ini mulai memikirkan adanya semacam media centre bagi wartawan Maluku.
Pelatihan itu berkesan sekali bagi sekitar 50 peserta.  Mereka mendapat pencerahan tentang jurnalisme perang dan jurnalisme damai.  Teman-teman wartawan juga mulai sadar bahwa Maluku membutuhkan intervensi jurnalisme damai.
Pengalaman pelatihan yang menghadirkan para narasumber seperti Rusdi Marpaung, Albert Kuhon, Ignatius Haryanto, dan lain-lain, kemudian membelokkan trend berita banyak wartawan di Ambon, meskipun butuh proses cukup panjang.  Lahirnya Maluku Media Centre (MMC) tahun 2002 lebih memperkuat kampanye jurnalisme damai di Maluku.

Dituduh Provokator
Posko Tirus Ruko Batu Merah yang semakin berkembang, ternyata mendapat kepercayaan dari sejumlah LSM yang konsern pada konflik Maluku. Lembaga seperti KontraS, TRK Jakarta bahkan Relawan Istana yang dibentuk Ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid. Kawan-kawan di Posko induk pun  membebaskan kami untuk bekerja sama dengan siapa saja sepanjang memenuhi prinsip-prinsip kemanusian.
Ketika itu selain aktif sebagai relawan Tirus, saya juga menjadi  relawan KontraS dan relawan Istana. Disamping bekerja sebagai wartawan Ambon Ekspres. Selain itu saya, Thamrin Ely dan Yusran Laitupa mendirikan sebuah LSM bernama Maluku Watch.
Suatu hari saya lupa tanggal pastinya. Relawan Istana Mufti Makarim Al-Akhlak menelpon saya dan memberi tahu bahwa pihaknya tengah mengirim bantuan ke Ambon. Bantuan dikirim melalui KM. Lambelu. Dia dan Abu Said Pelu dari Kontras ikut dalam kapal tersebut.
Jam lima subuh saya dan sejumlah relawan menuju ke dermaga Yos Sudarso untuk menjemput mereka dan mengambil barang-barang bantuan, berupa obat-obatan, makanan instan, susu dan pakaian.
Ternyata pelabuhan di jaga ketat oleh aparat gabungan TNI/Polri. Maklum waktu itu Laskar Jihad mulai masuk ke Maluku. Karena KM Lambelu sudah merapat, kami pun masuk ke dermaga. Sekira pukul 06.00 WIT, Mufti dan Abu Said dari kapal. Kami pun berembuk untuk mengatur pengangkutan barang bantuan ke Posko. Sejumlah mobil truk pun kami siapkan untuk itu.
Namun ada yang aneh. Aparat gabungan TNI/Polri yang kami kira akan melakukan sweeping terhadap Laskar Jihad ternyata malah menahan barang-barang bentuan yang sudah turun diatas dermaga. Dengan metal detector mereka memeriksa satu demi satu barang-barang yang kami tumpuk diatas dermaga. Beberapa dari mereka malah merusak kardus-kardus berisi barang bantuan itu dengan pisau sangkur mereka.
Saya dan Abu Said mengambil inisiatif untuk bertanya. Ternyata jawaban yang kami dapat membuat kami tercengang. Gelar pasukan gabungan dimaksudkan untuk menangkap provokator sekaligus menahan barang-barang bantuan alat komunikasi yang dikirim oleh RMS.
Kami pun protes karena merasa tidak bersalah. Namun sejumlah prajurit mulai mengangkut  sejumlah barang bantuan yang tadinya mereka pisahkan ke dalam sebuah truk militer. Ternyata barang-barang yang diangkut itu adalah alat komunikasi berupa 70 pesawat handy talki, 2 buah pesawat CB berserta peralatan dan pemancarnya yang dimaksudkan untuk membantu kerja relawan di posko-posko pengungsian.
Dalam kondisi masih tercengang dan tidak percaya, tiba-tiba sebuah mobil patroli datang. Seorang perwira polisi turun dari mobil tersebut dan menghampiri kami. Tanpa memperkenalkan diri dia langsung bertanya “Siapa yang bertanggungjawab dengan barang-barang ini?”. Saya dan Abu Said pun menjawab secara bersamaan. “ Tim Relawan untuk Kemanusiaan. Perwira itu bertanya lagi ”Siapa pimpinannya?” Saya dan Abu Said kembali menjawab. “Kami berdua Pak”.  Perwira yang saya tidak hafal nama dan pangkatnya itu pun lantas mengatakan “ Ayo ikut saya ke markas.
Melihat gelagat yang tidak baik, saya dan Abu Said pun meminta kawan-kawan relawan yang lain untuk membawa barang-barang yang tidak disita ke Posko serta meminta Mufti untuk ikut dengan mereka.  Ketika peristiwa ini terjadi sejumlah wartawan yang juga teman-teman saya terlihat sibuk mengambil gambar dan mewawancarai beberapa perwira TNI/Polri.
Kawan-kawan kemudian mengangkuti barang bantuan ke Posko Ruko Batu Merah. Dan karena Posko batu merah penuh, maka sebagaian barang bantuan saya minta kepada kawan-kawan untuk menaruhnya di kantor Maluku Watch di Kawasan Parigi Lima, sekaligus mengantar Mufti untuk chek in di Hotel Abdulalie.  Sementara saya dan Abu Said Pelu dibawa ke Markas Komandan Sektor (Markas BKO) di Eks Gedung Puskud Jalan A.Y. Patti.
Setiba di Markas Sektor, kami dimasukkan ke dalam salah satu bilik dan disuruh menunggu. Sekira satu jam, saya kemudian dipanggil oleh seorang prajurit untuk menghadap komandannya.
Sang komandan pun bertanya. “Nama?”. Saya menyebut nama saya. “Pekerjaan?” saya menjawab “ wartawan dan aktivis kemanusiaan Pak”.  “Tahu kenapa ditahan?” saya menjawab tidak tahu. Sang komandan pun lantas menjelaskan banyak hal terkait penahanan saya yang sangat tidak masuk akal. Intinya dia mengatakan bahwa pihak TNI/Polri  telah mendapat laporan intelijen tentang masuknya provokator dan bantuan alat komunikasi canggih untuk para aktivis RMS di Maluku. Saya pun berupaya untuk menjelaskan duduk perkara tentang bantuan dimaksud termasuk alat komunikasi yang mereka sita.
Ternyata si Komandan Sektor berpangkat Letnan Kolonel ini, tidak tahu siapa itu ibu negara. Dia malah bertanya jadi maksud anda barang-barang itu adalah bantuan dari Ibu Megawati?. Ketika itu Megawati adalah Wakil Presiden RI. Saya pun langsung menjawab dengan tersenyum. “Pak-pak kalau Megawati itu Wakil Presiden RI. Kalau Ibu Negara itu Ibu Sinta Nuriyah Istrinya Gus Dur Presiden RI. Tak disangka dua prajurit yang tengah berdisi di samping kiri-kanan saya langsung menghantamkan popor senjata mereka ke kedua pelipis saja.
Belum cukup sampai disitu. Sang komandan kembali bertanya. Kenal sama yang namanya Munir?. Saya menjawab “Kenal Pak, beliau Koordinator KontraS pimpinan saya. Saya relawan KontraS pak”. Belum putus saya bicara si komandan langsung nyerocos berarti kau mata-mata Yahudi ya? Kenal dimana sama Munir? Saya kembali menjawab. “Bukan Pak. Saya wartawan dan relawan kemanusiaan. Sama Cak Munir kenal di kantorlah kan beliau pimpinan saya”. Karena dianggap menghina komandannya barangkali kedua prajurit itu membentak dan kembali memukul saya dengan popor senapan.
Si komandan yang tidak tau kenapa tiba-tiba berubah ramah kemudian meminta saya menjelaskan secara runut tentang diri saya dan kaitan saya dengan KontraS, Relawan Istana, dan perihal kerja TIRUS. Usai memberi penjelasan secara panjang lebar, si komandan dengan mimik terkesan ramah bertanya. “Kalau teman kamu yang diluar siapa?  Pikiran usil saya mulai muncul. Saya lantas menjawab. Kalau yang diluar itu Pak Abu Said Pellu, SH, pengacaranya Munir. Beliau dikirim kesini selain untuk mengantarkan bantuan kemanusiaan, juga sekaligus untuk memantau situasi dan kondisi Maluku yang hasilnya akan dilaporkan kepada presiden”.
Sambil menjawab saya beranikan diri untuk menatap wajah komandan itu. dan dia sepertinya kaget mendengar jawaban saya. Dengan wajah manis si komandan kemudian mempersilahkan saya untuk meninggalkan ruangan dan meminta saya untuk memanggil Abu Said untuk menghadap.
Diluar saya bilang kepada Abu Said agar kalau ditanya dia marah-marah bila perlu gebrak meja. Saya cerita ke Abu Said perihal apa yang terjadi didalam ketika saya di interogasi. Benar saja Abu Said yang memang suaranya besar itu kedengaran marah marah didalam ruangan komandan.
Sekitar 15 menit Abu Said keluar dengan senyum-senyum. Kami pun diminta untuk duduk di ruang tunggu. Tak berselang lama, dua bungkus nasi padang dan dua botol air mineral disuguhkan kepada kami. Usai makan, kami kemudian diantar ke mobil patrol polisi yang sudah siap di depan markas. Kami pun lantas dibawa ke Mapolres Pulau Ambon di Parigi Lima.
Setiba di Mapolres, kami digiring ke ruang kerja Kapolres, sayang saya sudah lupa namanya. Beruntung Kapolres adalah mahasiswa Cak Munir di PTIK. Jadilah kami ngobrol dengan santai di ruang kerjanya.
Selang berapa lama kami dipersilahkan menuju ruangan pemeriksaan untuk di BAP. Namun karena polisi bingung bagaimana membuat BAPnya dan kami berdua pun tidak mau menandatangani kalau BAP itu jadi, maka Kapolres pun mempersilahkan kami pulang dengan jaminan dirinya.
Dari Polres, saya mengantar Abu Said ke Hotel Abdulalie lalu pulang ke rumah di BTN Kebun Cengkeh untuk mandi dan istirahat. Karena lelah saya memutuskan untuk istirahat total di rumah hari itu dan malamnya baru akan bertemu dengan Mufti dan Abu Said untuk membahas rencana selanjutnya.
Tapi apa hendak dikata. Malam itu, Pukul 20.00 WIT, TVRI Stasiun Ambon menyairkan berita penangkapan provokator berikut barang bukti oleh aparat gabungan TNI/Polri i. Wajah saya dan Abu Said terpampang di layar televisi sebagai pesakitan. Saya langsung menelepon  Abu Said dan Mufti. Ternyata mereka berdua juga menonton berita tersebut. Kami sepakat untuk tenang dan memantau perkembangan situasi. Saya juga meminta kawan-kawan relawan di Posko Ruko Batu Merah untuk waspada.
Sekira pukul 23.00 WIT saya kembali menelepon Abu Said dan Mufti, namun Handphone keduanya tidak bisa dihubungi. Saya memutuskan untuk mengecek ke hotel Abdulalie. Ternyata mereka sudah cek out. Bingung dan panik saya mencoba mengontak beberapa orang, rupanya tidak ada yang tahu kemana mereka berdua. Karena tidak ada kabar, saya memutuskan untuk kembali ke rumah. Sampai besok siang baru ada kabar dari Mufti bahwa semalam mereka dievakuasi ke Markas Brimob di Tantui, dan dari sana subuh harinya mereka diantar ke bandara dan di terbangkan ke Sorong dengan pesawat Hercules. Dari sorong mereka berdua kemudian kembali ke Jakarta.
Dari Mufti saya kemudian tahu bahwa malam itu sejumlag orang mencari mereka ke Hotel. Dan untungnya pihak hotel kemudian berkoordinasi dengan aparat kepolisian untuk mengevakuasi mereka berdua.
Selang tiga hari setelah penyiaran berita oleh TVRI Ambon, situasi kota Ambon menjadi memanas. Konflik kembali pecah. Kali ini Markas Brimob di Tantui, Kampus UKIM dan Kampus Universitas Pattimura ludes terbakar.
Secara pribadi, Saya dan keluarga pun merasa tidak aman. Apalagi ketika itu anak sulung saya Vinapora Lailiani Setyananda, buah pernikahan saya dengan Dewi Tuasikal baru berusia kurang lebih seminggu.
Sejumlah prajurit TNI yang tidak saya kenal, tiba-tiba mulai rajin bertamu ke rumah, begitu juga anggota Laskar Jihad. Yang lebih berbahaya lagi ketika suatu hari saya sedang berada di Kantor Maluku Watch. Ketika saya membuka jendela depan,  tiba-tiba terdengar bunyi dua kali tembakan. Dan bunyi peluru berdesing di dekat saya. Rupanya kedua butir peluru itu mengenai tembok samping kiri jendela beberapa inchi dari dari tempat saya berdiri.
Saya pun menutup kembali jendela dan langsung menelepon Sandra Lakembe. Sandra lantas meminta saya untuk segera pulang dan menunggu kabar darinya. Setiba di rumah saya meminta Dewi untuk bersiap-siap terhadap segala kemungkinan. Tak berapa lama kemudian Sandra kembali menelepon saya dan meminta saya segera bersiap-siap untuk dievakuasi ke Yogyakarta.
Malam itu juga, dengan bantuan dana dari Alissa Abdurrahman Wahid (Putri Sulung Gus Dur) kami sekeluarga meninggalkan Ambon. Dengan menumpang KM. Lambelu, Saya, Dewi dan Nanda menuju Surabaya. Dari Surabaya kami naik bis ke Yogyakarta.
Di Kota Gudeg ini, selama tiga bulan kami sekeluarga ditampung di rumah Arifah Rahmawati. Arifah adalah salah satu aktivis Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM yang saya kenal selama bergelut dalam menangani konflik Maluku.
Saya kemudian dipanggil ke Jakarta untuk membantu KontraS. Di KontraS saya diperbantukan di divisi investigasi dan mengurusi Buletin KontraS. Tiga bulan pertama, kami di tampung di rumah aman yang juga merupakan kediaman ibu Ade Sitompul (aktivis kemanusiaan sekaligus salah satu pendiri KontraS).
Ketika di KontraS inilah kami sempat membuat sebuah film dokumenter tentang konflik Maluku, hasil kerjasama antara KontraS dan Yayasan Set pimpinan Garin Nugroho. Film ini sempat diputar di Jakarta Internasional Film Festival (JiFest 2001) dan masuk sebagai salah satu filam terbaik kategori HAM. Selain itu saya juga membantu pelaksanaan pertemuan Raja-Raja Maluku yang diberi nama Baku Bae Maluku.
Kami kemudian pindah ke Jalan Otto Iskandardinata dan pindah lagi ke Kawasan Warung Buncit. Ketika di Warung Buncit, Saya sudah dipindahkan dari KontraS ke radio Voice of Human Rigth (VHR). Disini saya bertetangga dengan Zairin yang sudah duluan pindah dari Yogyakarta. Karena Tim Relawan untuk Kemanusiaan menutup Posko Emergency Team dan membuka Posko Baru di Jakarta bernama Tim Advokasi Penyelesaian Konflik Ambon (Tapak Ambon) dimana Zairin menjadi koordinatornya.
Hampir dua tahun di Jakarta, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) membentuk Maluku Media Centre (MMC).  MMC terbentuk setelah AJI-Indonesia memfasilitasi pertemuan wartawan Islam-Kristen Maluku dan Maluku Utara di Bogor tahun 2002. Saya kemudian diminta kembali ke Ambon untuk mengurusi MMC menggantikan Wahyuana. Jadilah saya dan keluarga kembali ke Ambon.  
Tugas pertama saya adalah menata kembali kantor MMC yang berantakan. MMC ketika itu menempati sebuah bangunan kecil di sudut Hotel Ambon Manise (Aman,s) Saya kemudian mengajak Yayat, salah satu relawan TIRUS untuk membantu saya.
Saya sadar betul bahwa tugas paling berat adalah membangun kepercayaan baik antara kawan-kawan wartawan dengan MMC, maupun antara sesame wartawan. Untuk itu, salah satu aktivitas yang sering lakukan adalah menembus malam dengan sepeda motor, melewati ”garis demarkasi” di daerah perbatasan, hanya sekadar ingin bermain di kantor Suara Maluku di kawasan Skip. Saat itu Suara Maluku menjadikan rumah salah satu wartawatinya Febby Kaihatu sebagai kantor darurat.
Di Suara Maluku, kami sering kumpul untuk sekadar ngopi sambil bercerita ringan. Hal ini terus kami lakukan ketika suara Maluku telah pindah kantor ke Jalan Anthoni Rebook. Selian itu kami juga kadang mengunjungi kawan-kawan di media lain seperti Koran Dewa, Radio DMS dan lain-lain.
Dalam hal ini orang yang paling sering saya ajak adalah Azis Tunny. Entah berani atau nekad, Azis mau saja setiap kali saya ajak. Azis adalah yunior saya di kampus dan juga organisasi pecinta alam PPSWPA-KANAL. Sebuah organisasi pecinta alam yang saya dirikan bersama kwan-kawan ketika masih kuliah di Universitas Darussalam Ambon. Azis juga mau saja saya ajak tinggal di rumah saya di kebun cengkih yang merupakan salah satu bekas posko Tim Relawan.

Merajut Kepercayaan
MMC mengemban tugas mengkampanyekan jurnalisme damai.  MMC tercatat paling banyak memberi kesempatan wartawan Maluku mengikuti pelatihan jurnalistik profesional. Sejumlah wartawan bahkan pernah dimagangkan ke media-media nasional seperti Kompas, Tempo dan Republika.
Memikul beban yang tidak ringan, membuat saya semakin sadar bahwa upaya ini harus dilakukan dengan melibatkan sebanyak mungkin pihak, tidak hanya wartawan. Oleh karena itu, pada September 2002 saya dan Azis menggagas kegiatan yang mengumpulkan sekitar 50 aktivis pecinta alam di Ambon, Islam dan Kristen, di Gladian Pecinta Alam Maluku.
MMC kami jadikan sebagai sekretariat dan Azis bertindak sebagai ketua panitia. Rindam Suli sebagai arena perkemahan. Siang hari kami sama-sama belajar navigasi, harking, raffling, caving, survival hingga fotografi dan jurnalistik lingkungan.
Saat malam tiba, api unggun dan gitar jadi teman selama empat hari kegiatan. Mau tidur, tinggal pilih kemah mana. Kemah terpisah hanya untuk laki-laki dan perempuan, selebihnya bebas berbaur jadi satu. Meskipun Gladian Pecinta Alam Maluku menjadi wahana belajar dan bermain para aktivis lingkungan, namun semangat utamanya adalah rekonsiliasi sejati. Di Gladin ini juga saya berkenalan dengan Letnan Kolonel, Yudi Zanibar Komandan RINDAM yang belakangan banyak membantu kerja-kerja saya dan kawan-kawan dalam membangun rekonsiliasi.
Saya dan Asiz menilai, terlalu banyak acara rekonsiliasi yang digagas para elit di daerah sifatnya hanya formalitas dan seremonial. Kami ingin hadirkan satu kegiatan rekonsiliasi yang benar-benar nyata, tanpa rekayasa dan perdebatan, dilakukan di alam bebas, tanpa aturan-aturan sidang yang mengikat, dan tanpa agenda acara yang membosankan.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, MMC dapat meraih simpati dan dukungan para wartawan juga para mahasiswa dan aktivis pecinta alam. Para wartawan pun benar-benar menjadikan MMC sebagai rumah bersama.  Mereka yang awalnya enggan, kini mulai rajin berkunjung. Di MMC, kami juga sering melakukan diskusi-diskusi publik baik off line maupun on air dengan menghadirkan para tokoh, wartawan, mahasiswa dan para aktivis pecinta alam. Bahkan menggelar nonton bareng sepak bola ketika Piala Eropa 2002. Kebiasaan ini terus berjalan sampai saya meninggalkan MMC 26 April  Tahun 2004. Ketika itu,  MMC sudah saya pindahkan ke sebuah gedung lima lantai di Jalan A.Y Patti.
Selain menjadi Koordinator MMC, saya juga menjadi reporter detik.com dan menjadi Leasion Officer untuk Tim Penyelidik Independen Nasional (TPIN), yang sayangnya sampai tim tersebut dibukarkan tidak ada hasilnya yang dapat diketahui oleh masyarakat. Bahkan saya yang terlibat didalam tim tersebut. 
Selain itu, saya juga sering menulis kolom di Koran Info. Kenapa Koran Info saya sebutkan disini?, karena Koran Info suatu saat secara berturut-turut memuat tulisan saya yang berjudul “Memerintah Senapan” dan “Pasukan Pemukul Rakyat Coi (PPRC). Ketika itu TNI-AD memang sedang menggelar  latihan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) di Ambon. Rupanya tulisan saya itu membuat KASAD ketika itu Ryamicard Ruacudu tersinggung.
Begini ceritanya. Pagi itu para petinggi TNI tiba di Ambon dalam rangka pembukaan latihan PPRC. Kawan-kawan wartawan pun menuju ke Bandara Pattimura untuk meliput kedatangan para jenderal itu. Saat itulah KASAD marah-marah terhadap Kapendam di depan para wartawan terkait dua tulisan saya. Kabar ini saya dapat dari Saswaty Matakena yang menelpon langsung dari Bandara Pattimura.
Awalnya saya pikir Saswaty bercanda. Masa seorang jenderal marah sama Dino Umahuk. Namun selang dua jam kemudian, Letkol Yudi Zanibar yang ketika itu sudah menjabat DANDIM Pulau Ambon datang ke MMC dan mengajak saya bertemu Pandam XVI Pattimura. Mayjen Joko Santoso. Dengan mobil dinasnya kami berdua ke Makodam di Kawasan Batu Meja.
Setiba di Makodam, kami langsung ke ruangan Pandam. Mayjen Joko Santoso dengan ramah menyambut kami. Setelah bersalaman, kami pun dipersilahkan duduk. Beliau lantas bercerita banyak tentang  TNI dan tugas bela negara serta melindungi NKRI. Intinya beliau meminta saya agar tulisan saya jangan sampai terlalu menyudutkan TNI.
Ketika hendak pulang, beliau justeru menantang saya dengan sebuah program. Kebetulan adik beliau di Departemen Sosial RI memiliki sebuah program rekonsiliasi untuk pemuda, namun belum bisa dilaksanakan. Joko Santoso pun meminta saya untuk menangani program “Outbond” tersebut, dengan menghadirkan 50 pemuda Muslim dan 50 pemuda Kristen. Saya menyanggupi dan minta waktu tiga hari.
Sepulang dari Makorem, Saya langsung meminta Agil dan Handoko untuk mengumpulkan kawan-kawan mahasiswa, pelajar dan pecinta alam. Jadilah sore itu kami rapat untuk agenda Outbond. Sejumlah kawan-kawan  yang hadir dari kedua komunitas kami minta untuk mengkoordinir kawan-kawan lain hingga genap 100 orang.
Tiga hari kemudian, tepat Pukul 08.00 WIT, 100 orang mahasiswa, pelajar dan aktivis pecinta alam, laki-laki dan perempuan telah berkumpul di Lapangan Merdeka dan siap diangkut ke RINDAM.
Semiggu penuh kami mengikuti Outbond perdamaian itu dengan keceriaan dan kebahagian luar biasa. Kami belajar membangun kebersamaan, kepercayaan  dan kerjasama kelompok. Seluruh peserta melebur dan tidak ada sekat diantara kami.
Usai Outbond, saya dan Azis mengadakan Festival Band untuk Perdamaian dengan lokasi di Lapangan Merdeka, Ambon. Setahu saya, itu adalah acara hiburan pertama setelah konflik yang menggunakan Lapangan Merdeka sebagai tempat kegiatan. Tadinya kami sangsi mendapat izin penggunaan lokasi karena pertimbangan keamanan.
Beruntung kegiatan ini mendapat dukungan penuh dari Dandim Pulau Ambon Letkol Inf. Yudi Zanibar yang menjadi jaminan untuk acara kami itu, bahkan beliau bersedia menjadi donaturnya. Meskipun hanya menampilkan band-band lokal, tapi suguhan musik anak-anak Ambon mampu memberi hiburan yang menyegarkan. Antusiasme anak-anak band beserta penonton menunjukkan muda-mudi Ambon ternyata haus hiburan. MMC turut mensponsori acara ini.
Belum selesai sampai di situ, atas bantuan Letkol Inf. Yudi Zanibar, Saya mendirikan  sebuah dinding panjat di Lapangan Merdeka, sekaligus mengadakan Eksebisi Panjat Tebing antar Pecinta Alam se Maluku. Dinding panjat ini kemudian menjadi ajang berkumpul dan latihan anak-anak muda di Kota Ambon. Sayang dinding tersebut kini sudah dirobohkan oleh Pemerintah Kota Ambon.

Menembus Garis Demarkasi
Konflik Ambon telah membentuk demarkasi  antara Muslim dan Kristen. Mulai dari pemukiman, pasar, jalur transportasi, rumah sakit maupun pendidikan. Pendeknya segala hal di Maluku ketika itu terpecah dua. Muslim dan Kristen
Pada masa-masa dimana kehidupan penuh dengan sekat-sekat itu, saya selalu punya keyakinan bahwa konflik yang terjadi bukanlah konflik agama. Kesimpulan ini saya ambil berdasarkan pengalaman-pengalaman saya selama berkecimpung sebagai relawan semasa di TIRUS, maupun berdasarkan pengalaman pribadi saya membangun interaksi dan hubungan-hubungan dengan kawan-kawan Kristen.
Kadang seorang diri saya menyusuri jalanan dari MMC di A.Y Patti ke Kebun Cengkeh, terus ke Air Besar, Ahuru, Karang Panjang, Kopertis, Kayu Putih, turun ke Batu Meja dan balik lagi ke MMC. Bahkan dalam banyak kesempatan, saya justru tengah berada di wilayah Kristen ketika konflik sedang berkecamuk dan saya aman-aman saja.
Suatu saat, seorang kawan dari Jakarta (Iin Purwanti) meminta saya menemani mereka untuk  bertemu anak-anak Agas. Dia bersama seorang temannya warga Jepang sedang membuat Film Dokumenter tentang keterlibatan anak-anak dalam konflik bersenjata. Jadilah saya, Iin dan kawan Jepang itu, sering bulak balik ke daerah Kopertis menemui anak-anak Agas untuk wawancara dan pengambilan gambar.
Saat itu saya menyaksikan sendiri betapa anak-anak usia belasan itu, begitu terampil bongkar pasang senjata baik yang otomatis maupun rakitan. Saya pun beberapa kali diajarkan menembak oleh mereka. Betapa konflik dan kekerasan telah merebut masa kanak-kanak mereka yang semestinya penuh keceriaan.
Disaat lain kami bertiga beberapa kali ke bukit salib di kawasan Mangga Dua untuk menikmati pemandangan Kota Ambon di malam hari. Karena mereka menginap di Hotel Mutiara, jadilah setiap hari saya bulak balik dari Kebun Cengkeh untuk menjemput dan mengantar mereka. Kadang sampai tengah malam dan saya harus membuka dan menutup sendiri barekade yang dipasang dekat gereja Maranatha.
Di waktu lain, dua orang kawan, Irine dari Pusat Penesilian Sosial Politik LIPI, dan seorang kawan dari lembaga donor Frederich Eberth Stiftung (FES) meminta saya menemani mereka jalan-jalan usai makan malam. Kami pun ke Pantai Latuhalat menikmati malam yang sedang purnama hingga larut malam.
Yang cukup menegangkan ketika saya menemani Stevani, Reporter NOS sebuah televise Belanda. Malam itu kami menemui Berti Coker di rumahnya untuk wawancara. Saya mengenal Berti ketika tinggal di Bantu Gantung.  Sedang asyik mewawancarai Berti, terdengar bunyi tembakan yang cukup ramai dari Batu Gantung.
Saya sedikit panik hingga kamera yang saya pegang agak goyang. Apalagi ketika istri Berti mengantar minum untuk kami dan tiba-tiba ia nyelutuk “Acang-acang ini dong hal banya ee. Dong pung mau apa ee”. Kamera yang tengah menyala hampir saja lepas dari tangan saya. Untunglah saya memakai tripot. Saya mencoba untuk tetap tenang sampai selesai wawancara dang kami lanjutkan dengan ngobrol-ngobrol bersama Berti dan beberapa anak buahnya. Sekitar Pukul 02.00 WIT kami pamit pulang, karena besoknya kami masih akan mengambil gambar di Desa Waai, Tulehu dan sejumlah posko pengungsian di Kota Ambon.
Ditengah-kondisi yang tidak menentu itu, kadang keisengan saya timbul dan kawan-kawan wartawanlah yang menjadi korban. Suatu malam saya, Agil dan Yayat sedang makan di depan  Masjid  Raya Al-Fatah. Sedang asyik makan, wartawan Ambon Ekspres, Hamid Kasim (almarhum) menghampiri kami. Tanpa ba-bi bu dia langsung nyerocos “Dino, ngoni deng oto? Tong pi barunda ka” ucapnya dengan logat Ternate yang khas dan tak pernah hilang, meskipun sudah puluhan tahun dia menetap di Ambon. Saya pun menjawab “Iyo mitos, tapi tunggu sadiki lagi, tong abis makan dulu
Usai makan, kami pun menuju mobil, kebetulan Ongki Anakoda juga ingin ikut. Saya pun mengarahkan mobil ke jalan A.Y. Patti terus ke arah Gereja Maranatha, ke jalan Pattimura dan berhenti di Batu Meja di depan Wisma Game. Sepanjang perjalanan Hamid menjadi bahan tertawaan kami. Ketika mobil mulai memasuki kawasan Kristen, dia hanya diam dan tidak bersuara sepatah kata pun. 
Setelah mobil saya parkir di tepi jalan, saya pun turun menemui beberapa kawan-kawan yang tengah duduk di tepi jalan sambil menikmati  minuman sopi. Mereka adalah kawan-kawan mahasiswa dan  aktivis pecinta alam. 
Kaca mobil sengaja saya turunkan separuh. Sambil menjabat tangan dan berangkulan dengan kawan-kawan itu, saya pun berteriak “woe… ada acang satu oto nih” di dalam mobil, Ongki dan Hamid menjadi  semakin ketakutan.  Agil dan Yayat yang sudah hafal kelakuan saya pun tertawa terpingkal-pingkal. Mereka berdua menyusul turun bergabung dengan kami. Puas bercengkrama dengan kawan-kawan, kami pun pulang. Sepanjang jalan Ongki dan Hamid memaki saya tiada henti sambil tertawa.
Suatu malam, ketika saya tengah bertandang ke kantor Suara Maluku di Jalan Anthoni Reebok, terjadi bentrokan di lampu merah depan Pos Polisi Kota. Massa dari kedua komunitas pun berkerumun dan jalan Sultan Khairun di blokade oleh mereka. Saya dan Rudi pun keluar dan berbaur dengan massa yang bergerombol di depan Kantor Kejaksaan. Kira-kira setengah jam kemudian masa dari kedua belah pihak membubarkan diri. Saya dan Rudi pun balik ke kantornya. Sejam kemudian saya pun pamit pulang.

Kembali Meninggalkan Ambon
Tidak pernah ada dalam benak saya bahwa saya dan keluarga akan mengungsi sekali lagi dari Kota Ambon. Kali ini penyebabnya juga pemberitaan media. Seperti sudah saya jelaskan diawal bahwa MMC sering melakukan diskusi-diskusi publik dengan menghadirkan berbagai kalangan.
Rencananya untuk edisi April 2004 tema diskusinya adalah “RMS-antara Kambing Hitam dan Mimpi Inlanders. Dengan narasumber Kepala Polda Maluku, Thamrin Ely dan Pdt. Jhon Ruhulessin. Entah bagaimana ceritanya, di tanggal 21 April, Ambon Ekspres menurunkan laporan utama berjudul MMC fasilitasi dialog Pemerintah dengan RMS. Berita itu juga menyebut Polda Maluku sebagai pendukung utama kegiatan yang rencananya akan berlangsung di Hotel Aman’s itu. MMC pun membuat klarifikasi dan hak jawab, sayangnya tidak mendapat tanggapan dari Ambon Ekspres.
Besoknya, 22 April 2004, Rektor IAIN Ambon M. Attamimi, langsung menurunkan statemen menentang keras rencana dialog. Attamimi bahkan mengancam akan mengerahkan massa untuk membakar Hotel Aman’s jika dialog itu benar dilaksanakan. Situasi semakin memanas. MMC kembali mengirimkan klarifikasi dan hak jawab, bahwa kegiatan yang akan dilaksanakan itu sebetulnya  diskusi publik seperti biasa, bukannya memfasilitasi dialog antara pemerintah dengan RMS. Sayangnya Ambon Ekspres kembali tidak menanggapi dan memuat klarifikasi dan hak jawab itu.
Keesokan harinya, 23 April 2004, ketika saya sedang mengisi sesi pelatihan jurnalistik untuk pelajar di SMU Negeri 5 di Kawasan Galunggung, handphone saya bordering, ternyata Sekretaris Daerah Provinsi Maluku, Isaac Saimima yang menelpon. Ketika saya menjawab sapaannya, Pak Cak mengatakan bahwa Gubernur Maluku, Karel Albert Ralahalu ingin bicara.  Saya pun mengiyakan. Rupanya sang gubernur marah-marah kepada saya terkait berita-berita yang dimuat Ambon Ekspres dua hari terakhir.
Saya pun menjelaskan duduk perkaranya. Namun amarah sang gubernur tidak juga reda. Beliau malah membentak saya. “Beta seng mau tahu. Pokoknya kalau terjadi apa-apa. Ale musti tanggungjawab”. Saya yang merasa tidak berbuat kesalahan lantas menjawab “Loh kok saya yang tanggung jawab? Kan bapak yang gubernur, bukan saya”. Beliau lantas mengatakan “Pokoknya beta seng mau tau”. Saya pun kembali menjawab “Saya juga tidak mau tahu. Memangnya saya gubernur Maluku”. Beliau kemudian menutup telpon.
25 April 2004, konflik Ambon meletus lagi. Konflik dipicu oleh aksi pengibaran bendera Republik Maluku Selatan (RMS) dan arak-arakan massa pendukung RMS dari kediaman Alex Manuputty (pemimpin Eksekutif Front Kedaulatan Maluku/FKM) di Kelurahan Benteng menuju Mapolda Maluku di kawasan Batumeja. Dalam perjalanan massa itu, tepat di sekitar Tugu Trikora, muncul kelompok massa lainnya dari arah Mesjid Alfatah. Dua kelompok massa yang ketemu langsung saling berhadap-hadapan. Pertikaian dimulai dengan saling ejek, disusul lemparan batu, hingga serang-menyerang dengan senjata tajam dan bom molotov. Tak lama, tembakan senapan dan ledakan bom rakitan makin melengkapi kerusuhan massa itu.
Dalam waktu sekejap, komunitas Islam dan Kristen kembali berhadap-hadapan di perbatasan permukiman kedua komunitas di hampir seluruh wilayah di Ambon. Terjadi bentrok massa juga di Jalan Antony Reebok. Kantor UNDP yang berada di jalan tersebut juga hangus terbakar. Kerusuhan bahkan merembet sampai di sekitar MMC. Ketika itu, saya dan keluarga sudah pindah dari Kebun Cengkeh dan menempati lantai lima gedung MMC.
Malam harinya, saya menerima menerima telepon dari Tessa Pipper (MDF) sebuah lembaga yang mensponsori MMC dan Santoso (Direktur KBR 68H), kebetulan mereka sedang berada di Ambon. Tadinya mereka menginap di Hotel Mutiara, tetapi sudah diungsikan bersama rombongan pekerja LSM Asing dan tenaga PBB yang lain ke Mako Brimob Tantui.
Mereke menanyakan kondisi kami sekeluarga dan sutuasi Kota Ambon. Saya pun menceritakan gambaran situasi yang ada termasuk keadaan kami sekeluarga. Mereka kemudian meminta saya dan keluarga bersiap-siap untuk dievakuasi ke Jakarta besoak hari. Saya kemudian berbicara dengan istri saya tentang situasi dan kondisi yang terjadi, dan arena alasan keamanan, kawan-kawan menyarankan agar kami mengungsi untuk sementara.
Jadilah pada tanggal 26 april 2004, kami kembali meninggalkan Ambon. Pukul 05.00 WIT dengan menumpang mobil kami ke Pante Pasar.  Dari situ kami naik Speed Boat  ke Negeri Laha kemudian meneruskan dengan mobil ke BandaraPattimura. Di bandara kami bertemu Tessa dan Santoso yang memberikan kami dua tiket pesawat atas nama mereka berdua untuk kampi pakai, karena mereka sudah dipesankan tiket yang lain. Jadilah kami mengungsi ke Jakarta. Dan hingga saat ini saya sudah tidak pernah lagi ke Ambon.
Meskipun saya sudah tidak pernah kembali lagi ke Ambon, namun kisah di atas tetap meninggalkan jejak yang  tak mudah hilang. Terutama karena empat orang buah hati saya hidup di Ambon bersama ibu mereka.
Menyakitkan memang bertahan pada sebuah keyakinan bahwa yang terjadi sebetulnya bukan konflik antar pemeluk agama. Dan kayakinan itu telah saya bayar mahal dengan hancurnya rumah tangga dan cita-cita saya. Tetapi biarlah. Toh semua sudah terjadi dan yang bisa kita petik adalah pengalaman untuk menjadikan kita lebih arif dan bijaksana. Dengan demikian idup ini mungkin akan berarti dan punya makna.
Demikianlah sekelumit perjalanan yang dapat saya ceritakan dari sekian banyak kisah yang tidak mungkin saya ceritakan karena satu dan lain alasan. Dengan terkadang sambil tersenyum dan terkadang sambil meneteskan airmata.
Betapa isu, gosip, intrik, provokasi, manipulasi informasi telah meluluhkan banyak pesona keindahan dan menguburkan kearifan orang Maluku sebelum, selama dan sesudah perang yang tidak indah itu. 
Sebagai penutup ijinkan saya mengutip sebuah puisi yang saya tulis pada Tahun 1999 ketika masih di Ambon. Semoga saja bermanfaat bagi kita semua:

AGAMA BUNUH DIRI

bila nanti siang kau Sholat Jum’at
barangkali di masjid Al-Fatah
atau hari minggu nanti kau ikut Kebaktian atau Missa
mungkin di Gereja Maranatha mungkin di Keuskupan
tolong tanyakan kepada Muhammad dan Isa yang Agung itu
apakah mereka mengajarkan agama Tuhan
agar kita saling membunuh ?

Kalau memang demikian
Mengapa agama melarangku bunuh diri


Dino Umahuk        
Ternate, 7 Agustus 2012



Tidak ada komentar:

Posting Komentar